Senin, 18 Februari 2013

Transisi Hegemonik dan Postur Pertahanan

Kompas (18/02/13, Hal 6)
Perspektif Neo Realisme dalam kajian ilmu hubungan in­ternasional menilai sistem internasional cenderung stabil'jika ada' perimbang­an kekuatan di antara dua kekuatan global utama dalam suatu struktur sis­tem yang bipolar. Saat stabilitas bipolar tercipta, probabilitas untuk terjadi­nya perang global cende­rung kecil.

Di era Perang Dingin (1945-1991), sistem internasional cenderung menikmati stabilitas panjang ditandai dengan tidak adanya perang terbuka antara dua negara hegemonik, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang yang melibatkan salah satu ne­gara adi daya terjadi di luar ka­wasan utama persaingan hege­monik seperti Perang Korea, Pe­rang Vietnam, dan Perang Afganistan.

Krisis global utama seperti Krisis Berlin (1961) dan Krisis Kuba (1962) yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak bereskalasi menjadi perang global. Hal ini menunjukkan bah­wa struktur sistem bipolar ber­asosiasi dengan stabilitas sistem internasional.

Di era pasca-Perang Dingin (1991-2001), sistem internasional relatif stabil ditopang oleh ke­munculan Amerika Serikat se­bagai satu-satunya negara adi da­ya dalam suatu struktur sistem unipolar. Amerika Serikat keluar sebagai pemenang pertarungan hegemonik dengan Uni Soviet bukan melalui suatu perang glo­bal, tetapi lebih karena adanya kontradiksi internal di dalam blok Komunis Soviet,
Tidak seperti fenomena per­geseran struktur sistem inter­nasional lain dalam sejarah dunia yang cenderung diawali dengan perang berskala regional atau global, struktur sistem internasional bergeser dari struktur bipolar ke unipolar tanpa melalui perang global antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Stabilitas sistem unipolar tersebut terguncang saat Osama bin Laden dan kelompok Al Qaeda berhasil melakukan se­rangan teror 9-11 (2001). Serang­an yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center di New York, serta menghancurkan salah satu sisi gedung Depar­temen Pertahanan Pentagon di Washington DC, ini membuka era baru pertarungan global saat entitas non-negara Al-Qaeda berhasil menghadirkan perang asimetrik melawan negara he­gemonik

Di era baru ini, AS terlihat kesulitan untuk memenangi pe­rang asimetrik melawan jejaring terorisme global. Hal ini me­nyebabkan stabilitas sistem in­ternasional cenderung menurun karena munculnya keraguan ten­tang kapasitas Amerika Serikat untuk menyediakan payung ke­amanan global.

Stabilitas sistem abad XXI
Saat ini, stabilitas sistem in­ternasional juga cenderung me­nurun. Hal ini disebabkan oleh kombinasi dari faktor perang glo­bal melawan terorisme yang be­lum dapat dituntaskan oleh Ame­rika Serikat serta faktor krisis ekonomi global yang melanda Eropa Barat dan Amerika Seri­kat.

Kombinasi dua faktor tersebut menyediakan dua alternatif ske­nario untuk tahun 2045. Ske­nario pertama adalah Amerika Serikat (dan Eropa Barat) akan terpuruk semakin dalam ke da­lam krisis fiskal sehingga tidak dapat lagi menjalankan peran sebagai penopang stabilitas eko­nomi global ala Konsensus Was­hington yang terbentuk sejak akhir Perang Dunia II.

Konsensus Washington ini mengandalkan topangan Bank Dunia untuk menyediakan dana pembangunan global, Dana Moneter Internasioanal (IMF) untuk stabilitas moneter, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk liberalisasi perdagangan global. Ketiga pilar tersebut juga diperkuat dengan kehadiran sis­tem keamanan kolektif Perse­rikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Skenario ini menghadirkan kemungkinan terjadinya penu­runan stabilitas sistem interna­sional yang cenderung berim­pitan dengan program pemulih­an ekonomi Amerika Serikat yang diperkirakan berlangsung hingga tahun 2020. Namun, pe­nurunan stabilitas sistem ini cen­derung tidak berasosiasi dengan meningkatnya probabilitas ter­jadinya perang berskala global terutama karena rendahnya ka­pasitas ekonomi negara-negara utama dunia untuk memobilisasi sumber daya nasional untuk mendukung suatu operasi perang berskala besar.

Skenario kedua adalah terjadi ketidakseimbangan distribusi kekuatan dalam sistem interna­sional yang mengarah kepada proses transisi struktur sistem internasional. Kemunduran ke­kuatan Amerika Serikat akan disertai dengan kemunculan China dan India sebagai kutub baru dalam suatu struktur sistem internasional yang multipolar.

Perspektif Neo Realisme da­lam ilmu hubungan internasional memprediksikan bahwa kemun­culan struktur multipolar akan cenderung disertai dengan ke­tidakstabilan sistem internasio­nal. Ketidakstabilan ini memper­besar peluang terjadinya perang global di antara kekuatan-keku­atan ekonomi dunia yang diper­kirakan dapat terjadi antara tahun 2025 dan 2040. Saat itu, Amerika Serikat diperkirakan su­dah pulih dari krisis fiskal dan harus kembali melakukan ek­spansi global untuk merevitali­sasi perekonomiannya.

Di saat yang sama, China dan India diperkirakan sudah men­jelma menjadi kekuatan ekonomi berbenturan -dengan kebutuhan China dan India untuk memo­sisikan diri sebagai kekuatan eko­nomi utama dunia.

Sejarah sistem' internasional menunjukkan bahwa proses transisi hegemonik cenderung mengarah kepada kemunculan kekuatan hegemonik baru. Jika pola transisi hegemonik berulang di abad XXI, paruh kedua abad ini cenderung akan dimulai dengan kemunculan China dan India se­bagai kekuatan utama dunia menggantikan posisi Amerika Serikat.

Postur pertahanan 2045
Kedua skenario tersebut mengharuskan Indonesia untuk mengembangkan strategi dan postur pertahanan 2045 yang mampu mengantisipasi proses transisi hegemonik- Rumusan strategi Pertahanan 2045 akan ditentukan oleh pilihan diplo­masi Indonesia terhadap keku­atan utama Berdasarkan per­spektif Neo-Realisme, Indonesia seharusnya mengambil peran se­bagai kekuatan pengimbang ter­hadap kekuatan utama di ka­wasan.

Jika skenario sistem interna­sional abad XXI memprediksikan kemunculan China, India, dan Amerika Serikat sebagai tiga ku­tub utama dalam suatu struktur sistem multipolar di Asia, maka Indonesia harus dapat mengem­bangkan strategi dan postur per­tahanan 2045 yang memungkin­kan Indonesia untuk menjadi ke­kuatan pengimbang untuk meng­antisipasi terjadinya kompetisi multipolar yang baru.

Indonesia hanya dapat men­jadi kekuatan pengimbang di Asia Timur jika dapat mengembang­kan postur pertahanan yang tangguh (internal balancing) atau membangun aliansi militer de­ngan negara lain (external ba­lancing). Saat ini, Indonesia cen­derung tidak dapat membangun aliansi militer karena terhadang oleh prinsip politik luar negeri bebas aktif. Konsekuensinya, Indonesia harus segera mengembangkan rencana strategis Postur Pertahanan 2045 sebagai kelan­jutan dari Kekuatan Pertahanan Minimum 2024 agar dapat ber­peran sebagai kekuatan pengim­bang di Asia Timur. (ANDI WIDJAJANTO, Ketua Laboratorium Hubungan Internasional Universitas Indonesia). Sumber : Koran Kompas