Jayapura, Suara Pembaruan (25-02-2013, Hal 14)
Kepala Staf Umum Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(TP-NPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) Mayjen Teryanus Satto menegaskan,
TPNPB-OPM bukan gerakan pengacau keamanan. Hal itu diungkapkan dalam siaran
pers yang diterima SP, Minggu (24/2). Dalam rilis ini juga disampaikan
sembilan pernyataan sikap. Pertama, Pemerintah Indonesia jangan memberi
stigma kepada TPN-OPM sebagai Gerakan Pengacau Keamanan atau Orang Tak di
Kenal. TPN-OPM adalah organisasi yang terstruktur untuk memperjuangkan Hak
Kemerdekaan Bangsa Papua Barat atau Self Determination.
Kedua, TPN-OPM sedang membenahi diri berdasarkan resolusi
KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat pada
1-5 Mei 2012. Ketiga, di Papua tidak ada sipil bersenjata. TPNPB adalah militer
yang punya hak untuk memiliki senjata guna membela hak rakyat Papua, sampai
memperoleh kemerdekaan penuh. Keempat, penembakan 15 anggota TNI di Puncak Jaya
adalah murni oleh TPN-OPM. Dan TPN-OPM pimpinan Panglima Jend. Goliath Tabuni
bertanggung jawab atas penembakan tersebut.
Kelima, penembakan di Puncak Jaya pada 21 Februari 2013,
bukan terkait pemilihan kepala daerah (pilkada) Papua. "Tetapi, sikap
penolakan terhadap program Pemerintah Indonesia, salah satunya adalah pilkada
di Puncak Jaya dan pada umumnya di seluruh tanah Papua," ujarnya. Keenam, aksi
penembakan di Puncak Jaya yang dilakukan TPN-OPM dibawah pimpinan Jenderal
Goliath Tabuni, bukan untuk minta bantuan Pemerintah Indonesia berupa uang,
pembangunan perumahan, dan lan-lain, tetapi murni untuk menuntut hak politik
rakyat Papua Barat.
Ketujuh, penembakan di Puncak Jaya pada 21Februari adalah,
merupakan sikap penolakan tawaran Pemerintah Indonesia kepada TPN-OPM
pimpinan Jenderal Goliath Tabuni. Kedelapan, TPN-OPM tidak meminta apa pun kepada
Pemerintah Indonesia. TPN-OPM menuntut Hak Politik Kemerdekaan Bangsa Papua. Kesembilan,
TPN-OPM menolak dengan tegas atas pendekatan persuasif yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia, melalui Pemerintah Provinsi Papua, Pangdam XVII
Cenderawasih, dan Polda Papua, berupa dialog, kecuali "referendum"
menurut mekanisme hukum internasional.
Dialog
Sementara itu, peristiwa penembakan yang terjadi semakin
menjadi fakta aktual, seharusnya mampu mendorong dan mendesak Pemerintah
Indonesia segera membuka Dialog Papua-Indonesia dalam waktu dekat ini. Hal
itu dikatakan peraih penghargaan Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia "John
Humphrey Freedom Award" dari Kanada tahun 2005, Cristian Warinusy kepada
SP, Minggu (24/3).
Faktanya, sepanjang tahun 2012, hampir setiap bulan pasti
terjadi peristiwa penembakan di beberapa daerah di Tanah Papua, khususnya di
Jayapura dan Puncak Jaya. Sebanyak 14 kali terjadi penembakan, yang menewaskan
22 orang. "Sesungguhnya saya memandang, sudah tidak ada alasan apa pun
yang bisa dihindari atau ditolak oleh Presiden SBY untuk segera membuka dialog
dalam rangka mewujudkan prinsip Papua Tanah Damai," katanya.
Di sisi lain dikatakan, penting untuk dicatat oleh semua
kalangan di Papua dan Papua Barat, bahwa atas peristiwa tersebut, ternyata TNI
tidak menggelar operasi militer, tetapi mereka lebih memilih mengedepankan
penegakan hukum.
"Saya kira, sudah saatnya rakyat Papua mempersiapkan
format dialog damai itu sendiri di satu pihak, dan Pemerintah Indonesia juga
demikian. Utusan atau wakil dari kedua kelompok yang bertikai selama ini,
harus segera difasilitasi untuk duduk bersama dan berbicara, serta menyamakan
persepsi lebih dahulu mengenai isi dan muatan dari format dialog
tersebut," katanya. (154) Sumber: Koran Suara Pembaruan