Negara berkembang yang memiliki perekonomian
cukup
baik termasuk Indonesia diketahui cukup rentan dengan serangan teror menggunakan
senjata biologi atau bio-terorisme, termasuk dengan cara menebar wabah
penyakit. Selain memiliki Pusat Pengendali Krisis yang dibawahi Kementerian Koordinator
bidang Politik Hukum dan Keamanan, Indonesia juga memiliki upaya lain dalam
mendeteksi ancaman ini. Salah satunya pembentukan Desk Chemical Biology Nuclier Radiology Explotion (Cibeme) di
Kementerian Pertahanan. Bagaimana bentuk upaya dan sejauh mana ancaman
bio-terorisme, berikut petikan wawancara SH
dengan Staf Ahli Menteri Pertahanan yang sekaligus menjabat Ketua
Ciberne, Mayjend hartind Asrin, beberapa waktu lalu.
Apa sebenarnya Ciberne?
Desk Ciberne dibentuk dengan dasar
Keputusan Menteri Pertahanan (Kepmenhan) pada Juni 2012 dengan staf ahli
menhan bidang keamanan sebagai ketua desk.
Sewaktu terbentuk belum bekerja maksimal. Pada 19 Februari 2013 ditandatangani oleh sekjen,
struktur ketua Ciberne adalah saya, wakilnya dir anstra ditjen serahan dan
membawahi kepala bidang kimia (tim kerja bidang kimia), kepala bidang biologi
(tim kerja bidang biologi, kepala subbidang radiologi (tim
kerja bidang radiologi), nuclier (tim kerja bidang nuklir), explotion
(tim kerja explotion atau bahan peledak), kepala bidang dipimpin
kolonel.
Apa
peran Ciberne?
Desk ini berperan sebagai embrio untuk
menjadi badan nasional tentang ciberne. Ciberne ini di bidang kebijakan di
Kemenhan nanti dijadikan pada posisi nir-mi-liter (ancaman nonmiliter).
Nir-militer nanti menganalisis sejauh mana ancaman ciberne ini.
Seperti
apa ancaman bio-terorisme?
Ancamannya
lebih gila dari senjata konvensional. Misalnya, satu gram antraks merusaknya
lebih gila, demikian juga H5N1. Semua negara nantinya akan mengantisipasi
ancaman senjata biologi, kimia, dan lainnya. Ancaman ke depan tentang ciberne
ini, contoh flu burung H5N1, yang baru ada flu burung baru H7N9, ini varian
baru, tetap dari binatang (unggas) ke orang. Keganasannya bisa manusianya
lebih dahulu meninggal.
Ini
rawan, contoh di Kuba, pernah pesawat terbang tabur serbuk putih. Tindakan itu
dilihat oleh pesawat domestik yang lalu melapor ke pengendalinya. Setelah dicek
ternyata pesawat asing. Belakangan diketahui ternyata yang ditabur adalah
virus antraks. Akhirnya seminggu setelah laporan, di desa di Kuba orang kena
antraks. Indikasinya hampir sama, universal. Hebatnya, salah satu perusahaan
besar dari satu negara menawarkan vaksin penawarnya.
Demikian
juga bio-terorisme di daerah Jawa yang terjadi 2012 akhir dan 2013. Secara
penyaluran penyakit kan seharusnya melalui China. Waktu itu adanya di China dan
Vietnam penyakit itu, nama variannya baru.
Seharusnya
kalau masuk dari China menyebarnya di Sumatera, tapi kok di Jawa. Itu kan aneh.
Secara pola geografi nggak mungkin.
Ada orang yang melakukan, analisisnya begitu. Orangnya siapa? Kita belum bisa
buktikan karena waktu itu gejalanya belum begitu signifikan. Ramalan intelijen
ada bio-terorismenya. Ada ditabur atau disuntikkan virusnya ke binatang
kemudian dilepas, karena dalam pola penyebarannya nggak normal.
Sebenarnya
apa motif bio-terorisme, apakah menguasai negara?
Tujuannya adalah bisnis vaksin. Itu mahal. Di
Indonesia pernah satu kasus besar terjadi tahun 2007. WHO minta contoh
virus. Kemudian ditawari Indonesia suruh beli (vaksin-red).
Akhirnya
terbongkar sindikat reformasi WHO yang tidak adil. Virus Indonesia dijual ke
perusahaan global negara Barat, dibikin vaksin dan dijual ke negara miskin.
Terjadi reformasi di WHO gara-gara tindakan hebat Ibu Siti Fadilah.
Bio-terorisme
itu lebih condong ke bisnis vaksin bukan untuk menguasai negara. Bisa juga
untuk negara, digunakan seperti waktu di Irak, tetapi senjata biologis atau
kimia dilarang dalam aturan konvensi internasional meskipun negara maju
memilikinya.
Potensi apa yang dimiliki sehingga Indonesia rentan menjadi sasaran bio-terorisme?
Indonesia
penduduknya banyak, ekonomi cukup.banyak. Kalau disebar wabah, vaksinnya akan
mahal. Harganya triliunan.
Apa
langkah kerja desk Ciberne menyikapi ancaman bio-terorisme?
Kami
sudah satu kali melakukan pertemuan di Kemenhan pada 26 Februari dengan 14 stakeholder merangkum semua bidang
tingkat nasional. Ada 13 pakar dikumpulkan yaitu staf ahli menkes bidang
teknologi kesehatan dan globalisasi, staf ahli menristek bidang kesehatan dan
kesehatan obat, direktur kemitraan dan inkubator bisnis Universitas Indonesia,
peneliti senior lembaga eijkman (lembaga peneliti tentang penyakit kimia dan
radiologi), ketua zoonosis rcsearch centre
Airlangga, pejabat BPPT (ahli penelitian kimia dan bahan
peledak), direktur kerja sama internasional pengamanan Kemenlu, kasubdit
senjata pemusnah massal Kemenlu, direktur WHO, tim pengarah BNPB, direktur
teknik kesiap-siagaan nuklir Bapeten, peneliti senior lembaga eijkman, Kapsudokkes Polri, mewakili
direktur Bais, kasubdit zoonosis Kemenkes. Mereka senang Kemenhan sudah
memiliki desk ini. Dengan adanya desk Ciberne ini kita mempunyai formulasi dan networking,
pertama di tingkat nasional.
Kapan sebaiknya badan nasional tentang ciberne terbentuk?
Ancaman
sudah mulai banyak, negara secara terbuka sudah menggunakan itu. Tim di Desk Ciberne dibentuk untuk pencegahan
hingga penanggulangan, tapi kita bersifat koordinasi. Leading sector-nya
adalah Kemenkes. Saat ini di lingkungan Kemenhan kita sedang merumuskan
memasukkannya ke dalam nir-militer. Bagusnya renstra 2014-2019. Sebelum 2020 harus
sudah ada badannya.
Apa
upaya lain mengantisipasi ancaman ini?
Yang diharapkan cegah dini tangkal dini, lihat
orang asing datang ditanya identitas, nomor telepon alamat. Diperlukan
kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap ancaman ini, curiga orang asing
masuk di kampung yang disusul wabah penyakit. (M Bachtiar
Nur), Sumber Koran: Sinar Harapan (30 April 2013/Selasa, Hal. 03)