Kerlap dari bara rokok terakhir di tangan
Misbahudin belum padam. Asapnya masih berkelindan di pos kecil yang berdiri
tidak jauh dari pinggiran hutan Kota Jayapura, Papua. Hanya sebentar, karena
angin berhembus dan membawanya pergi.
Pos terbuka itu hanya ditutup papan sebatas perut
orang dewasa. Atapnya yang terbuat dari rumbia mampu meneduhi penjaganya dari
hujan dan panas.
Bersama tiga rekannya, siang itu Misbahudin baru
saja kembali dari patroli di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Patroli juga
mereka manfaatkan untuk mengecek patok batas wilayah negara.
Misbahudin adalah prajurit Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat, berpangkat kopral kepala. Ia sudah 2 bulan menjaga
perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Selama 6 bulan, prajurit dari Batalyon
Infanteri 412 Raider, Purworejo, Jawa Tengah, itu akan bertugas di Pos 09 Kampung Moso, yang
berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.
Sambil beristirahat, seorang teman Misbahudin
menghidupkan tape recorder kecil. Musik dangdut pun terdengar dan
membelah kesunyian.
Setelah beberapa lagu, tape berganti mendendangkan tembang lawas pop
Indonesia. Tidak lama kemudian, lagu-lagu pos berbahasa Papua juga mengalun
dinamis.
Secangkir kopi di tangan salah seorang prajurit
menguar aroma sedap di tengah gerimis. Mereka bergantian menyeruput, dengan
perlahan, dan nikmat".
"Ini bukan pengalaman pertama saya bertugas
jauh dari keluarga. Beberapa kali saya dikirim ke Aceh, dan sebelum di
Jayapura, saya juga pernah bertugas di Wamena," papar Misbahudin, yang
siang itu menjadi prajurit yang dituakan.
Kondisi tempat tugas pun tidak pernah ia risaukan.
Bahkan, ia mengaku beruntung bertugas di Pos 09 Moso. Ada pos TNI-AD lainnya
yang berada di dalam belantara.
Pos 21, misalnya, lokasinya
sangat sulit dijangkau.
Sedihnya, jika pasokan logistik berupa bahan
makanan datang, prajurit di Pos 21 itu harus datang dengan berjalan kaki.
Mereka pun harus memanggul logistik kembali ke hutan.
Jadi hakim
TNI membangun 94 pos
penjagaan di perbatasan Indonesia-Papua
Nugini. Pos itu terbentang mulai Pegunungan Bintan, Boven Digul, Jayapura,
hingga Arso dan Kabupaten Kerom. Ada beberapa batalion pasukan yang senantiasa
bertugas di sana. Mereka bertugas menjaga garis perbatasan yang panjangnya
sekitar 780 kilometer.
Sekalipun tugas utama para penjaga perbatasan
ini adalah keamanan, nyatanya dalam keseharian mereka ada tugas-tugas lain yang
tidak bisa dielakkan. "Kami mendapat pesan dari pimpinan untuk ikut mendukung
kebijakan ekonomi nasional," papar Misbahudin.
Dalam praktiknya, para prajurit itu juga berperan,
sebagai penyuluh pertanian. Di lain waktu, mereka juga harus menjadi guru.
Bahkan, dalam situasi terdesak, tugas layaknya hakim pun harus mereka tunaikan.
"Menjadi hakim harus kami lakukan jika ada
masyarakat Kampung Moso dan beberapa daerah terdekat terlibat perkelahian atau
konflik. Sebab, bila tidak diselesaikan masalah kecil itu bisa-bisa menjadi
persoalan yang pelik dan makin sulit diselesaikan,'"tuturnya.
Warga memilih mendatangi pos-pos TNI karena kampung
mereka sangat jauh dari kantor kelurahan atau kantor polisi. "Kalau
masyarakat sudah datang, minta bantuan, kami wajib membantu. Bisa saya yang
langsung turun atau anggota lain.
Permukiman terdekat dari pos itu adalah Kampung
Moso. Dihuni 54 kepala keluarga, penduduk di sana merupakan imigran dari Papua
Nugini.
"Kami masuk ke sini sejak 2003, dan kini sudah
menjadi warga negara Indonesia," kata Kepala Kampung Moso Charles Wepafoa.
Bagi warga kampung tersebut, anggota TNI penjaga
perbatasan adalah teman. "Mereka sering menggelar kerja bakti. Hasil kerja
tentara lebih cepat dan maksimal,' paparnya.
Ia menunjuk ke sebuah
jembatan di kampungnya yang merupakan hasil kerja prajurit TNI. Meski dibangun
5 tahun lalu, jembatan itu masih kukuh dan bisa digunakan sampai sekarang. (Marcelinus Kellen/N-2), Sumber
Koran: Media Indonesia (17 April 2013/Rabu, Hal. 22)