Jumat, 05 April 2013

Revisi UU Peradilan Militer_Pembahasan Tertunda sejak 2009

Jakarta,     Terungkapnya pelaku penembakan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, harus dijadikan momentum untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Upaya ini sebagai bentuk reformasi di sektor keamanan.

Kamis (4/4), Ketua Tim In­vestigasi TNI AD Brigjen Unggul Yudhoyono mengumumkan 11 tersangka penembakan empat ta­hanan di LP Cebongan. Mereka adalah anggota Grup II Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah.

Meskipun , tindakan para ter­sangka masuk kategori pidana umum, mereka akan ditangani oleh pengadilan militer. UU Per­adilan Militer memang secara tegas menyebutkan, setiap ang­gota TNI yang melakukan tindak pidana, termasuk pidana umum, diadili di pengadilan militer.

Apabila para tersangka terse­but dibawa ke pengadilan militer, kata peneliti Elsam, Wahyudi Djafar, yang harus dilakukan ada­lah memastikan bahwa proses di pengadilan militer tersebut bisa berlangsung secara transparan, terbuka, dan akuntabel. Para pe­laku harus diberi hukuman yang setimpal.

"Jangan sampai muncul impunitas-impunitas baru yang ke­mudian jadi pijakan bagi mereka untuk membuka kemungkinan terjadinya hal yang sama di masa mendatang," ujarnya di Jakarta, Kamis.

Dia berharap kasus ini men­dorong DPR dan pemerintah un­tuk segera mengambil inisiatif merevisi UU Peradilan Militer. Ke depan, DPR harus mengusa­hakan perbuatan kriminal yang dilakukan anggota TNI dapat di­adili di pengadilan sipil.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, DPR akan berinisiatif mengajukan revisi UU Peradilan Militer yang ter­tunda sejak 2009. Hal itu akan dibahas dengan Badan Legislasi DPR Walaupun dalam pemba­hasan sebelumnya UU ini meru­pakan inisiatif pemerintah, DPR bisa mengambil alih.

Pramono mengungkapkan hal itu seusai menerima perwakilan masyarakat yang menyoroti ka­sus penyerbuan LP Cebongan, Rabu, di Jakarta. Perwakilan ma­syarakat yang berasal dari sejum­lah lembaga swadaya masyarakat menilai kasus tersebut sebagai momentum untuk merevisi UU Peradilan Militer.

Bhatara Ibnu Reza dari Imparsial mengatakan, selama ini ba­nyak persoalan di mana aparat TNI seakan kebal hukum. Revisi UU Peradilan Militer sebenarnya pernah dibahas DPR selama pe­riode 2004-2009.

Poengky Indarti dari Imparsial menyebutkan, pembahasan revi­si UU Peradilan Militer diperlu­kan untuk memotong rantai impunitas yang selama ini membe­lenggu peradilan militer.

Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, dalam sebuah negara hukum, seluruh warga, termasuk tentara, harus sama ke­dudukannya dalam hukum. Dalam banyak kasus yang terjadi tidak dalam konteks perang, misalnya kasus-kasus pidana, tenta­ra seperti mendapat kekebalan lewat norma di mana mereka tidak masuk ke pengadilan pida­na umum. "Kecuali kalau dalam kasus mata-mata atau perang, nah, itu cocok pakai UU Peradilan Militer," ucap Hendardi.

Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, dalam pembahasan UU Peradilan Militer hingga 2009, sebenarnya tinggal tersisa tujuh hal yang ti­dak disepakati DPR dan peme­rintah. Salah satunya adalah tidak masuknya aparat TNI yang melakukan tindak pidana ke per­adilan umum. "Bisa saja nanti itu kita masukan ke pasal KUHP dan KUHAP yang sekarang sedang dibahas," tutur Aziz.
Revisi UU Peradilan Militer memang tidak termasuk dalam rencana pembahasan legislasi 2009-2014. Namun, menurut Eva Kusuma Sundari dari Fraksi PDI-P, bisa saja ada agenda yang disisipkan. Hal ini lumrah dilaku­kan pemerintah. Apalagi, saat ini ada urgensi melihat perkem­bangan situasi.

Menurut Helmy Fauzi dari Fraksi PDI-P, Komisi I telah beberapa kali meminta pembahasan hal ini kepada Kementerian Pertahanan, tetapi belum mendapat tanggapan. "Kita bu­tuh juga konsep akademis," ujar­nya.

Koordinator Impunitas Komi­si untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Putri Kanesia mengatakan, pihaknya setuju UU Peradilan Militer dire­visi sebagai bentuk reformasi di sektor keamanan.

"Praktiknya, selama init ba­nyak kasus hukum yang melibat­kan anggota militer yang diadili di pengadilan militer akhirnya mendapat hukuman tidak mak­simal," katanya. (ANA/ONG/EDN), Sumber Koran: Kompas (05 April 2013/Rabu, Hal. 04)