Kamis, 02 Mei 2013

TNI Bukan Tentara Bayaran



SEGERA sesudah kasus Cebongan, ada rumor bahkan selebaran bahwa TNI dinilai sebagai tentara bayaran? Benarkah penilaian itu?

Dalam Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dinyatakan secara tegas bahwa TNI adalah tentara rakyat; tenta­ra pejuang; tentara nasional; dan tenta­ra profesional. Keempat hal tersebut juga dinyatakan sebagai jatidiri TNI. Timbul­nya pandangan tersebut bisa jadi karena UU tersebut kurang disosialisasikan ke­pada masyarakat, sehingga masyarakat pada umumnya tidak tahu. Boleh jadi ada anggapan lain bahwa masalah keamanan kini sepenuhnya ditangani oleh Polri, dan TNI hanya mengurus masalah pertahan­an negara (pasal 10 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara).

Dalam hal keamanan, operasi TNI atas permintaan Polri atau kalau ada perang. Kapan ada perang? Era globalisasi telah membawa perubahan bahwa bentuk per­ang sudah tidak konvensional lagi. Tak akan ada perang antarnegara tanpa ala­san jelas. Bentuk "perang" sudah mem­baur ke dalam berbagai bidang kehidu­pan berupa perang ekonomi, perang bisnis, dan perang pikiran, yang kabur wu­judnya tetapi nyata dalam dampak. Boleh jadi juga ada anggapan TNI telah melegal­kan anggotanya melakukan penyerbuan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta.

Tentara bayaran atau disebut mercenaries bukan hal baru. Sejak zaman pur­ba sudah dikenal penggunaan mercenar­ies. Ketika menghadapi pemberontakan bangsa Amerika, Inggris menggunakan tentara bayaran dari Hesse, Jerman. Seki­tar 1960-an ketika di beberapa negara Af­rika terjadi gerakan pembebasan nasion­al, penggunaan mercenaries muncul kembali bahkan menarik perhatian dunia.

Pada tingkat internasional, masalah tentara bayaran untuk pertama kali mun­cul dalam sidang-sidang PBB pada 1961, sehubungan dengan pemisahan Katanga (Katangese) dari Kongo. Pada 1964, pemerintah yang dikuasai oleh masyara­kat Kongo (Congolese) merekrut tenta­ra bayaran untuk menghadapi pembe­rontak. Pada 1967, ketika diinstruksikan untuk tidak lagi melakukan penyerangan, tentara bayaran tersebut menolak bahkan melakukan perlawanan terhadap pemerintah

Pada sekitar 1977, Dewan Keaman­an dan Organisasi Negara Afrika (Organitazion of African Unity/OAU), melalui resolusi, meminta negara-negara untuk mencegah penggunaan tentara bayaran di wilayah mereka. Resolusi Dewan Ke­amanan Nomor 405 (16 April 1977), misalnya, mengutuk perekrutan tentara bayaran. Ketentuan yang tegas yang men­gatur tentara bayaran atau mercenaries dalam Hukum Humaniter baru terdapat dalam Protokol tambahan I tahun 1997.

Pasal 47 Protokol itu menyatakan bah­wa: a) tentara bayaran tidak berhak atas status kombatan atau tawanan perang; b) tentara bayaran harus memenuhi syarat: 1) secara khusus direkrut di dalam atau di luar- negeri, untuk berperang jika ter­jadi sengketa bersenjata; 2) nyata ikut serta secara langsung dalam permusu­han; 3) motivasinya untuk memperoleh keuntungan pribadi dan dijanjikan kom­pensasi materi atau jabatan dalam ang­katan bersenjata; 4) bukan warga negara dari negara yang bersengketa, bukan pula orang yang berdiam di daerah yang ber­sengketa; 5) bukan anggota dari angka­tan bersenjata dari satu pihak yang ber­sengketa; 6) dan tidak dikirim oleh neg­ara yang bukan bersengketa.

Berdasarkan Hukum Humaniter, tiga syarat pertama adalah syarat positif, se­dangkan syarat lainnya negatif. Yang di­maksud syarat negatif adalah warga neg­ara pihak yang bersengketa, atau orang yang dikirim untuk melakukan tugas res­mi sebagai anggota angkatan bersenjata pihak yang bersengketa, tidak mungkin dapat digolongkan tentara bayaran.

Bagaimana dengan TNI? Sebagaimana disebutkan, TNI memiliki seperangkat ja­tidiri. Pengertian jati diri adalah serang­kaian nilai mendasar (instrinsik) yang menggambarkan ciri-ciri khas jiwa dan semangat individu, sebagai pembeda, dari kelompok lain maupun bangsa. Nilai-ni­lai tersebut berfungsi sebagai pedoman dan pendorong untuk bersikap dan berperilaku dalam mencapai tujuan/cita-cita individu, kelompok maupun bangsa.

Dengan pengertian itu, jatidiri TNI adalah ciri-ciri/identitas yang menggam­barkan jiwa dan semangat TNI dalam mengemban tugasnya sebagai alat nega­ra di bidang pertahanan dan keamanan negara atau bela negara. Peletak dasar jati diri TNI adalah para pendiri negara dan pendiri TNI.

Segera setelah berkumandangnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadilah spontanitas rakyat un­tuk mengangkat senjata mempertahank­an negara tanpa ada yang mewajibkan, bahkan belum mengetahui apakah ada atau tidaknya UUD 1945.

Makna dari pertahanan dan keaman­an negara atau bela negara itu adalah, ada yang melakukan usaha perjuangan kemerdekaan saat itu dengan kegiatan bertempur, untuk melawan penjajahan Belanda. Ada yang melakukan perlawa­nan bersenjata sebagai prajurit bang­sanya, the fighting men of nation, dan ada yang melakukan perlawanan tanpa senjata tetapi sikapnya menyangkal dan menentang lawan melalui perkumpulan-perkumpulan perjuangan; ada yang ber­juang di garis belakang membantu me­nyediakan logistik, makan, ransum, obat-obatan, merawat yang luka, sakit dan yang meninggal (gugur).
Tegasnya, seluruh rakyat mengang­kat senjata, people in arms. Karenanya dikenal istilah TNI itu adalah people in arms. Ketentuan "diatur dengan UU" itu mencerminkan visi para pendiri negara NKRI bahwa pertahanan dan keaman­an negara serta keberadaan ketentaraan harus disusun serba keberaturan. Eksis­tensi keberaturan itu adalah proses pan­jang mulai dari awal mula dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemu-dian pada 5 Oktober 1945, dikembang­kan dan dibangunlah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pembentukan Tentara Ke­amanan Rakyat (TKR) ini dinyatakan den­gan sebuah Maklumat Presiden Sukamo, yang berbunyi, "Untuk memperkuat per­asaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat."

Tanggal 5 Oktober inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Ulang Tahun TNI karena merupakan cikal bakal adanya TNI.  Sebulan sesudahnya, TKR diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat , yang disebut Tentara Rakyat Indonesia (TRI), kemudian disempurnakan dengan istilah Angkatan Perang Republik Indone­sia (APRI), yang merupakan balareguler (reguler force), dan inti dari bala tentara rakyat. Dari semua proses pembentukan ketentaraan itu, puncak keberaturannya adalah terbentuknya satu tentara dalam negara RI, dengan komando tunggal yang ditandai dengan penetapan Presiden bertanggal 3 Juni 1947, dalam diktum yang berbunyi: "segenap anggota Angka­tan Perang yang ada sekarang dan sege­nap anggota laskar yang bersenjata, baik yang sudah atau yang tidak bergabung di dalam biro perjuangan, mulai saat ini di-masukan serentak ke dalam Tentara Na­sional Indonesia (TNI)".

Dari sinilah TNI lahir dan dinyatakan sebagai tentara Pejuang, yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi yang melahirkan dan melantik TNI adalah sejarah. Dan itu semua jelas berbeda dengan persyaratan "tentara bayaran" dan sama sekali moti­vasinya bukan untuk keuntungan priba­di. Karena itu jelas pulalah bahwa eksis­tensi TNI tak, ada kaitannya dengan kasus penyerbuan ke Lapas Cebongan.

Dilihat dari sudut etika militer, kasus tersebut adalah suatu penyimpangan tra­disi kemiliteran yang memegang teguh Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan dela­pan wajib TNI. Kasus Cebongan itu juga tak ada hubungannya dengan tentara bayaran, bahkan kasus tersebut tidak­lah mencerminkan jatidiri TNI sebagaima­na disebut di awal tulisan.

Dengan semua penjelasan tersebut, dan berdasar pemahaman Hukum Humaniter tentang tentara bayaran, maka kita semakin yakin dan paham bahwa berdasar jatidirinya, TNI bukanlah tenta­ra bayaran. Adanya anggapan seseorang atau sekelompok elemen bangsa yang me­nyebutkan TNI sebagai tentara bayaran, harus diluruskan karena dapat merendahkan jatidiri TNI, dan tidak menghargai sejarah perjuangan bangsa dan TNI. Itu semua fitnah dan upaya segelintir orang untuk mengadu domba agar timbul per­pecahan di dalam TNI baik yang masih berada di dalam struktur aktif maupun dengan anggota TNI yang purnatugas. Wallahu'alam. [Penulis adalah lulusan Magister Hukum, Mantan Wakil Rek­tor IIN (STIN) BIN, Pengurus YJDB dan anggota WanTim DHN 45). Sumber Koran: Pelita (Rabu, 1 Mei 2013, Hal.4)