Hari-hari
belakangan ini, nama Idjon Djanbi mendadak tenar. Tetapi nama ini jelas bukan Idjon Djanbi yang
mantan anggota Korps Speciale Troepen KNIL yang aslinya bernama Rokus
Bernardus Visser, lelaki kelahiran Kanada tahun 1915 yang berjasa membangun
satuan komando
di TNI yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Komandan
pertama Kopassus dengan pangkat terakhir letnan kolonel itu jelas telah wafat.
Nama
tersebut adalah sebuah akun di laman situs pertemanan Facebook (FB) yang
mendadak ngetop
karena analisisnya soal tragedi penembakan empat tahanan di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Ia menyebutkan, penembakan
di Lapas Cebongan justru dilakukan pasukan elite Polri dari Unit Zeni Bom
(Zibom) Gegana. Motifnya, kata Idjon, persaingan antar-kartel narkoba di tubuh
Polri.
Bahkan si Idjon menyebut nama dua petinggi Polri,
yaitu Komjen Oegroseno
(dia tulis dengan huruf besar UGOH SENO) dan (juga dengan huruf besar) GORIES
MERE. Nama terakhir adalah mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), yang
juga turut membidani kelahiran pasukan anti-teror Polri, Densus 88. Entah dari
mana si Idjon punya logika mengaitkan kasus ini dengan dua petinggi Polri itu
dan kartel narkoba di tubuh Polri.
Boleh jadi, isu itu juga dikipasi masalah
pergantian Kalakhar BNN dari Komjen Gories Mere ke Irjen Anang Iskandar,
Desember tahun lalu. Tadinya, yang akan menduduki jabatan itu kabarnya adalah
Komjen Oegroseno, tetapi keputusan itu dibatalkan. Saat itu, alasan resmi
Kapolri soal batalnya pengangkatan Oegroseno, karena terbentur usia yang telah
di atas batas 56 tahun seperti yang disyaratkan.
Kalau
soal narkoba, Idjon mengaitkannya dengan salah satu korban penembakan, yaitu
Bripka Yohanis Juan Manbait, anggota Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
yang pernah terlibat kasus narkoba. Juan menjadi tokoh sentral dalam cerita
versi Idjon Djanbi. Menurut dia, Bripka Juan tidak terlibat dalam kasus
pengeroyokan Sersan Satu Santoso (Idjon menyebut pangkat Santoso adalah serka,
tetapi di bagian lain sertu) di Hugo's Cafe. Juan justru berusaha melerai dan
menolong korban.
Yang
terlibat pemukulan itu malah tiga anggota Brimob yang hingga saat ini, kata
Idjon, tak pernah diungkap pihak Polda DIY. Tetapi, menurut Idjon, justru
Bripka Juan ikut ditangkap bersama terduga pelaku lainnya, yaitu Benyamin
Sahetapy alias Deki, Adrianus Chandra Galaja alias Dedi, dan Yerminto Rohi Riwu
alias Adi.
Kata
Idjon, Juan juga merasa dikorbankan dalam kasus di Hugo's. "Biasalah,
polisi yang penting sudah nangkap satu agar terlihat berhasil," kata
Juan dalam postingan
Idjon. Karena itu, Juan mengancam akan membuka keterlibatan tiga
anggota Brimob tersebut.
Dari
sinilah isu adanya persaingan antar-bandar narkoba diapungkan Idjon. Dalam
versi Idjon, jika memang Juan (yang menurut dia masih anggota polisi aktif)
memang tidak terlibat dan justru melerai perkelahian, semestinya tidak perlu
khawatir adanya tindakan balasan dari Kopassus. Sebaliknya, kata Idjon,
Kopassus juga tidak ada alasan untuk mengincar Juan.
Nyatanya, Juan merasa tertekan dan berfirasat
ada pihak yang akan menghabisinya. Saat dimasukkan ke blok Lapas Cebongan, Juan
sempat menunjukkan respeknya kepada petugas, dengan mengambil sikap siap dan
memberikan penghormatan, walaupun tangannva diikat dan ditodong dengan senjata
oleh anggota Brimob. "Kepada petugas, hormat gerak... tegak
gerak...." Bripka Juan juga mengatakan, "Saya kok diperlakukan
seperti teroris, diikat dan ditodong dengan senjata."
Menurut
Idjon, Juan merasa ada persaingan dan dia akan disingkirkan. "Ini adalah
persaingan yang sengaja "menyingkirkan saya," katanya. Oleh Idjon,
pernyataan ini ditafsirkan sebagai pengakuan Juan sebagai bandar narkoba
(karena Juan memang pernah terlibat kasus narkoba) dan ada anggota Polda DIY
lainnya yang menjadi bandar narkoba vang ingin menyingkirkan Juan.
Karena itulah, Idjon berkesimpulan, yang menghabisi
Juan cs adalah polisi sendiri. Dia menuduh pelakunya adalah anggota Zibom,
Gegana Polri yang kata Idjon, adalah binaan Gories Mere dan bukan Kopassus. Alasannya, pelaku mengetahui
persis dan hafal
area Lapas Cebongan. Kopassus, menurut Idjon, tak pernah ke Lapas Sleman.
Dengan demikian, sehebat apa pun, anggota Kopassus tak mungkin mengerjakan
"operasi" itu dalam waktu 1S menit.
Selain
itu, kata Idjon, para pelaku juga menyodorkan surat peminjaman tahanan. Menurut
Idjon, hanya ada dua institusi yang tahu soal ini, yaitu kejaksaan dan
kepolisian, dan kemungkinan sangat kecil menuduh kejaksaan. Idjon juga
"menyerang" anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Ahmad Yani. Ia
menyebut ucapan Yani yang mengatakan bahwa senjata yang digunakan penyerang
adalah senjata organik TNI sebagai cara Yani menggiring opini publik untuk
mengarahkan tudingan ke Kopassus.
Meski
logika Idjon terkesan melompat-lompat dan "fakta" yang dihadirkan
terkesan dipaksakan, ada saja yang percaya pada isi postingan itu. Laksamana Pertama
(purnawirawan) Mulyo Wibisono dalam sebuah diskusi mengatakan, ada korelasi
antara penyerangan Lapas Cebongan dan persaingan sindikat narkotika. Pijakan
awal atas dugaan tersebut, korban yang menjadi sasaran pembantaian terlibat
dalam peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
"Korbannya
itu kan pakai narkoba. Justru kartel narkoba inilah yang membuat cover storynya seolah-olah
TNI dan Polri yang terlibat," ujarnya. Mulyo mengatakan, boleh jadi memang
sedang ada perebutan kekuasaan antar-kartel narkoba. Menurut dia, terlalu dini
jika kasus itu dimaksudkan untuk menyudutkan TNI. Sebab senjata yang digunakan dalam penyerangan
tersebut tidak hanya dimiliki TNI. Dia menyebutkan, senjata AK-47 juga banyak
terdapat di Aceh sejak konflik bersenjata terjadi.
Sekretaris
Jenderal Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (Pena 98), Adian Napitupulu, juga
menilai "analisis" Idjon Djanbi masuk akal. "Tulisan Idjon
Djanbi di FB, apa pun motifnya, benar atau tidak isinya, tapi berbagai analisis
dalam penulisannya cukup logis dan meyakinkan, ditambah peristiwanya ditulis
secara kronologis dan detail," katanya. Apalagi, Idjon menyertakan
foto-foto untuk memperkuat analisisnya.
Namun,
menurut Koordinator Kontras, Haris Azhar, analisis Idjon itu hanyalah bahan
bacaan. "Kalau Idjon benar-benar mau mengungkap kasus ini, sebaiknya
muncul saja ke publik dan jadikan keterangannya itu bisa dibuktikan sebagai
alat bukti hukum," ujarnya kepada Gatra.
Tudingan keterlibatan Komjen Oegroseno dan Komjen (purnawirawan) Gories Mere,
menurut dia, juga tendensius dan tidak bisa dibuktikan.
Haris
berharap, ada proses yang lebih fair
dan terbuka dalam kasus ini. Ia menyayangkan adanya kesan perlombaan
investigasi antara Komnas HAM, TNI Angkatan Darat, dan Polri. "Sebaiknya
dibentuk tim independen kepresidenan untuk koordinasi pencarian fakta kasus
Cebongan. Jangan sampai nanti ada berbagai klaim atas nama lembaga
masing-masing. Orang mau pakai yang mana?" katanya.
Sementara
itu, pihak Mabes Polri mengimbau agar masyarakat tidak mempercayai begitu saja
isi postingan Idjon
Djanbi. "Imbauan saya agar masyarakat tidak terpancing dengan pengalihan
isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata Kepala Divisi Humas
Polri, Irjen Suhardi Alius. Suhardi menyatakan, polisi masih mendalami kasus
ini. "Kalau sudah ada progress,
akan kami sampaikan dan dirilis," ujarnya.
Imbauan
serupa disampaikan Kapuspen TNI, Laksamana Muda Iskandar Sitompul. Menurut dia,
kasus ini perlu didalami secara kritis dan akurat. "Jika investigasi sudah
selesai, polisi maupun TNI akan memberi informasi. Jangan mau terprovokasi oleh
apa pun. Mari kita tunggu saja hasilnya," katanya kepada Hayati Nupus dari
Gatra.
Anggota
Komisi III, Ahmad Yani, mengaku tak pernah menyebutkan bahwa pelaku penembakan
di Lapas Cebongan adalah Kopassus seperti yang dituduhkan Idjon Djanbi. Ia
menyayangkan munculnya akun itu, sebab penyelidikan masih berlangsung.
"Kita belum tahu pastinya. Biarkanlah penyelidikan diselesaikan dulu. Tapi
dugaan bahwa itu dilakukan Polri tidak mungkin," tuturnya kepada Gatra.
Menurut
Wakil Ketua Komisi I, Tb. Hasanuddin, kunci untuk menguak kasus ini adalah
penelusuran terhadap selongsong peluru yang ditemukan di lokasi kejadian, yaitu
peluru kaliber 7.62 mm. Purnawirawan TNI berpangkat terakhir mayor jenderal ini
menyebutkan, ada empat jenis peluru kaliber 7.62 mm. Pertama, 7.62 x 39 mm
yang digunakan Brimob Polri. Kedua, kaliber 7.62 x 45 mm yang dipakai Sabhara
Polri. Ketiga, kaliber 7.62 x 51 mm yang dipakai kesatuan teritorial TNI untuk
senapan serbu. Keempat, kaliber 7.62 x 61 mm untuk senjata mesin.
Senjata AK-47 yang diduga digunakan dalam
penyerangan itu, kata Hasanuddin, memang masih dimiliki sejumlah kesatuan elite
di TNI seperti Paskhas dan Kopassus. Namun senjata-senjata itu buatan* Rusia
sisa Perang Dunia dan umumnya digunakan untuk latihan. Sedangkan AK-47 versi
baru digunakan Brimob. "Saya heran, kenapa selongsong pelurunya tak
diungkap secara rinci. Padahal, dari selongsong bisa diketahui detail peluru yang
digunakan," ia menegaskan. (M. Agung riyadi, Deni Mulya
Barus, & Sandika Prihatnala), Sumber: Majalah Gatra
(10 April 2013/Rabu, Hal. 86)