Senin, 08 April 2013

KRONOLOGI BOLONG TIM SEMBILAN



Para pria di dalam pertemuan itu awal­nya saling mengumbar senyum. Lalu me­reka pun melempar salam khas mereka, sa­lam komando. Tangan mengepal ke atas, sembari berseru: komando! Selasa, 19 Ma­ret lalu, pukul 13.00, para pejabat Koman­do Daerah Militer Diponegoro bertandang ke markas Kepolisian Daerah Yogyakarta dijalan Lingkar Utara, Sleman, Daerah Isti­mewa Yogyakarta. Mereka adalah Koman­dan Daerah Militer (Dandim) Sleman, Dan­dim Kota Yogyakarta, Kepala Resor Militer, dan Kepala Detasemen Polisi Militer. Komandan Kopassus Grup 2 Kandang Menja­ngan hadir pula. Dari kepolisian, ada Kepa­la Kepolisian Resor Sleman dan Yogyakar­ta serta Kepala Polda Yogyakarta Brigadir Jenderal Sabar Rahardja.

Itu bukan pertemuan biasa. Tak banyak bicara, mereka langsung menanyakan per­kembangan kasus pembunuhan Sersan Ke­pala Heru Santoso, anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan yang saat itu tengah bertugas di Komando Daerah Militer Dipo­negoro. Santoso dibunuh di Hugo's Cafe, Yogyakarta, Selasa dinihari, dua belas jam sebelum pertemuan itu. "Mereka lalu nonton bareng rekaman CCTV saat Santoso di­bunuh di Hugo's Cafe," kata sumber Tem­po.

Direktur Reserse Kriminal Polda Yogya­karta Komisaris Besar Kris Erlangga mem­benarkan adanya pertemuan tersebut. Ia mengatakan para tentara itu datang seba­gai pelapor karena korban pembunuhan adalah rekan mereka. Tim Kris lantas me­maparkan hasil penyidikan. Kepada para tamunya diputar pula rekaman CCTV peristiwa di Hugo’s Café. Kris menyuguhkan rekaman itu agar mereka tahu bagaimana pembunuhan tersebut terjadi. Saat itu, memang gencar beredar kabar Santoso dibantai seorang polisi.

Namun tak seluruh rekaman CCTV terse­but diputar, hanya potongannya. Pada saat itulah terdengar celetukan dari para tenta­ra: rekaman tersebut sudah dimanipula­si. Kris menampik tudingan itu. Pihaknya, ujar dia, hanya menunjukkan cuplikan yang penting: saat adegan Santoso diani­aya para pelaku. Rekaman asli, kata Kris, sudah diambil tim Pusat Laboratorium Fo­rensik. "Kami ingin menunjukkan bahwa pelakunya bukan cuma polisi. Ia dibunuh secara bersama-sama oleh empat orang," ucap Kris, Jumat pekan lalu.

Menurut Kris, polisi bergerak cepat mengungkap kasus Hugo's Cafe itu. Satu jam setelah pembunuhan Santoso, polisi menangkap Hendrik Angel Sahetapy alias Deki. Beberapa jam kemudian, ditangkap pula Yohanis Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Saat ditang­kap, Juan masih berstatus polisi meski te­ngah tersangkut kasus kepemilikan narko­ba. "Setelah beberapa jam diperiksa di Pol­res Sleman, mereka diboyong ke tahanan Polda," kata Kris.

Nonton bareng itu rupanya benar-be­nar tak bisa meredakan kegalauan para pe­mimpin korps baret merah tersebut. Sumber Tempo mengatakan, dalam pertemuan itu, tentara meminta polisi menyerahkan Deki cs agar merekalah yang "mengurus" para tersangka tersebut. Permintaan ini di­tolak. Sumber Tempo yang lain menyebut­kan, saat para reserse berburu Deki cs, me­reka sempat berhadapan dengan segerombolan pria berambut cepak.

Para pria itu diduga ingin mendahului polisi menangkap Deki, tapi gagal. Mereka sempat mendatangi Polres Sleman saat para tersangka pembunuh Santoso ditahan di sana. Kepala Polres Sleman Ajun Ko­misaris Besar Hery Sutriman terlihat gagap saat Tempo meminta konfirmasi tentang hal ini dua pekan lalu. "Jangan saya yang bicara...," ujarnya sambil berjalan menja­uh dengan suara terpatah-patah. Deki dan kawan-kawan pada Jumat tiga pekan lalu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan. Sabtu diniharinya, mereka tewas ditembus peluru senapan AK-47 saat berada di sel. Pelakunya belasan pria bertopeng yang memaksa masuk ke penjara. Keesokan harinya, Panglima Ko­dam Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso mengatakan tidak ada anggota TNI yang terlibat penyerangan itu. Namun su­dah santer berembus kabar anggota Kopassus berada di balik penyerbuan tersebut. Peristiwa ini memancing reaksi berbagai pihak.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk tim investigasi yang diterjunkan ke Yogya untuk menelisik kasus ini, termasuk mendatangi asrama mahasiswa Nusa Tenggara Timur-tempat Deki cs sering bertemu dan sel tempat pembantaian itu terjadi, sel A5, Blok Anggrek. "Ada pelanggaran hak atas hidup dalam peristi­wa ini," kata Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila.

Empat hari kemudian, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo ikut membentuk tim investigasi, yang beranggotakan sembilan orang. Tim dipimpin Wakil Komandan Pusat Polisi Mi­liter TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Unggul K. Yudhoyono. "Ada indikasi ang­gota TNI Angkatan Darat terlibat dalam pe­ristiwa ini," ujar Pramono, Jumat dua pe­kan lalu. Polisi ikut bergerak menyelidiki kasus ini. Sejumlah personel Detasemen 88 Antiteror dikirim ke Yogyakarta. Tiga lembaga negara ini kemudian saling "ber­buru penyerbu" LP Cebongan.

Kamis pekan lalu, tim sembilan meng­umumkan hasil kerja mereka selama enam hari di Yogyakarta. Unggul mengatakan se­belas anggota Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan terlibat penyerbuan itu. Sembi­lan orang menyerbu ke dalam penjara, se­dangkan dua orang diduga berperan ha­nya mencoba menghalangi penyerbuan. Keduanya tetap dianggap terlibat karena mengetahui penyerbuan itu. Mereka berpangkat bintara dan tamtama. Seorang pe laku yang berperan sebagai eksekutor, ber inisial U, bekas anak buah Santoso. "Santoso pernah menyelamatkan nyawa U saat mereka latihan komando," kata Unggul. Mereka kini ditahan di POM Kodam Diponegoro.

Dalam penyerangan ini, ujar Unggul, para penyerbu menggunakan tiga unit mobil, yaitu Toyota Avanza, Suzuki APV, dan Daihatsu Feroza. Mereka menggunakan tiga pucuk AK-47, dua pucuk replika AK-47, dan satu pucuk pistol SIG-Sauer, yang juga replika. Senjata aktif dan replika ini diba­wa para pelaku dari tempat latihan mere­ka di Gunung Lawu. Tim tidak menemukan CCTV penjara Cebongan yang mereka ram­pas karena sudah dibakar dan dibuang ke Sungai Bengawan Solo. "Para pelaku lang­sung mengaku saat tim datang ke Markas Grup 2," katanya. Motif penyerangan, ucap Unggul, murni karena spontanitas. Para pelaku adalah teman senagkatan selama pelatihan komando. Mereka tak terima bila Santoso, yang menjadi “teman senasib-sepenanggungan”, dibunuh preman, yakni Deki cs. Sebe­lum membantai Santoso, kelompok Deki dianggap berperan terhadap penganiaya­an Sersan Satu Sriyono, yang juga teman seangkatan para pelaku saat pelatihan. Ke­pala mantan anggota Kopassus yang bertu­gas di Kodim Yogyakarta ini dibacok sehari setelah Santoso dibunuh.

Hasrat ingin menghabisi Deki cs semakin berkobar karena mereka menganggap ha­rus menjaga semangat corsa, yaitu sema­ngat korps kesatuan militer, yang diang­gap telah dilecehkan para tersangka. Kare­na itulah, kata Unggul, penyerbuan terse­but tak direncanakan. Para pelaku sebagi­an turun dari Gunung Lawu dan langsung menyerbu LP Cebongan. Mereka mengeta­hui Deki cs ditahan di sana karena tak se­ngaja lewat dan bertanya kepada pendu­duk sekitar. "Semuanya serba spontanitas,” ujarnya.

Meski disambut positif oleh berbagai pihak, hasil investigasi tim sembilan tak me­muaskan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Apa yang diungkap­kan Unggul, kata dia, hanya mengungkap sebagian fakta. Sebagian lagi disembunyi­kan. Ada gap besar antara temuan TNI dan temuan Kontras. "Penyerbuan itu pasti di­rencanakan," ujar Haris, Jumat pekan lalu. Ia menduga TNI berkukuh mengatakan pe­nyerbuan itu tak direncanakan agar meri­ngankan hukuman para pelaku.

Sumber Tempo mengatakan tim sembi­lan banyak "mengarang cerita" dalam kro­nologi penyerbuan itu. Jumlah penyerbu bukan sebelas orang seperti yang diung­kapkan Unggul. Saat peristiwa itu terjadi, kata sumber Tempo, ada 14 orang yang ma­suk ke penjara. "Belum lagi yang berjaga di luar," ujarnya. Mereka semua menenteng senjata api laras panjang, sehingga total senjata api pasti lebih dari enam pucuk.

Para penyerbu juga membawa granat di bawah dan di atas rompi mereka. Granat itu, sumber Tempo melanjutkan, juga sem­pat digelindingkan saat sipir menyatakan tak ada kunci sel di sana. Granat untuk menakut-nakuti itu manjur. Sipir kemudian mengantar para penyerbu ke rumah Kepa­la LP Cebongan Sukamto untuk meminta kunci sel A5, Blok Anggrek, tempat Deki cs mendekam. Saat menghabisi empat tahan­an, sang eksekutor bahkan sempat meng­ganti magasin. "Dari mana semua senja­ta ini kalau tidak dipersiapkan?" kata sum­ber ini.
Dari penyerbuan itu, ujar sumber Tem­po lain yang juga sudah menelisik ke Cebo­ngan, masih banyak penggalan kronologi yang belum diungkap. Ia mengatakan para penyerbu tampaknya menggunakan alat khusus untuk mengacak CCTV di sepan­jang jalan agar tak terlacak. Mereka juga mematikan lampu di depan LP Cebongan tanpa merusak sekring. "Kronologi versi tim sembilan masih bolong," katanya.

Kontras melihat tim sembilan terkesan hanya berfokus pada saat penyerbuan di penjara. Padahal ada indikasi lain yang tak kalah penting, yakni penyerbuan ter­sebut diduga diketahui pejabat TNI di Yog­yakarta dan kepolisian. Haris mengatakan ada pertemuan antara jajaran TNI dan poli­si sebelum penyerbuan penjara Cebongan, termasuk nonton bareng CCTV saat Santoso terbunuh. Ini membuat suasana sema­kin tegang. Polisi dan TNI, kata Haris, bisa disebut mengetahui adanya aksi balas den­dam dari teman-teman Santoso dan Sriyono, tapi tak mencegah. "Seharusnya atasan sebelas anggota Kopassus itu ikut bertanggungjawab," ujarnya.

Motif pelaku yang diungkap tim sembi­lan juga dibantah oleh Hillarius, pengacara Marcelinus Bhigu alias Marcel, yang didak­wa telah membacok Sriyono. Deki dan Mar­cel tidak berteman. Mereka bahkan per­nah berkelahi setahun lalu. Di persidang­an, penganiayaan Sriyono tak ada hubung­annya dengan kasus Santoso dan dilaku­kan dua kelompok berbeda. "Salah kalau TNI mengatakan kasus Sriyono dan Santo­so berhubungan," katanya.

Sabar Rahardja, yang ditemui seusai sa­lat Jumat pekan lalu, mengaku kaget saat tim sembilan mengumumkan anggota Kopassuslah yang menyerbu LP Cebongan. Selama ini, ujar Sabar, dia dan anak buah­nya masih mencari siapa penyerbu itu, ter­masuk tak bisa memastikan berapa jumlah mereka. Sabar juga menampik tudingan bahwa dia sebenarnya mengetahui akan adanya pembunuhan empat tahanannya itu sehingga kemudian mengirim mereka ke LP Cebongan. "Demi Allah saya tidak tahu," katanya. Jumat pekan lalu, beberapa jam setelah salat Jumat itu, Markas Be­sar Kepolisian RI memberhentikan Sabar dari jabatannya sebagai Kepala Polda Yog­yakarta.

Brigadir Jenderal Unggul juga memban­tah berbagai temuan versi lain di luar tim­nya. Dalam suasana tegang, ucap dia, sak­si bisa saja keliru menghitung para pela­ku. Para anggota Kopassus, kata Unggul, sudah sejujurnya menceritakan kronologi penyerbuan itu. Tak ada perwira dan atas­an mereka yang terlibat. "Kalau penyerbuan itu direncanakan, hasilnya pasti akan berbeda," ujarnya. (MUSTAFA SILALAHI, FEBRIYAN (JAKARTA), MUH. SYAIFULLAH, PITO AGUSTIN (YOGYAKARTA), Sumber: Majalah Tempo (14 April 2013/Minggu, Hal. 74-79)