JAKARTA - Pemerintah pusat menilai pelantikan Wali Nanggroe Aceh tidak memiliki dasar hukum. Karena itu, pemerintah tidak menghadiri acara pelantikan yang berlangsung Senin (16/12) pagi.
Penegasan itu disampaikan Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudah Arif Fakhrullah, di Jakarta, Senin.
Menurutnya, pemerintah pusat telah memerintahkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh melaksanakan klarifikasi Kemendagri terkait Qanun Aceh No 8/2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Tetapi, sampai saat ini belum ada jawaban. Karena tidak ada jawaban itu, kata Zudah Arif, pemerintah tidak menyetujui dan mengeluarkan anggaran operasional untuk Wali Nanggroe. "Kita dapat undangan, tapi tidak akan hadir karena belum ada klarifikasi qanun yang diterima pemerintah," ujarnya.
Menurutnya, dari 21 poin qanun yang diminta diklarifikasi, Pemprov Aceh sama sekali belum memberikan tanggapan. Jika Pemprov Aceh berkeras mengalokasikan anggaran operasional Wali Nangroe dalam APBD 2014, pihaknya tidak akan segan-segan mencoret.
Sementara itu dari Banda Aceh, Senin pagi ini dilaporkan ratusan bendera Aceh, yakni bendera bulan bintang yang dipasang warga di kendaraan mereka diturunkan paksa. Penurunan dilakukan personel polisi dan TNI yang mengamankan pelantikan mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh.
Ribuan warga dari sejumlah daerah di pesisir timur Aceh datang ke Banda Aceh untuk menyaksikan pelantikan Malik Mahmud dengan membawa sejumlah bendera. "Turunkan bendera bintang bulan. Bendera itu belum ada izin dikibarkan," teriak seorang personel TNI di Simpang Lima, Kota Banda Aceh. Mendengar perintah tersebut, sejumlah warga memilih menurunkan bendera yang hingga saat ini masih menimbulkan polemik antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat tersebut.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bersama pemerintah Aceh melantik Wali Nanggroe Aceh. Itu setelah DPRA mengesahkan revisi Rancangan Qanun (Raqan) No. 8/2012. Namun, menjelang pelantikan Malik Mahmud, sejumlah masyarakat dari berbagai komunitas di Aceh tetap menolak pelantikan tersebut. Penolakan itu karena menilai penetapan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh bukan aspirasi masyarakat.
Ditolak GAM
Front Pembela Tanah Air (Peta) Kabupaten Aceh Barat, menilai pelantikan Malik Mahmud dipaksakan DPRA. Padahal, masih ada sejumlah poin yang dikoreksi Kemendagri serta belum disempurnakan DPRA dan pemerintah Aceh. "Qanun Wali Nanggroe yang dibuat DPRA sangat tidak sesuai aspirasi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Bahkan, kewenangan wali nanggroe yang terdapat dalam qanun masih bertentangan dengan UU Pemerintah Aceh (UUPA)," ujar perwakilan Peta Aceh Barat, Amiruddin.
DPRA baru mengesahkan qanun tersebut, namun masih harus diserahkan ke Kemendagri untuk diakui. Penolakan pelantikan Malik Mahmud juga disampailkan perwakilan masyarakat Gayo dari dataran tinggi Aceh, termasuk mantan pasukan GAM di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues.
Masyarakat Gayo menilai, Malik Mahmud tidak bisa mempersatukan masyarakat Aceh yang terdiri atas banyak suku. "Wali Nanggroe yang ditetapkan DPRA dan pemerintah Aceh hanya menguntungkan satu kelompok," kata mantan petinggi GAM di dataran tinggi Gayo, Linggadinsyah.
Ia mengatakan, seharusnya yang menjadi wali nanggroe adalah sosok yang benar-benar menjadi panutan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Karena itu, harus dipilih secara demokratis, sesuai pilihan masyarakat Aceh, bukan malah ditunjuk kelompok tertentu. "Jadi, masyarakat Aceh dari kelompok lain merasa terdiskriminasi," ujarnya. (Vidi Batlolone/Junaidi Hanafiah), Sumber Koran: Sinar Harapan (16 Desember 2013/Senin, Hal. 01)