Penulis : Dani Prabowo | Sabtu, 6
April 2013 | 19:32 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Maraknya
aksi kekerasan yang terjadi antara TNI dan Polri merupakan warisan persoalan
pemisahan wewenang TNI-Polri yang belum diselesaikan. Pengalihan sebagian peran
TNI kepada Polri disinyalir kuat menjadi penyebab hal tersebut. Hal itu
dikatakan mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus Sutiyoso, dalam sebuah acara
diskusi bertajuk Kecolongan Aksi Cebongan di Jakarta, Sabtu (6/4/2013) siang.
"Setelah dipisahkan, fungsi
TNI hanya sebagai alat pertahanan negara. Ini berfungsi jika negara diserang
oleh negara lain. Kalau seperti saat ini, negara tidak diserang, maka TNI jadi
pengangguran kelas tinggi," kata Sutiyoso.
Dirinya mengatakan, sejumlah
fungsi keamanan negara yang sebenarnya dapat ditangani TNI diambil alih oleh
Polri. Hal ini, di antaranya, penanggulangan kasus terorisme hingga narkoba.
Hal itulah yang akhirnya justru menjadi beban psikologis yang harus dialami TNI
sebagai instansi yang berwenang sebagai alat pertahanan negara.
"Di Kopassus kita punya Den 81. Itu
adalah unit elit TNI yang digunakan untuk menanggulangi persoalan terorisme.
Namun yang terjadi sekarang, yang menangani persoalan teroris adalah Densus
88," ujarnya.
Menurutnya, saat ini hal yang
perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu perlu membenahi peraturan yang mengatur
tugas dan wewenang TNI di masyarakat. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus
memperhatikan kesejahteraan di tubuh TNI. Dengan demikian, tidak ada lagi
kesenjangan di tubuh aparat. Sutiyoso mengatakan, kesenjangan kesejahteraan
memicu terjadinya tindakan radikal di antara dua instansi bela negara seperti
yang terjadi di OKU maupun Lapas Cebongan. "Intinya porsinya perlu diatur.
Polisi cukup tangani persoalan tertentu dan tidak perlu semuanya,"
ujarnya.