Para pria di dalam
pertemuan itu awalnya saling mengumbar senyum. Lalu mereka pun melempar salam
khas mereka, salam komando. Tangan mengepal ke atas, sembari berseru: komando!
Selasa, 19 Maret lalu, pukul 13.00, para pejabat Komando Daerah
Militer Diponegoro bertandang ke markas Kepolisian Daerah Yogyakarta dijalan
Lingkar Utara, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka adalah Komandan
Daerah Militer (Dandim) Sleman, Dandim Kota Yogyakarta, Kepala Resor Militer,
dan Kepala Detasemen Polisi Militer. Komandan Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan hadir pula. Dari
kepolisian, ada Kepala Kepolisian Resor Sleman dan Yogyakarta serta Kepala
Polda Yogyakarta Brigadir Jenderal Sabar Rahardja.
Itu
bukan pertemuan biasa. Tak banyak bicara, mereka langsung menanyakan perkembangan
kasus pembunuhan Sersan Kepala Heru Santoso, anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan yang saat itu
tengah bertugas di Komando Daerah Militer Diponegoro. Santoso dibunuh di
Hugo's Cafe, Yogyakarta, Selasa dinihari, dua belas jam sebelum pertemuan itu.
"Mereka lalu nonton bareng
rekaman CCTV saat Santoso dibunuh di Hugo's Cafe," kata sumber Tempo.
Direktur
Reserse Kriminal Polda Yogyakarta Komisaris Besar Kris Erlangga membenarkan
adanya pertemuan tersebut. Ia mengatakan para tentara itu datang sebagai
pelapor karena korban pembunuhan adalah rekan mereka. Tim Kris lantas memaparkan
hasil penyidikan. Kepada para tamunya diputar pula rekaman CCTV peristiwa di Hugo’s Café. Kris
menyuguhkan rekaman itu agar mereka tahu bagaimana pembunuhan tersebut terjadi.
Saat itu, memang gencar beredar kabar Santoso dibantai seorang polisi.
Namun
tak seluruh rekaman CCTV tersebut diputar, hanya potongannya. Pada saat itulah
terdengar celetukan dari para tentara: rekaman tersebut sudah dimanipulasi.
Kris menampik tudingan itu. Pihaknya, ujar dia, hanya menunjukkan cuplikan yang
penting: saat adegan Santoso dianiaya para pelaku. Rekaman asli, kata Kris,
sudah diambil tim Pusat Laboratorium Forensik. "Kami ingin menunjukkan
bahwa pelakunya bukan cuma polisi. Ia dibunuh secara bersama-sama oleh empat
orang," ucap Kris, Jumat pekan lalu.
Menurut
Kris, polisi bergerak cepat mengungkap kasus Hugo's Cafe itu. Satu jam setelah
pembunuhan Santoso, polisi menangkap Hendrik Angel Sahetapy alias Deki.
Beberapa jam kemudian, ditangkap pula Yohanis Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto
Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Saat ditangkap,
Juan masih berstatus polisi meski tengah tersangkut kasus kepemilikan narkoba.
"Setelah beberapa jam diperiksa di Polres Sleman, mereka diboyong ke
tahanan Polda," kata Kris.
Nonton bareng itu
rupanya benar-benar tak bisa meredakan kegalauan para pemimpin korps baret
merah tersebut. Sumber Tempo mengatakan,
dalam pertemuan itu, tentara meminta polisi menyerahkan Deki cs agar merekalah
yang "mengurus" para tersangka tersebut. Permintaan ini ditolak.
Sumber Tempo yang lain
menyebutkan, saat para reserse berburu Deki cs, mereka sempat berhadapan
dengan segerombolan
pria berambut cepak.
Para pria itu diduga ingin
mendahului polisi menangkap Deki, tapi gagal. Mereka sempat mendatangi Polres
Sleman saat para tersangka pembunuh Santoso ditahan di sana.
Kepala Polres Sleman Ajun Komisaris Besar Hery Sutriman terlihat gagap saat Tempo meminta konfirmasi tentang hal
ini dua pekan lalu. "Jangan saya yang bicara...," ujarnya sambil
berjalan menjauh dengan suara terpatah-patah. Deki dan kawan-kawan pada Jumat
tiga pekan lalu
dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan. Sabtu diniharinya, mereka tewas
ditembus peluru senapan AK-47 saat berada di sel. Pelakunya belasan pria
bertopeng yang memaksa masuk ke penjara. Keesokan harinya,
Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso mengatakan tidak ada
anggota TNI yang terlibat penyerangan itu. Namun sudah santer berembus kabar
anggota Kopassus berada di balik penyerbuan tersebut. Peristiwa ini memancing
reaksi berbagai
pihak.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk tim investigasi yang
diterjunkan ke Yogya untuk menelisik kasus ini, termasuk mendatangi asrama mahasiswa
Nusa Tenggara Timur-tempat Deki cs sering bertemu dan sel tempat
pembantaian itu terjadi, sel A5, Blok Anggrek. "Ada pelanggaran hak atas
hidup dalam peristiwa ini," kata Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila.
Empat
hari kemudian, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo
ikut membentuk tim investigasi, yang beranggotakan sembilan orang. Tim dipimpin
Wakil Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal
Unggul K. Yudhoyono. "Ada indikasi anggota TNI Angkatan Darat terlibat
dalam peristiwa ini," ujar Pramono, Jumat dua pekan lalu. Polisi ikut
bergerak menyelidiki kasus ini. Sejumlah personel Detasemen 88 Antiteror
dikirim ke Yogyakarta. Tiga lembaga negara ini kemudian saling "berburu
penyerbu" LP Cebongan.
Kamis pekan
lalu, tim sembilan mengumumkan hasil kerja mereka selama enam hari di
Yogyakarta. Unggul mengatakan sebelas anggota Kopassus Grup 2 Kandang
Menjangan terlibat penyerbuan itu. Sembilan orang menyerbu ke dalam penjara,
sedangkan dua orang diduga berperan hanya mencoba menghalangi penyerbuan.
Keduanya tetap dianggap terlibat karena mengetahui penyerbuan itu. Mereka berpangkat
bintara dan tamtama. Seorang pe laku yang berperan sebagai eksekutor, ber
inisial U, bekas anak buah Santoso. "Santoso pernah menyelamatkan nyawa U
saat
mereka latihan komando," kata Unggul. Mereka kini ditahan di POM Kodam Diponegoro.
Dalam penyerangan ini, ujar Unggul,
para penyerbu menggunakan tiga unit mobil, yaitu Toyota Avanza, Suzuki APV, dan
Daihatsu Feroza. Mereka menggunakan tiga pucuk AK-47, dua pucuk replika
AK-47, dan satu pucuk pistol SIG-Sauer, yang juga replika. Senjata aktif dan
replika ini dibawa para pelaku dari tempat latihan mereka di Gunung Lawu. Tim
tidak menemukan CCTV penjara Cebongan yang mereka rampas karena sudah dibakar
dan dibuang ke Sungai Bengawan Solo. "Para pelaku langsung mengaku saat
tim datang ke Markas Grup 2," katanya. Motif penyerangan, ucap Unggul,
murni karena
spontanitas. Para pelaku adalah teman senagkatan selama pelatihan komando.
Mereka tak terima bila Santoso, yang menjadi “teman senasib-sepenanggungan”,
dibunuh preman, yakni Deki cs. Sebelum membantai Santoso,
kelompok Deki dianggap berperan terhadap penganiayaan Sersan Satu Sriyono,
yang juga teman seangkatan para pelaku saat pelatihan. Kepala mantan anggota
Kopassus yang bertugas di Kodim Yogyakarta ini dibacok sehari setelah Santoso
dibunuh.
Hasrat ingin menghabisi Deki cs semakin berkobar
karena mereka menganggap harus menjaga semangat corsa, yaitu semangat
korps kesatuan militer, yang dianggap telah dilecehkan para tersangka. Karena
itulah, kata Unggul, penyerbuan tersebut tak direncanakan. Para pelaku sebagian
turun dari Gunung Lawu dan langsung menyerbu LP Cebongan. Mereka mengetahui
Deki cs ditahan di sana karena tak sengaja lewat dan bertanya kepada penduduk
sekitar. "Semuanya serba spontanitas,” ujarnya.
Meski
disambut positif oleh berbagai pihak, hasil investigasi tim sembilan
tak memuaskan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) Haris Azhar. Apa yang diungkapkan Unggul, kata dia, hanya mengungkap
sebagian fakta. Sebagian lagi disembunyikan. Ada gap besar antara
temuan TNI dan temuan Kontras. "Penyerbuan itu pasti direncanakan,"
ujar Haris, Jumat pekan lalu. Ia menduga TNI berkukuh mengatakan penyerbuan
itu tak direncanakan agar meringankan hukuman para pelaku.
Sumber
Tempo mengatakan tim
sembilan banyak "mengarang cerita" dalam kronologi penyerbuan itu.
Jumlah penyerbu bukan sebelas orang seperti yang diungkapkan Unggul. Saat
peristiwa itu terjadi, kata sumber Tempo,
ada 14 orang yang masuk ke penjara. "Belum lagi yang berjaga
di luar," ujarnya. Mereka semua menenteng senjata api laras panjang,
sehingga total senjata api pasti lebih dari enam pucuk.
Para
penyerbu juga membawa granat di bawah dan di atas rompi mereka. Granat itu,
sumber Tempo melanjutkan, juga
sempat digelindingkan saat sipir menyatakan tak ada kunci sel di sana. Granat
untuk menakut-nakuti itu manjur. Sipir kemudian mengantar para penyerbu ke
rumah Kepala LP Cebongan Sukamto untuk meminta kunci sel A5, Blok Anggrek, tempat Deki cs
mendekam. Saat menghabisi empat tahanan, sang eksekutor bahkan sempat mengganti
magasin. "Dari mana semua senjata ini kalau tidak dipersiapkan?"
kata sumber ini.
Dari
penyerbuan itu, ujar sumber Tempo lain
yang juga
sudah menelisik ke Cebongan, masih banyak penggalan kronologi yang belum
diungkap. Ia mengatakan para penyerbu tampaknya menggunakan alat khusus untuk
mengacak CCTV di sepanjang jalan agar tak terlacak. Mereka juga mematikan
lampu di depan LP Cebongan tanpa merusak sekring. "Kronologi versi tim sembilan masih
bolong," katanya.
Kontras
melihat tim sembilan terkesan hanya berfokus pada saat penyerbuan di penjara.
Padahal ada indikasi lain yang tak kalah penting, yakni penyerbuan tersebut
diduga diketahui pejabat TNI di Yogyakarta dan kepolisian. Haris mengatakan
ada pertemuan antara jajaran TNI dan polisi sebelum penyerbuan penjara Cebongan, termasuk nonton bareng CCTV saat Santoso terbunuh. Ini membuat suasana
semakin tegang. Polisi dan TNI, kata Haris, bisa disebut mengetahui adanya
aksi balas dendam dari teman-teman Santoso dan Sriyono, tapi tak mencegah.
"Seharusnya atasan sebelas anggota Kopassus itu ikut bertanggungjawab,"
ujarnya.
Motif
pelaku yang diungkap tim sembilan juga dibantah oleh Hillarius, pengacara
Marcelinus Bhigu alias Marcel, yang didakwa telah membacok Sriyono. Deki dan
Marcel tidak berteman. Mereka bahkan pernah berkelahi setahun lalu. Di
persidangan, penganiayaan Sriyono tak ada hubungannya dengan kasus Santoso
dan dilakukan dua kelompok berbeda. "Salah kalau TNI mengatakan kasus
Sriyono dan Santoso berhubungan," katanya.
Sabar
Rahardja, yang ditemui seusai salat Jumat pekan lalu, mengaku kaget saat tim sembilan
mengumumkan anggota Kopassuslah yang menyerbu LP Cebongan. Selama ini, ujar
Sabar, dia dan anak buahnya masih mencari siapa penyerbu itu, termasuk tak
bisa memastikan berapa jumlah mereka. Sabar juga menampik tudingan bahwa dia
sebenarnya mengetahui akan adanya pembunuhan empat tahanannya itu sehingga
kemudian mengirim mereka ke LP Cebongan. "Demi Allah saya tidak
tahu," katanya. Jumat pekan lalu, beberapa jam setelah salat Jumat itu,
Markas Besar Kepolisian RI memberhentikan Sabar dari jabatannya sebagai Kepala
Polda Yogyakarta.
Brigadir
Jenderal Unggul juga membantah berbagai temuan versi lain di luar timnya.
Dalam suasana tegang, ucap dia, saksi bisa saja keliru menghitung para pelaku.
Para anggota Kopassus, kata Unggul, sudah sejujurnya menceritakan kronologi
penyerbuan itu. Tak ada perwira dan atasan mereka yang terlibat. "Kalau
penyerbuan itu direncanakan, hasilnya pasti akan berbeda," ujarnya. (MUSTAFA SILALAHI, FEBRIYAN (JAKARTA), MUH. SYAIFULLAH, PITO AGUSTIN (YOGYAKARTA), Sumber: Majalah Tempo (14 April 2013/Minggu, Hal. 74-79)