SEGERA sesudah
kasus Cebongan, ada rumor bahkan selebaran bahwa TNI dinilai sebagai tentara
bayaran? Benarkah penilaian itu?
Dalam Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dinyatakan secara tegas bahwa TNI adalah
tentara rakyat; tentara pejuang; tentara nasional; dan tentara profesional.
Keempat hal tersebut juga dinyatakan sebagai jatidiri TNI. Timbulnya pandangan
tersebut bisa jadi karena UU tersebut kurang disosialisasikan kepada
masyarakat, sehingga masyarakat pada umumnya tidak tahu. Boleh jadi ada
anggapan lain bahwa masalah keamanan kini sepenuhnya ditangani oleh Polri, dan
TNI hanya mengurus masalah pertahanan negara (pasal 10 UU Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara).
Dalam hal
keamanan, operasi TNI atas permintaan Polri atau kalau ada perang. Kapan ada
perang? Era globalisasi telah membawa perubahan bahwa bentuk perang sudah
tidak konvensional lagi. Tak akan ada perang antarnegara tanpa alasan jelas.
Bentuk "perang" sudah membaur ke dalam berbagai bidang kehidupan berupa
perang ekonomi, perang bisnis, dan perang pikiran, yang kabur wujudnya tetapi
nyata dalam dampak. Boleh jadi juga ada anggapan TNI telah melegalkan
anggotanya melakukan penyerbuan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Tentara bayaran
atau disebut mercenaries bukan hal baru. Sejak zaman purba sudah dikenal
penggunaan mercenaries. Ketika menghadapi pemberontakan bangsa Amerika,
Inggris menggunakan tentara bayaran dari Hesse, Jerman. Sekitar 1960-an ketika
di beberapa negara Afrika terjadi gerakan pembebasan nasional, penggunaan mercenaries
muncul kembali bahkan menarik perhatian dunia.
Pada tingkat
internasional, masalah tentara bayaran untuk pertama kali muncul dalam
sidang-sidang PBB pada 1961, sehubungan dengan pemisahan Katanga (Katangese)
dari Kongo. Pada 1964, pemerintah yang dikuasai oleh masyarakat Kongo
(Congolese) merekrut tentara bayaran untuk menghadapi pemberontak. Pada 1967,
ketika diinstruksikan untuk tidak lagi melakukan penyerangan, tentara bayaran
tersebut menolak bahkan melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Pada sekitar
1977, Dewan Keamanan dan Organisasi Negara Afrika (Organitazion of African
Unity/OAU), melalui resolusi, meminta negara-negara untuk mencegah penggunaan
tentara bayaran di wilayah mereka. Resolusi Dewan Keamanan Nomor 405 (16 April
1977), misalnya, mengutuk perekrutan tentara bayaran. Ketentuan yang tegas yang
mengatur tentara bayaran atau mercenaries dalam Hukum Humaniter baru terdapat
dalam Protokol tambahan I tahun 1997.
Pasal 47
Protokol itu menyatakan bahwa: a) tentara bayaran tidak berhak atas status
kombatan atau tawanan perang; b) tentara bayaran harus memenuhi syarat: 1)
secara khusus direkrut di dalam atau di luar- negeri, untuk berperang jika terjadi
sengketa bersenjata; 2) nyata ikut serta secara langsung dalam permusuhan; 3)
motivasinya untuk memperoleh keuntungan pribadi dan dijanjikan kompensasi
materi atau jabatan dalam angkatan bersenjata; 4) bukan warga negara dari
negara yang bersengketa, bukan pula orang yang berdiam di daerah yang bersengketa;
5) bukan anggota dari angkatan bersenjata dari satu pihak yang bersengketa;
6) dan tidak dikirim oleh negara yang bukan bersengketa.
Berdasarkan
Hukum Humaniter, tiga syarat pertama adalah syarat positif, sedangkan syarat
lainnya negatif. Yang dimaksud syarat negatif adalah warga negara pihak yang
bersengketa, atau orang yang dikirim untuk melakukan tugas resmi sebagai
anggota angkatan bersenjata pihak yang bersengketa, tidak mungkin dapat
digolongkan tentara bayaran.
Bagaimana dengan
TNI? Sebagaimana disebutkan, TNI memiliki seperangkat jatidiri. Pengertian
jati diri adalah serangkaian nilai mendasar (instrinsik) yang menggambarkan
ciri-ciri khas jiwa dan semangat individu, sebagai pembeda, dari kelompok lain
maupun bangsa. Nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai pedoman dan pendorong
untuk bersikap dan berperilaku dalam mencapai tujuan/cita-cita individu,
kelompok maupun bangsa.
Dengan
pengertian itu, jatidiri TNI adalah ciri-ciri/identitas yang menggambarkan
jiwa dan semangat TNI dalam mengemban tugasnya sebagai alat negara di bidang
pertahanan dan keamanan negara atau bela negara. Peletak dasar jati diri TNI
adalah para pendiri negara dan pendiri TNI.
Segera setelah
berkumandangnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadilah spontanitas
rakyat untuk mengangkat senjata mempertahankan negara tanpa ada yang
mewajibkan, bahkan belum mengetahui apakah ada atau tidaknya UUD 1945.
Makna dari
pertahanan dan keamanan negara atau bela negara itu adalah, ada yang melakukan
usaha perjuangan kemerdekaan saat itu dengan kegiatan bertempur, untuk melawan
penjajahan Belanda. Ada yang melakukan perlawanan bersenjata sebagai prajurit
bangsanya, the fighting men of nation, dan ada yang melakukan perlawanan tanpa
senjata tetapi sikapnya menyangkal dan menentang lawan melalui perkumpulan-perkumpulan
perjuangan; ada yang berjuang di garis belakang membantu menyediakan
logistik, makan, ransum, obat-obatan, merawat yang luka, sakit dan yang
meninggal (gugur).
Tegasnya,
seluruh rakyat mengangkat senjata, people in arms. Karenanya dikenal istilah
TNI itu adalah people in arms. Ketentuan "diatur dengan UU" itu
mencerminkan visi para pendiri negara NKRI bahwa pertahanan dan keamanan
negara serta keberadaan ketentaraan harus disusun serba keberaturan. Eksistensi
keberaturan itu adalah proses panjang mulai dari awal mula dibentuknya Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Kemu-dian pada 5 Oktober 1945, dikembangkan dan
dibangunlah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) ini dinyatakan dengan sebuah Maklumat Presiden Sukamo, yang berbunyi,
"Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara
Keamanan Rakyat."
Tanggal 5
Oktober inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Ulang Tahun TNI karena
merupakan cikal bakal adanya TNI.
Sebulan sesudahnya, TKR diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat , yang
disebut Tentara Rakyat Indonesia (TRI), kemudian disempurnakan dengan istilah
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), yang merupakan balareguler (reguler
force), dan inti dari bala tentara rakyat. Dari semua proses pembentukan
ketentaraan itu, puncak keberaturannya adalah terbentuknya satu tentara dalam
negara RI, dengan komando tunggal yang ditandai dengan penetapan Presiden
bertanggal 3 Juni 1947, dalam diktum yang berbunyi: "segenap anggota Angkatan
Perang yang ada sekarang dan segenap anggota laskar yang bersenjata, baik yang
sudah atau yang tidak bergabung di dalam biro perjuangan, mulai saat ini
di-masukan serentak ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI)".
Dari sinilah TNI
lahir dan dinyatakan sebagai tentara Pejuang, yang berjuang menegakkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi yang melahirkan dan melantik TNI
adalah sejarah. Dan itu semua jelas berbeda dengan persyaratan "tentara
bayaran" dan sama sekali motivasinya bukan untuk keuntungan pribadi.
Karena itu jelas pulalah bahwa eksistensi TNI tak, ada kaitannya dengan kasus
penyerbuan ke Lapas Cebongan.
Dilihat dari
sudut etika militer, kasus tersebut adalah suatu penyimpangan tradisi
kemiliteran yang memegang teguh Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan delapan
wajib TNI. Kasus Cebongan itu juga tak ada hubungannya dengan tentara bayaran,
bahkan kasus tersebut tidaklah mencerminkan jatidiri TNI sebagaimana disebut
di awal tulisan.
Dengan semua
penjelasan tersebut, dan berdasar pemahaman Hukum Humaniter tentang tentara
bayaran, maka kita semakin yakin dan paham bahwa berdasar jatidirinya, TNI
bukanlah tentara bayaran. Adanya anggapan seseorang atau sekelompok elemen
bangsa yang menyebutkan TNI sebagai tentara bayaran, harus diluruskan karena
dapat merendahkan jatidiri TNI, dan tidak menghargai sejarah perjuangan bangsa
dan TNI. Itu semua fitnah dan upaya segelintir orang untuk mengadu domba agar
timbul perpecahan di dalam TNI baik yang masih berada di dalam struktur aktif
maupun dengan anggota TNI yang purnatugas. Wallahu'alam. [Penulis adalah
lulusan Magister Hukum, Mantan Wakil Rektor IIN (STIN) BIN, Pengurus YJDB dan
anggota WanTim DHN 45). Sumber Koran: Pelita
(Rabu, 1 Mei 2013, Hal.4)