Jakarta, Sebelas oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD terlibat dalam kasus penyerangan dan
pembunuhan terhadap empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan,
Sleman, Yogyakarta. Hal itu dikemukakan ketua
tim investigasi dari Mabes TNI Angkatan Darat (AD), Brigjen TNI Unggul K
Yudhoyono, dalam jumpa pers di Kartika Media Center TNI
AD, Jakarta, Kamis (4/4). Dia mengungkapkan, sebelas oknum itu adalah anggota
Grup II Komando Pasukan Khusus Kandang Menjangan Kartosuro.
"Sebelas
oknum Kopassus terlibat penyerangan Lapas II B Cebongan. Satu orang
eksekutor, delapan orang pendukung, dan dua orang pencegah," kata Unggul
yang juga Wakil Komandan Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad).
Brigjen
Unggul mengatakan, oknum prajurit Grup II Kopassus Kartosuro adalah pihak
penyerang empat tahanan terkait pembunuhan Serka Heru Santoso, yang juga
anggota TNI AD, pada 19 Maret 2013, dan pembacokan terhadap mantan anggota Kopassus Sertu Sriyono, pada 30 Maret 2013 oleh
kelompok preman di Yogyakarta.
"Tindakan
tersebut dilandasi kejujuran serta tanggung jawab jiwa korsa. Serangan LP
Cebongan, Sleman, pada 23 Maret 2013 pukul 00.15 WIB diakui dilakukan oleh
oknum anggota TNI AD, dalam hal ini Grup II Kopassus Kartosuro yang
mengakibatkan terbunuhnya empat tahanan," kata Brigjen Unggul.
Delapan orang pendukung itu, menurut dia,
menggunakan dua unit mobil, yaitu satu unit mobil Avanza warna biru dan satu unit mobil APV
berwarna hitam.
Sementara
itu, dua orang lainnya yang bertindak sebagai pencegah menggunakan mobil
Feroza. "Satu orang eksekutor ini berinisial U. Sembilan pelaku penyerangan
itu berpangkat bintara dan tamtama," katanya.
Kedua
prajurit lainnya, menurut dia, sebenarnya berusaha mencegah terjadinya
penyerangan, namun tidak mampu menghentikan aksi rekan-rekannya.
Tindakan
penyerangan, menurut Unggul, dilakukan secara reaksi dan spontan sebagai
konsekuensi meninggalnya anggota Kopassus Serka Heru Santoso pada 19 Maret
2013 dan pembacokan mantan anggota Kopassus, Sertu Sriyono, oleh para
preman Yogyakarta. "Peristiwa penyerangan ke Lapas Cebongan benar sebagai
akibat pembunuhan kelompok preman terhadap dua rekan mereka," ujarnya.
Selama
enam hari bekerja, tim investigasi telah melaksanakan penyelidikan ke
berbagai tempat, seperti Lapas Cebongan, Korem Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), dan Markas Grup II Kopassus Karang Menjangan dan memeriksa 25 orang.
Kepala
Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Polisi
Sutarman mengatakan, ada dua jenis peluru yang digunakan dalam peristiwa yang
terjadi di Lapas Cebongan.
Ada
dua jenis, apakah dimuntahkan dari senjata yang beda atau sama, kita masih
tunggu hasil uji Laboratorium Forensik, kata Kabareskrim seusai melakukan pertemuan
dengan Komnas HAM di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/4).
Kabareskrim menjelaskan, ada dua jenis selongsong
peluru yang ditemukan di tempat kejadian perkara, yaitu selongsong peluru
dengan kode Pindad dan angka, yakni PIN TO 7,62 Pindad dan selongsong berkode 64539. Jenis selongsong peluru dan proyektil yang ditemukan itu, menurut dia, bisa
diindikasikan sebagai senjata organik (senjata dinas) karena berbeda dengan
jenis senjata standar yang digunakan Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu
Seluruh Indonesia (Perbakin). "Ya, senjata (yang digunakan) standar
organik karena kalau Perbakin lebih kecil. Asalnya dari senjata laras
panjang," ucapnya.
Dia
menjelaskan, telah ditemukan barang bukti berupa satu peluru aktif PIN TO 7,62
(Pindad), satu peluru gagal ledak kode 64539, 8 butir selongsong peluru kode PIN TO 7,62
(Pindad), 22 butir selongsong peluru kode 64359 dan 12 proyektil yang seluruhnya kaliber 7,62
mm.
Sementara
itu, Komisi III DPR
menemukan sejumlah kejanggalan dalam insiden penyerangan kelompok bersenjata di
Lapas Cebongan. Temuan kejanggalan itu, setelah Komisi III datang langsung ke lapas, Kamis
(4/4), dan melakukan rapat bersama dengan pihak-pihak terkait seperti Polda
DIY, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, serta pihak Lapas Cebongan, dan
terindikasi ada kelemahan Polda DIY dan juga pihak Lapas Cebongan.
"Beberapa
temuan kejanggalan tersebut seperti Polda DIY seharusnya melakukan pengamanan
yang ketat di Lapas Cebongan setelah menitipkan tahanan. Mereka seharusnya melakukan
antisipasi. Kan ada kejadian-kejadian sebelumnya. Pihak Lapas juga sudah
mempunyai firasat," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Muzamil Yusuf, di
Lapas Cebongan, Kamis (4/4).
Selain
itu, sarana dan prasarana pendukung keamanan dan pengamanan di Lapas Cebongan
juga masih sangat minim. "Kamera closed circuit television (CCTV) untuk
merekam maupun memantau kondisi di luar lapas dan sekitarnya juga tidak ada.
Begitu juga jumlah personel dan teknologi, masih kurang, seperti untuk merekam
gerak-gerik orang di luar lapas," katanya.
Anggota
Komisi III Ruhut Sitompul mengatakan, setelah berdialog dengan para penjaga
lapas, tahanan, kepala lapas, menurut dia, peristiwa itu tidak seperti yang
terdengar di luar.
"Yang
melakukan eksekusi terhadap empat tahanan tersangka pengeroyok anggota TNI AD
hanya satu orang.
Setelah eksekusi itu, memang ada tepuk tangan, tapi tidak ada yang berkata
hidup Kopassus'," katanya.
Insiden
penyerangan di Lapas Cebongan, Sleman, dan diikuti dengan penembakan terhadap
empat tahanan titipan itu terjadi pada Sabtu (23/3) dini hari.
Tahanan
yang ditembak mati dalam insiden tersebut yakni Hendrik Angel Sahetapi alias
Deki, Yohanes Juan Manbait, Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi, dan
Adrianus Candra Galaja alias Dedi.
Keempatnya merupakan pelaku penganiayaan hingga
menewaskan anggota TNI AD, Sersan Satu Santoso, di Hugo's Kafe pada Selasa
(19/3) dini hari. Hingga hari ketiga belas pascapenyerangan Lapas Cebongan,
pihak kepolisian belum mampu membongkar siapa pelakunya. Sketsa yang tengah
disusun tim Inafis Polda DIY juga belum selesai.
Di
pihak lain, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur
Kholis mengatakan, pihaknya akan bertemu Panglima TNI pada Jumat (5/4). Ini
untuk mengklarifikasi beberapa hal terkait peristiwa yang terjadi di Lapas
Cebongan.
"Besok
(Jumat, 4/4), Komnas HAM akan bertemu dengan Panglima TNI untuk melakukan
klarifikasi. Misalnya, apakah korban meninggal di Hugo's Cafe itu statusnya seperti
apa," katanya, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/4).
Dia
juga mengatakan, kemungkinan akan mempertanyakan peran Sersan Satu Heru Santoso
di kejadian di Hugo's Cafe. Namun, Nur Kholis menyatakan belum akan bisa
menyiapkan temuan-temuan itu untuk dipublikasikan ke masyarakat karena perlu
diintegrasikan bersama tim.
"Dari
awal sudah saya katakan, peristiwa di Hugo's Cafe kemungkinan berhubungan
dengan peristiwa Lapas. Cuma kan itu baru asumsi awal Komnas HAM. Itu kami
harus bekerja mengumpulkan bukti, memeriksa keterangan saksi," katanya.
Nur
Kholis juga menuturkan, tiga institusi yang saat ini tengah melakukan
penyelidikan kasus penembakan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, itu nanti akan saling
mengkoordinasikan temuan yang didapat.
Meski
belum ada arah hasil penyelidikan ketiga lembaga itu akan dikeluarkan secara
bersamaan atau tidak, dia mengatakan, ketiga pihak akan terus berupaya melakukan
koordinasi supaya proses penyelidikan dapat berjalan dalam rangka mengungkap
kebenaran dan mampu saling mendukung.
Pertemuan
dengan Polri yang dilakukan Kamis siang, menurut Ketua Komnas HAM Siti Noor
Laila, untuk mengoordinasikan temuan-temuan awal terkait kasus penyerbuan dan
pembunuhan tahanan di Lapas Cebongan.
Menurut
Siti, ada indikasi pelanggaran HAM dalam kejadian itu. Di antaranya perampasan
atas hak hidup, rasa aman, dan terbebas dari penganiayaan dan perampasan.
"Penganiayaan (terjadi) terhadap petugas lapas," katanya. (Feber S/Antara/Dwi Putro AA/Hanif S), Sumber Koran: Suara
Karya (05 April 2013/Jumat, Hal. 01)