DI masa
Reformasi ini tampak jelas dalam pemberitaan beberapa media massa (tidak semua)
betapa TNI selalu dipersalahkan dalam berbagai kasus yang melibatkan anggota
TNI. Di Papua, TNI dipersepsikan sebagai pelanggar HAM meskipun mereka
menembak anggota OPM sebagai bagian dari tugasTNI mempertahankan NKRI dari
ancaman separatisme. Sebaliknya anggota OPM yang menembak mati anggota TNI dan
Polri tidak disebut melanggar HAM. Terakhir, dalam kasus di Lapas Cebongan
sangat jelas betapa beberapa media massa telah menyalahkan Kopassus dan membela
preman. Malahan ada satu suratkabar'yang mengulas peristiwa tersebut setiap
hari selama lebih dari 10 hari dan sudah tentu tujuannya adalah agar citra
Kopassus babak belur. Belum pernah sebelumnya ada suratkabar yang bersikap
seperti itu. Inilah salah satu hasil dari Reformasi dan dampak kebebasan pers.
Media massa terlihat digunakan untuk tidak semata-mata memberikan informasi
yang netral dan untuk mendidik masyarakat, melainkan digunakan oleh redaksinya
untuk membela kepentingan politik mereka sendiri. Media massa telah digunakan
untuk memberikan informasi yang tidak netral dan bias ideologi serta
kepentingan politik redaksinya.
Mengapa media
massa tertentu bersikap anti TNI? Memang di masa Orde Baru, TNI telah melakukan
kesalahan yaitu menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk bersikap
represif dan tidak adil terhadap beberapa individu dan kelompok terutama yang
berideologi komunis dan ekstrimis Islam. Selain itu beberapa Perwira mereka
telah memperkaya diri dengan melakukan korupsi dengan menyalahgunakan jabatan
mereka. Sikap itu melahirkan dendam yang kini dilampiaskan terhadap TNI.
Padahal sejak memasuki era Reformasi, TNI telah melakukan retormasi internal
akibat tekanan politik. Misalnya, TNI sudah menarik diri dari aktifitas
politik, bisnis TNI sudah dilepaskan, dan perannya kini dikhususkan hanya untuk
menangani masalah pertahanan. Semua itu membutuhkan pengorbanan dan tidak mudah
karena menyangkut perasaan korps. Siapapun yang wewenangnya dikurangi pasti
akan merasa tidak enak. Tetapi meskipun tidak enak, TNI telah berbesar hati
melakukannya. Namun rupanya pihak-pihak tertentu yang dulu di tahun 1965 kena
gebuk, tetap merasa dendam terhadap TNI sehingga terus saja mencari celah
untuk memojokkan TNI. Inilah yang terus terjadi saat ini. Asalkan ada
"kesalahan"yang dibuat oleh oknum TNI, langsung saja mereka menyerang
TNI dengan ganas.
Sikap anti TNI
seperti itu tidak boleh diteruskan. Janganlah dendam lama dipertahankan.
Keadaan sudah berubah.TNI sudah berubah sehingga sudah seharusnya TNI tidak
terus menerus dihujat dan dipojokkan. TNI adalah anak bangsa kita juga, sama
seperti kita semua. Mereka juga memiliki perasaan dan punya keinginan dihargai
secara wajar sebagai sesama anak bangsa. Meskipun saya bukan TNI, tetapi saya
mencoba memahami bahwa apabila terus menerus disudutkan dan disakiti, TNI
suatu saat akan merasa perlu untuk mempertahankan martabat dan harga diri
mereka. Jika hal itu terjadi maka persatuan bangsa ini akan terkoyak kembali.
Karena itu demi persatuan bangsa, saya menghimbau agar semua komponen bangsa
menghapus dendam kelompok dan melupakan masa lalu. Semua peristiwa di masa lalu
itu bukan akibat dari rekayasa TNI, melainkan akibat dari perilaku kelompok
yang mencoba melakukan kudeta dengan membunuh beberapa Perwira TNI sehingga TNI
melakukan re-vance. Jadi, dalam peristiwa apapun selalu ada sebab dan akibat,
selalu ada asap di balik api. Jadi, mulailah belajar hidup rukun agar bangsa
ini bisa hidup damai dan sejahtera, adil, dan makmur. (Amir Santoso, Guru-besar
FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta). Sumber Koran: Pelita
(Rabu, 1 Mei 2013, Hal.1)