Anggota Kopassus pelaku
penembakan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta akan
disidangkan di pengadilan militer. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan
persidangan kasus itu tidak transparan.
Seperti apa persidangan di pengadilan militer? Senin (15/4),
Rakyat Merdeka berkunjung
ke Pengadilan Militer Tingkat I Jakarta di Jalan Penggilingan, Cakung, Jakarta
Timur.
Seorang perempuan muda duduk di kursi di
tengah ruang sidang. Ia berusaha menjawab dengan tenang semua pertanyaan yang
dilontarkan majelis hakim. Persidangan dipimpin tiga hakim. Seorang perempuan
menempati kursi Hakim Ketua. Sementara dua pria yang mengapitnya duduk di
kursi Hakim Anggota.
Perempuan muda yang duduk di tengah ruangan itu
berprofesi perawat, la dihadirkan ke persidangan sebagai saksi perzinahan yang dilakukan oknum
anggota TNI. Oknum itu juga diduga mendorong pasangannya yang hamil empat
minggu untuk menggugurkan kandungannya. Aborsi dilakukan di rumah sakit swasta
di Jakarta, tempat perawat itu bertugas.
Persidangan Senin sore itu mengagendakan keterangan
keterangan saksi-saksi. "Jika sudah tidak ada yang dihadirkan sebagai
saksi, sidang akan kita lanjutkan pekan depan. Silakan saksi yang sekarang
datang pada persidangan berikutnya bila ingin menyaksikan proses persidangan
selanjutnya. Sidang di sini terbuka
untuk umum," ujar Kolonel Chk Tama Ulinta Tarigan yang duduk di kursi hakim ketua
sebelum menutup persidangan.
Mengamati ruangan sidang di peradilan militer ini
tak berbeda dengan ruang sidang di peradilan umum. Meja majelis hakim ditempatkan
di muka
ruangan berhadapan langsung dengan kursi saksi. Agak ke belakang dari meja hakim
terdapat meja untuk panitera.
Di sebelah kursi saksi terdapat meja untuk penasihat
hukum dan terdakwa. Meja penasihat hukum berseberangan dengan meja jaksa
penuntut umum. Di atas meja jaksa penuntut dipasang papan nama bertuliskan
."Oditur". Dalam militer, jaksa penuntut umum disebut oditur.
Di belakang kursi saksi disusun bangku-bangku
panjang untuk tempat duduk pengunjung persidangan. Seperti di pengadilan umum,
kursi saksi dengan bangku pengunjung diberi pembatas.
Yang membedakan persidangan di pengadilan militer
dengan persidangan di pengadilan umum adalah hakim, penuntut umum (Oditur) dan
kuasa hukum tak mengenakan toga hitam. Melainkan tetap memakai baju dinas
harian TNI lengkap dengan tanda pangkat di pundak. Panitera yang bertugas
mencatat di persidangan juga berseragam TNI.
Walaupun hakim,
Oditur, panitera hingga kuasa hukum terdakwa adalah anggota TNI, peradilan
militer ini berada di bawah
Mahkamah Agung (MA). Lambang MA terlihat dipasang di ruangan,sidang.
Ketua Pengadilan Militer Jakarta Kolonel Chk
Kolonel Chk Tama Ulinta Tangan mengatakan, pengadilan ini menjadi tempat
menyidangkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana maupun melanggar aturan
militer.
Kasus yang disidangkan di sini mulai dari tindak
kekerasan yarig dilakukan anggota TNI, penyalahgunaan narkoba, pemerkosaan,
perzinahan, hingga desersi.
"Pengadilan Militer tidak pernah dilakukan
secara tertutup. Selalu terbuka untuk umum. Silakan datang dan lihat secara
langsung setiap proses persidangan perkara yang kita tangani," kata Tama
saat ditemui Rakyat Merdeka usai
persidangan.
"Khusus untuk perkara susila, seperti perzinahan, jika pada saat
agenda pemeriksaan saksi dan terdakwa dipastikan tertutup. Sisanya ya
terbuka," imbuhnya.
Ia mencontohkan persidangan yang dipimpinnya tadi.
Ada dua dakwaan yang dikenakan kepada oknum TNI yang melakukan tindak pidana.
Yakni, melakukan perzinahan dan mendorong pasangannya yang hamil untuk aborsi.
Persidangan untuk dakwaan perzinahan dilakukan tertutup.
"Saksi yang dihadirkan tadi berhubungan dengan
proses, aborsi. Jadi itu terbuka untuk umum," ujar perempuan yang sudah enam bulan menjabat ketua pengadilan militer ini.
Pengadilan
Militer, lanjut Tama,
juga berhak memanggil saksi-saksi
dari sipil yang keterangannya dibutuhkan di persidangan. "Makanya tidak boleh tertutup persidangannya, walaupun ini disebut pengadilan militer," tandasnya.
Para petugas di pengadilan militer semuanya anggota
TNI yang berlatar belakang sarjana hukum. Anggota TNI yang terdakwa berhak
didampingi penasihat hukum. Biasanya, kata Tama, penasihat hukum berasal dari
kesatuan anggota TNI yang dimejahijaukan.
Untuk mendapatkan pendampingan hukum, terdakwa
mengajukan surat permohonan kepada pimpinan kesatuan. Selanjutnya, pimpinan
kesatuan menunjuk bagian hukum di kesatuan untuk mendampingi terdakwa.
Anggota TNI yang jadi terdakwa juga diperbolehkan
menggunakan jasa pengacara
swasta. "Biayanya ditanggung terdakwa sendiri. Kalau (kuasa hukum) dari
kesatuan tidak dibayar karena itu tugas instansi," papar Tama.
Penasihat hukum yang ditunjuk kesatuan untuk
mendampingi terdakwa tak selalu anggota TNI. Bisa juga pegawai
negeri sipil (PNS)yang bertugas di kesatuan itu. Syaratnya, dia harus sarjana
hukum dan memiliki kapasitas untuk jadi penasihat hukum.
Tama mengimbau masyarakat tak alergi dengan
persidangan di pengadilan militer. "Sama seperti di pengadilan umum. Kami
terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi. Kita memiliki acuan yang sama, yaitu
KUHP (Kitab Hukum Undang-undang Pidana)," ujarnya.
"Hanya saja sebagai anggota TNI, kami juga
memiliki KUHPM (Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer). Tetapi proses dan
polanya ya sama saja dengan pengadilan umum. Lagi pula. pengadilan militer juga
di bawah Mahkamah Agung. Sama kan." tandasnya Tama.
Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali memastikan,
pengaduan militer terbuka untuk umum sepanjang menyidangkan anggota TNI
yang melakukan tindak pidana.
"Kalau pelanggaran kode etik itu tertutup." ujarnya.
Persidangan juga
digelar tertutup jika menyangkut perkara susila dan perceraian.
"Tertutup untuk semua badan peradilan," tandas Hatta. (jon), Sumber Koran: Rakyat Merdeka (17 April 2013/Rabu, Hal. 03)