Jakarta, Terungkapnya
pelaku penembakan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan,
Sleman, DI Yogyakarta, harus dijadikan momentum untuk merevisi Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Upaya ini sebagai bentuk
reformasi di sektor keamanan.
Kamis
(4/4), Ketua Tim Investigasi TNI AD Brigjen Unggul Yudhoyono mengumumkan 11
tersangka penembakan empat tahanan di LP Cebongan. Mereka adalah anggota Grup
II Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah.
Meskipun
, tindakan para tersangka masuk kategori pidana umum, mereka akan ditangani
oleh pengadilan militer. UU Peradilan Militer memang secara tegas menyebutkan,
setiap anggota TNI yang melakukan tindak pidana, termasuk pidana umum, diadili
di pengadilan militer.
Apabila
para tersangka tersebut dibawa ke pengadilan militer, kata peneliti Elsam,
Wahyudi Djafar, yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa proses di
pengadilan militer tersebut bisa berlangsung secara transparan, terbuka, dan
akuntabel. Para pelaku harus diberi hukuman yang setimpal.
"Jangan
sampai muncul impunitas-impunitas baru yang kemudian jadi pijakan bagi mereka
untuk membuka kemungkinan terjadinya hal yang sama di masa mendatang,"
ujarnya di Jakarta, Kamis.
Dia
berharap kasus ini mendorong DPR dan pemerintah untuk segera mengambil inisiatif
merevisi UU Peradilan Militer. Ke depan, DPR harus mengusahakan perbuatan
kriminal yang dilakukan
anggota TNI dapat diadili di pengadilan sipil.
Wakil
Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, DPR akan berinisiatif mengajukan revisi UU
Peradilan Militer yang tertunda sejak 2009. Hal itu akan dibahas dengan Badan
Legislasi DPR Walaupun dalam pembahasan sebelumnya UU ini merupakan inisiatif
pemerintah, DPR bisa mengambil alih.
Pramono
mengungkapkan hal itu seusai menerima perwakilan masyarakat yang menyoroti kasus
penyerbuan LP Cebongan, Rabu, di Jakarta. Perwakilan masyarakat yang berasal
dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat menilai kasus tersebut sebagai
momentum untuk merevisi UU Peradilan Militer.
Bhatara
Ibnu Reza dari Imparsial mengatakan, selama ini banyak persoalan di mana
aparat TNI seakan kebal hukum. Revisi UU Peradilan Militer sebenarnya pernah
dibahas DPR selama periode 2004-2009.
Poengky
Indarti dari Imparsial menyebutkan, pembahasan revisi UU Peradilan Militer
diperlukan untuk memotong rantai impunitas yang selama ini membelenggu
peradilan militer.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, dalam
sebuah negara hukum, seluruh warga, termasuk tentara, harus sama kedudukannya
dalam hukum. Dalam banyak kasus yang terjadi tidak dalam konteks perang, misalnya
kasus-kasus pidana, tentara seperti mendapat kekebalan lewat norma di mana
mereka tidak masuk ke pengadilan pidana umum. "Kecuali kalau dalam kasus
mata-mata atau perang, nah, itu cocok pakai UU Peradilan Militer," ucap
Hendardi.
Wakil
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, dalam pembahasan UU Peradilan
Militer hingga 2009, sebenarnya tinggal tersisa tujuh hal yang tidak disepakati
DPR dan pemerintah. Salah satunya adalah tidak masuknya aparat TNI yang melakukan
tindak pidana ke peradilan umum. "Bisa saja nanti itu kita masukan ke
pasal KUHP dan KUHAP yang sekarang sedang dibahas," tutur Aziz.
Revisi
UU Peradilan Militer memang tidak termasuk dalam rencana pembahasan legislasi
2009-2014. Namun, menurut Eva Kusuma Sundari dari Fraksi PDI-P, bisa saja ada
agenda yang disisipkan. Hal ini lumrah dilakukan pemerintah. Apalagi, saat ini
ada urgensi melihat perkembangan situasi.
Menurut
Helmy Fauzi dari Fraksi PDI-P, Komisi I telah beberapa kali meminta pembahasan
hal ini kepada Kementerian Pertahanan, tetapi belum mendapat tanggapan.
"Kita butuh juga konsep akademis," ujarnya.
Koordinator
Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Putri Kanesia
mengatakan, pihaknya setuju UU Peradilan Militer direvisi sebagai bentuk
reformasi di sektor keamanan.
"Praktiknya, selama init banyak
kasus hukum yang melibatkan anggota militer yang diadili di pengadilan militer
akhirnya mendapat hukuman tidak maksimal," katanya. (ANA/ONG/EDN), Sumber Koran: Kompas (05 April 2013/Rabu, Hal. 04)