JAKARTA, KOMPAS.com — Penyerangan yang
dilakukan gerakan pengacau kemanan (GPK) terhadap anggota TNI di Puncak Jaya,
Papua, 21 Februari 2013, tergolong sadis. Kelompok yang diduga separatis
tersebut memastikan prajurit TNI sudah tewas atau belum dengan menembaknya
berkali-kali.
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana
Muda Iskandar Sitompul menjelaskan, insiden itu terjadi beriringan di dua titik
yang berbeda. Pukul 09.30 WIB, sebuah Pos Maleo Yonif 753/AVT di Distrik Tinggi
Nambut Puncak Jaya diserang. Sebanyak 9 prajurit TNI dan 15 anggota Brimob diberondong
GPK setelah kedatangan seorang warga lokal yang dicurigai bernama Wani
Tabuni."Pratu Wahyu Prabowo kena tembakan di dada kiri menyebabkan dia
gugur di lokasi kejadian.Korban kedua Lettu Inf Reza Gita Armena luka tembak di
sebelah kiri," ujar Iskandar di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa
(26/2/2013).
Selang satu jam kemudian, pada pukul 10.30
WIB, penyerangan kembali terjadi di titik yang berbeda, yakni di Koramil Sinak
Kodim 1714 Puncak Jaya.Kala itu, prajurit TNI diserang saat tengah berjalan
kaki ke Bandara Sinak untuk melengkapi pasukannya dengan peralatan komunikasi.
Penyerang menggunakan senjata api laras panjang, laras pendek, dan senjata
tajam."Untuk memastikan, mereka mendatangi TNI yang terluka dan menembak
kepalanya satu-satu pakai senjata laras pendek. Ada juga yang dibacok untuk
memastikan dia tewas," ujarnya.
Tujuh prajurit TNI yang gugur dalam insiden
itu adalah Sertu M Udin, Sertu Frans Hera, Sertu Ramadhan Amang, Sertu Edi
Julian, Praka Jojo Wihardjo, Praka Wemprit, dan Pratu Mustofa. Tiga sipil turut
meninggal.Iskandar mengatakan, berdasarkan data dari intelijennya, terdapat
tiga kelompok kekuatan separatis yang bercokol di Puncak Jaya, Papua, yakni
Kelompok Tabuni, kelompok Yambi, dan kelompok Murib. Kelompok itu memiliki kekuatan
antara 100 dan 150 orang dengan senjata laras panjang, laras pendek, dan
senjata tajam.
Iskandar mengatakan, hingga kini pihaknya
belum bisa mengidentifikasi kelompok penyerang itu.Namun, Iskandar memastikan,
penyerangan itu dilakukan oleh GPK. Sesuai dengan rapat koordinasi antarlembaga
kemanan, yakni TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara, bersama Presiden, lanjut
Iskandar, kasus tersebut tetap ditangani oleh pihak kepolisian. Adapun TNI
tetap membantu proses pemulihan keamanan di dua titik penyerangan
tersebut."Harus polisi yang menangkapnya, sesuai undang-undang.Kita negara
hukum, TNI tidak mau menerobos itu.Kecuali berubah status, dari tertib sipil
menjadi darurat militer," ujarnya. Editor :Hertanto Soebijoto Sumber: www.kompas.com