Rabu, 17 April 2013

Rokok, Kopi, dan Lagu


Kerlap dari bara rokok terakhir di tangan Misbahudin belum padam. Asapnya masih berkelindan di pos kecil yang berdiri tidak jauh dari pinggiran hutan Kota Jayapura, Papua. Hanya sebentar, karena angin berhembus dan membawanya pergi.

Pos terbuka itu hanya ditutup papan sebatas perut orang dewasa. Atapnya yang terbuat dari rumbia mampu meneduhi penjaganya dari hujan dan panas.

Bersama tiga rekannya, siang itu Misbahudin baru saja kembali dari patroli di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Patroli juga mereka manfaatkan untuk mengecek patok batas wilayah negara.

Misbahudin adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, berpangkat kopral kepala. Ia sudah 2 bulan menjaga perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Selama 6 bulan, prajurit dari Batalyon Infanteri 412 Raider, Purworejo, Jawa Tengah, itu akan bertugas di Pos 09 Kampung Moso, yang berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.

Sambil beristirahat, seorang teman Misbahudin menghidupkan tape recorder kecil. Musik dangdut pun terdengar dan membelah kesunyian. Setelah beberapa lagu, tape berganti mendendangkan tembang lawas pop Indonesia. Tidak lama kemudian, lagu-lagu pos berbahasa Papua juga mengalun dinamis.

Secangkir kopi di tangan salah seorang prajurit menguar aroma sedap di tengah gerimis. Mereka bergantian menyeruput, dengan perlahan, dan nikmat".

"Ini bukan pengalaman pertama saya bertugas jauh dari keluarga. Beberapa kali saya dikirim ke Aceh, dan sebelum di Jayapura, saya juga pernah bertugas di Wamena," papar Misbahudin, yang siang itu menjadi prajurit yang dituakan.

Kondisi tempat tugas pun tidak pernah ia risaukan. Bahkan, ia mengaku beruntung bertugas di Pos 09 Moso. Ada pos TNI-AD lainnya yang berada di dalam belantara. Pos 21, misalnya, lokasinya sangat sulit dijangkau.

Sedihnya, jika pasokan logistik berupa bahan makanan datang, prajurit di Pos 21 itu harus datang dengan berjalan kaki. Mereka pun harus memanggul logistik kembali ke hutan.























Jadi hakim
TNI membangun 94 pos penjagaan di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Pos itu terbentang mulai Pegunungan Bintan, Boven Digul, Jayapura, hingga Arso dan Kabupaten Kerom. Ada beberapa batalion pasukan yang senantiasa bertugas di sana. Mereka bertugas menjaga garis perbatasan yang panjangnya sekitar 780 kilometer.

Sekalipun tugas utama para penjaga perbatasan ini adalah keamanan, nyatanya dalam keseharian mereka ada tugas-tugas lain yang tidak bisa dielakkan. "Kami mendapat pesan dari pimpinan untuk ikut mendukung kebijakan ekonomi nasional," papar Misbahudin.

Dalam praktiknya, para prajurit itu juga berperan, sebagai penyuluh pertanian. Di lain waktu, mereka juga harus menjadi guru. Bahkan, dalam situasi terdesak, tugas layaknya hakim pun harus mereka tunaikan.

"Menjadi hakim harus kami lakukan jika ada masyarakat Kampung Moso dan beberapa daerah terdekat terlibat perkelahian atau konflik. Sebab, bila tidak diselesaikan masalah kecil itu bisa-bisa menjadi persoalan yang pelik dan makin sulit diselesaikan,'"tuturnya.

Warga memilih mendatangi pos-pos TNI karena kampung mereka sangat jauh dari kantor kelurahan atau kantor polisi. "Kalau masyarakat sudah datang, minta bantuan, kami wajib membantu. Bisa saya yang langsung turun atau anggota lain.

Permukiman terdekat dari pos itu adalah Kampung Moso. Dihuni 54 kepala keluarga, penduduk di sana merupakan imigran dari Papua Nugini.

"Kami masuk ke sini sejak 2003, dan kini sudah menjadi warga negara Indonesia," kata Kepala Kampung Moso Charles Wepafoa.

Bagi warga kampung tersebut, anggota TNI penjaga perbatasan adalah teman. "Mereka sering menggelar kerja bakti. Hasil kerja tentara lebih cepat dan maksimal,' paparnya.

Ia menunjuk ke sebuah jembatan di kampungnya yang merupakan hasil kerja prajurit TNI. Meski dibangun 5 tahun lalu, jembatan itu masih kukuh dan bisa digunakan sampai sekarang. (Marcelinus Kellen/N-2), Sumber Koran: Media Indonesia (17 April 2013/Rabu, Hal. 22)