Kamis, 02 Mei 2013

Janganlah TNI Selalu Dipersalahkan



DI masa Reformasi ini tampak jelas dalam pemberitaan beberapa media massa (tidak semua) betapa TNI selalu dipersalahkan dalam berbagai kasus yang melibatkan anggota TNI. Di Papua, TNI dipersepsikan sebagai pelang­gar HAM meskipun mereka menembak ang­gota OPM sebagai bagian dari tugasTNI mem­pertahankan NKRI dari ancaman separatisme. Sebaliknya anggota OPM yang menembak mati anggota TNI dan Polri tidak disebut me­langgar HAM. Terakhir, dalam kasus di Lapas Cebongan sangat jelas betapa beberapa media massa telah menyalahkan Kopassus dan membela preman. Malahan ada satu suratkabar'yang me­ngulas peristiwa tersebut setiap hari selama lebih dari 10 hari dan sudah tentu tujuannya adalah agar citra Kopassus babak belur. Belum pernah sebelumnya ada suratkabar yang bersikap seperti itu. Inilah salah satu hasil dari Reformasi dan dampak kebebasan pers. Media massa terlihat digunakan untuk tidak semata-mata memberikan informasi yang netral dan untuk mendidik masyarakat, melainkan digunakan oleh redaksinya untuk membela kepentingan politik mereka sendiri. Media massa telah digunakan untuk memberikan informasi yang tidak netral dan bias ide­ologi serta kepentingan politik redaksinya.

Mengapa media massa tertentu bersikap anti TNI? Memang di masa Orde Baru, TNI telah melakukan kesalahan yaitu menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk bersikap represif dan tidak adil terhadap be­berapa individu dan kelompok terutama yang berideologi komunis dan ekstrimis Islam. Selain itu beberapa Perwira mereka telah memperkaya diri dengan melakukan korupsi dengan menyalahgunakan jabatan mereka. Sikap itu melahirkan dendam yang kini dilampiaskan terhadap TNI. Padahal sejak memasuki era Reformasi, TNI telah melakukan retormasi internal akibat tekanan politik. Misalnya, TNI sudah menarik diri dari aktifitas politik, bisnis TNI sudah dilepaskan, dan perannya kini dikhususkan hanya untuk menangani masalah pertahanan. Semua itu membutuhkan pengorbanan dan tidak mudah karena menyangkut perasaan korps. Siapapun yang we­wenangnya dikurangi pasti akan merasa tidak enak. Tetapi meskipun tidak enak, TNI telah berbesar hati melakukannya. Namun rupanya pihak-pihak tertentu yang dulu di tahun 1965 kena gebuk, tetap merasa dendam ter­hadap TNI sehingga terus saja mencari celah untuk memojokkan TNI. Inilah yang terus terjadi saat ini. Asalkan ada "kesalahan"yang dibuat oleh oknum TNI, langsung saja mereka menyerang TNI dengan ganas.

Sikap anti TNI seperti itu tidak boleh diteruskan. Janganlah dendam lama dipertahankan. Keadaan sudah berubah.TNI sudah berubah sehing­ga sudah seharusnya TNI tidak terus menerus dihujat dan dipojokkan. TNI adalah anak bangsa kita juga, sama seperti kita semua. Mereka juga memiliki perasaan dan punya keinginan dihargai secara wajar sebagai sesama anak bangsa. Meskipun saya bukan TNI, tetapi saya mencoba me­mahami bahwa apabila terus menerus disudutkan dan disakiti, TNI suatu saat akan merasa perlu untuk mempertahankan martabat dan harga diri mereka. Jika hal itu terjadi maka persatuan bangsa ini akan terkoyak kem­bali. Karena itu demi persatuan bangsa, saya menghimbau agar semua komponen bangsa menghapus dendam kelompok dan melupakan masa lalu. Semua peristiwa di masa lalu itu bukan akibat dari rekayasa TNI, me­lainkan akibat dari perilaku kelompok yang mencoba melakukan kudeta dengan membunuh beberapa Perwira TNI sehingga TNI melakukan re-vance. Jadi, dalam peristiwa apapun selalu ada sebab dan akibat, selalu ada asap di balik api. Jadi, mulailah belajar hidup rukun agar bangsa ini bisa hidup damai dan sejahtera, adil, dan makmur. (Amir Santoso, Guru-besar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta). Sumber Koran: Pelita (Rabu, 1 Mei 2013, Hal.1)