PETANG yang tenang. Markas Komandan Jendral
Kops Baret Merah, Kopassus Cijantung, tampak damai. Beberapa prajurit ramah
menyapa ketika saya tiba di situ.
Petang itu, Komandan Jendral Kopassus Mayor Jendral
TNI Agus Sutomo, baru saja usai salat Ashar dan mengenakan sepatu. Wajahnya
cerah, ketika kami duduk berbincang di sofa. Topik pembicaraan adalah ekspedisi
NKRI - Koridor Sulawesi. Suatu ekspedisi yang dilakukan Kopassus bekerja sama
dengan mahasiswa dan masyarakat. Dengan ekspedisi ini, boleh dikata, Kopassus 'mencicil'
utang kita kepada bangsa.
Penghujung Juni 2013 ini, ekspedisi koridor
Sulawesi akan berakhir. Sebelumnya sudah berlangsung ekspedisi di Sumatera
bertajuk Ekspedisi Bukit Barisan dan di Kalimantan bertajuk Ekspedisi
Khatulistiwa. Selepas ini, akan berlanjut dengan Ekspedisi NKRI koridor Papua.
Ekspedisi yang dilakukan Kopassus ini menguatkan
buhul persatuan dan kesatuan bangsa, selain untuk tujuan utama melestarikan
alam untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Muaranya adalah mencapai
kesejahteraan rakyat. Pangkal penyelenggaraan ekspedisi ini adalah realitas,
di sebagian besar wilayah Indonesia, telah terjadi kerusakan alam. Bahkan,
sejumlah flora fauna endemik tak sedikit yang punah. Belum lagi, masih banyak
masyarakat yang hidup terpencil dan belum terjangkau oleh infrastruktur yang
memadai. Akibatnya, masih ada anak-anak bangsa yang tertinggal.
"Ketika kita melihat di lapangan, di balik
kekayaan sumber daya alam kita, masih banyak warga yang miskin dan belum
sejahtera, tak seperti kita yang hidup di kota,’ ungkap Mayjend Agus Sutomo,
antusias. "Begitu kita melihat ke bawah, masih banyak utang kita kepada
bangsa," lanjutnya.
Apa yang diungkap Danjend Kopassus, ini memang tak
terelakkan. Masih banyak rakyat miskin persisten di balik kekayaan sumber daya
alam yang melimpah. Kondisi ini yang memotivasi Kopassus untuk terjun langsung
ke lapangan. Menelusuri hutan dan belantara.
"Dari pengalaman ekspedisi selama ini, banyak
manfaat positif yang kita terima, dan rakyat menyambut positif,” ujarnya.
Secara spesifik, dijelaskannya, Ekspedisi NKRI ini
dimaksudkan untuk mendata dan meneliti segala potensi kekayaan alam di hutan,
gunung, rawa laut sungai dan pantai, serta pulau-pulau terdepan. Dalam konteks
pertahanan dan keamanan, ekspedisi ini dimaksudkan membangkitkan kesadaran
teritorial, sehingga kelak dapat dikelola menjadi keunggulan teritorial.
"Tentu, juga untuk memberikan keteladanan kepada masyarakat dalam
memelihara dan menjaga hutan melalui program integral: green, clean, dan
healthy. Lebih dari itu adalah membantu rakyat menemukan solusi, keluar dari
kesulitan hidup sehari-hari,’ ungkapnya.
Hasil ekspedisi disampaikan Kopassus kepada Menteri
Dalam Negeri, Gubernur, dan Bupati di wilayah ekspedisi. Dengan begitu,
pemerintah termasuk pemerintah daerah mendapatkan data akurat tentang kerusakan
lingkungan dan alam. Juga mendapatkan informasi terkini tentang potensi
geologi, sehingga dapat diolah dengan baik untuk menyejahterakan rakyat.
Termasuk mengantisipasi kerugian besar akibat bencana yang bisa terjadi kapan
saja.
"Jangan lupa, melalui ekspedisi ini, potensi
sosial budaya dan kearifan lokal juga tergali, dan dampaknya kelak, keutuhan wilayah
NKRI senantiasa terjaga,’ jelasnya.
Kalangan mahasiswa dan kaum muda dilibatkan, agar
rasa cinta tanah air dan terpeliharanya kelestarian alam terus terjaga. Termasuk
motivasi untuk ikhlas berkorban membantu rakyat mengatasi kesulitan, baik
permukiman, kesehatan, dan pendidikan.
Banyak kisah menarik diungkapkan Mayjend Agus
Sutomo kemudian. Di Kabupaten Kepulauan Sangihe, misalnya, anggota Kopassus
menemukan perahu terdampar di bukit, tengkorak, dan tulang belulang. Bukit itu
kemudian diberi nama "Bukit Tengkorak." Di Kabuparten Bone Bolango,
Gorontalo, mereka temukan bagaimana PETI (Penampang Tanpa Izin) mencemarkan sungai
dengan merkuri, sehingga masyarakat kesulitan air bersih.
Ekspedisi membangunkan sumur agar rakyat beroleh
air bersih, dan memotivasi PETI untuk tidak mencemarkan sungai. Di sini mereka
juga membangun foot path dan jembatan untuk memudahkan mobilitas rakyat untuk
memasarkan hasil pertanian. Di sini juga tim menemukan suku asal yang akhirnya
membentuk masyarakat Gorontalo.
Sambutan Gubernur Gorontalo H. Ruslie Habibie sangat
positif, karena melalui ekspedisi ini, Pemda mendapatkan data akurat tentang
kondisi daerahnya. Di wilayah ini, persisnya di desa Pangi Suwawa Timur, tim
membangun jembatan gantung yang menghubungkan Pinogu dan Suwawa Timur. Dengan
jembatan ini, penduduk Pinogu tidak terisolasi lagi dan dapat berinteraksi
dengan penduduk desa lain.
Di Luwuk Banggai (Sulteng), Tim Ekspedisi menemukan
masyarakat yang terisolasi di hutan. Mereka membangun sarana dan prasarana
dasar untuk membuka isolasi itu. "Alhamdulillah, mereka mau direlokasi,
sehingga tingkat kerusakan hutan bisa dicegah," ujar Danjen. Aksi membangun
sarana dan prasarana pemukiman dan pembangunan pos-pos untuk menciptakan integralitas
rakyat dibangun oleh ekspedisi ini di Mamuju, Tana Toraja, Gowa, dan Kolaka.
DI Kabupaten Gowa, ekspedisi membangun prasarana
sekolah bagi anak-anak penduduk terpencil, yang lebih memadai, meski hanya
beberapa kelas, perpustakaan, dan toilet. Paling tidak kondisinya lebih baik
dari semula yang hanya satu lokal.
Di beberapa daerah yang menjadi sasaran ekspedisi,
tim menemukan berbagai kasus menarik, seperti pertikaian antar warga yang hanya
disebabkan oleh "naluri bertikai." Di daerah itu, tim ekspedisi
membangun pos jaga, untuk memenuhi harapan kaum ibu agar ekspedisi berlangsung
terus.
"Alhamdulillah, sejak kita mediasi dan terjadi
kondisi yang lebih kondusif dan damai, tak terjadi lagi persteruan antar warga
di dua desa bersebelahan," ungkap Danjen, Mayjend Agus Sutomo.
Menjawab pertanyaan Jurnal Nasional, Danjen mengungkap,
pihaknya tak menutup diri dari partisipasi berbagai pihak. Meski selama ini
ekspedisi dilakukan secara mandiri. "Bagi kami yang penting tujuannya
tercapai, sehingga hutang kepada bangsa ini terus dapat dicicil sampai
lunas..," ungkapnya sambil tersenyum. (N. Syamsuddin CH. Haesy), Sumber Koran: Jurnal Nasional (12 Juni
2013/Rabu, Hal. 27)