Jakarta, Pasca-penyerbuan
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh anggota Komando
Pasukan Khusus dan sejumlah bentrokan yang melibatkan anggota TNI, peran TNI
kembali perlu dievaluasi. Peran dan fungsi pertahanan dinilai tidak cukup.
Mantan
Panglima Komando Daerah Militer Jaya Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso mengakui,
ada problem psikologis tentara setelah reformasi, ketika tak ada lagi dwifungsi
ABRI. Peran dan fungsi TNI yang hanya berkonsentrasi pada tugas pertahanan,
kata Sutiyoso, membuat TNI lebih banyak menganggur.
"Ini
mungkin masalah psikologis, dulu TNI, dalam hal ini Angkatan parat, mengambil
fungsi sangat banyak, mulai dari pertahanan, keamanan hingga politik. Setelah
itu (reformasi) kan hanya pertahanan saja. Pertahanan itu, kan, bekerja jika ada serangan
dari luar. Artinya, kalau enggak ada serangan, ya jadi pengangguran," ujar
Sutiyoso dalam diskusi Polemik Radio Sindo, di Jakarta, Sabtu (6/4).
Di
sisi lain, Sutiyoso mengungkapkan, anggaran militer belum cukup mendukung TNI
benar-benar profesional. Anggaran latihan militer, misalnya, sangat terbatas.
"Terus tentara ini lihat, di luar, polisi berseliweran sibuk, termasuk
berlatih antiteroris. Ini problem psikologis. Saat ini tentara jadi pengangguran kelas tinggi.
Sekarang malah jadi sibuk menyerang polres. Suasana batin tentara
seperti itu," katanya.
Menurut
Sutiyoso, dibutuhkan evaluasi terkait peran lain TNI. Undang-Undang TNI ataupun
Kepolisian perlu direvisi untuk membagi peran dan fungsi. Fokus pekerjaan
polisi sangat banyak sehingga perlu dilimpahkan kepada TNI. "Separatisme
dan teroris bisa dikembalikan lagi ke TNI. Memang ada latihan bersama, tetapi
pas kejadian tentara enggak pernah diajak" katanya.
Peneliti
LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, mengakui, kurangnya pemahaman komandan terhadap
kondisi nyata anak buah sering memicu insiden seperti di LP Cebongan.
"Kondisi pasukan, anggota TNI di lapangan, harus jadi perhatian negara.
Tanpa itu kasus Cebongan bukan jadi yang terakhir," katanya.
Jika
peran dan fungsi TNI harus dievaluasi, 'kata Wakil Ketua Komnas HAM Nurkholis, tetap
diletakkan dalam koridor agenda reformasi.
Menteri
Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, menumpas
premanisme adalah tugas kepolisian. Saat ini masyarakat harus mendorong dan
membantu polisi agar bisa memberantas premanisme dengan melaporkan. "Kalau
kita mendorong dan memberikan dukungan kepada polisi untuk menangani
premanisme, polisi niscaya akan bertindak," kata Djoko seusai pidato
wisuda di Universitas Nasional, kemarin.
Menurut Djoko, yang paling penting adalah mengatasi premanisme di
mana-mana yang tidak sederhana. Premanisme terkait ekonomi dan penyediaan lapangan
kerja dan jadi pekerjaan rumah pemerintah. (BIL/EDN), Sumber Koran: Suara Pembaruan (06 April 2013/Sabtu, Hal. 02