Kamis, 2 Mei 2013
SORONG (Suara Karya): Kepolisian
Biak saat ini menahan enam orang tersangka kasus pengibaran bendera Papua
Merdeka, Bintang Kejora, di Kampung Ibdi, Kecamatan Biak Timur.
Dari informasi yang dihimpun,
Rabu, keenam warga sipil itu ditangkap ketika mengikuti kegiatan bersama
puluhan warga lainnya saat memperingati "hari anti integrasi" atau
"hari aneksasi" yang juga diperingati tanggal 1 Mei.
Terungkapnya kasus pengibaran
Bintang Kejora terungkap saat aparat keamanan gabungan melakukan patroli dan
mendapati sekelompok warga sedang melakukan kegiatan yang mencurigakan dengan
berorasi yang menghasut serta memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Selain di Biak Timur, Papua,
bendera Bintang Kejora juga dikabarkan dikibarkan di Fak-fak, Provinsi Papua
Barat. Kabid Humas Polda Papua Kombes Gede Sumerta ketika dihubungi Antara dari
Sorong mengelak saat ditanya tentang pengibaran Bintang Kejora. Dia mengakui,
saat ini pihaknya sudah mengamankan enam orang yakni YW, YA, YB, OW, MG, dan
GSY.
Selain mengamankan keenam warga,
aparat keamanan menyita berbagai barang bukti seperti 1 pucuk senjata jenis
airsoft gun, 39 butir amunisi senjata api jenis laras panjang, 5 bilah parang
beserta 7 anak panah.
Ketika ditanya apakah keenam
warga yang ditahan itu terlibat dalam kasus pengibaran Bintang Kejora, Kabid
Humas Polda Papua menegaskan, mereka ditangkap saat bersama sekelompok warga
lainnya berorasi serta berupaya memecah belah NKRI. Namun secara keseluruhan,
situasi kamtibmas di tanah Papua saat ini aman dan terkendali. Demikian
ditegaskan Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Gede Sumerta.
Setiap 1 Mei diperingati sebagai
kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi (NKRI). Namun, bagi sekelompok warga,
ada juga yang memperingati sebagai "hari aneksasi" atau
"pemaksaan".
Informasi lain menyebutkan,
Kepolisian Resor Mimika, Papua, menggagalkan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora
oleh sekelompok warga di kawasan Pasar Minggu, Jalan Trikora, Kwamki Baru,
Timika, Papua, Rabu.
Kapolres Mimika AKBP Jeremias
Rontini kepada Antara di Timika, Rabu, mengatakan, dalam kejadian itu polisi
menangkap 10 warga dan menyita sehelai Bintang Kejora, sebatang pohon pinang
ukuran sekitar 10 meter dan tali.
Warga yang diamankan itu akan
didalami keterlibatannya. Jika terbukti melakukan perbuatan melawan hukum,
mereka akan diproses lebih lanjut. "Kita ikuti aturan negara, bukan aturan
warga negara. Siapa yang bersalah tetap kita proses," kata Rontini.
Sejumlah anggota Perintis dan
Pengendali Massa Polres Mimika dibantu Polsek Mimika Baru, Brimob Detasemen B
Polda Papua dan Garnizun TNI yang tiba di lokasi terlihat beberapa kali
mengeluarkan tembakan peringatan ke udara untuk memaksa warga menghentikan
aksinya.
Di tempat terpisah, putra asli
Papua, Kol Inf Ali Hamdan Bogra, yang juga Kepala Staf Korem 171 PVT Sorong,
menegaskan, integrasi Papua ke dalam NKRI tidak dapat diganggu gugat lagi alias
harga mati. Ini bisa terjadi karena kembalinya Papua ke NKRI sudah melalui
proses nasional dan internasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Singkat cerita, menurut Bogra,
proses legal yang dilakukan oleh PBB adalah menyelenggarakan Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera). Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Pepera tanggal 19 November
1969, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 2504 yang mengakui Irian Barat
sebagai bagian dari NKRI. Dengan demikian, masyarakat internasional sesuai
dengan hukum internasional, telah menegaskan kembali keabsahan keberadaan Irian
Barat dalam NKRI.
Dengan demikian, warga Papua agar
berpikir jernih untuk mencari cara bagaimana membangun negeri ini menjadi
daerah yang lebih maju lagi ke depan. "Jangan berpikir akan ke luar dari
NKRI karena itu hanya sebuah mimpi buruk yang menyengsarakan karena sampai
kapan pun Papua tetap dalam NKRI," kata Bogra.
Perayaan 50 Tahun Emas Papua
kembali ke NKRI, 1 Mei 1963, yang dipersembahkan untuk Provinsi Papua dan Papua
Barat, dipusatkan di Kota Sorong, Papua Barat, kemarin. Acara itu dihadiri
Ketua DPD Irman Gusman dan Menpora Roy Suryo.