Jaminan social termasuk jaminan kesehatan, merupakan keniscayaan di negara berkonsep kesejahteraan (welfare state), untuk mempertahankan martabat kemanusiaan sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Setelah menunggu 10 tahun, pada 1 Januari 2014, Indonesia akan mulai menapak jalan kesejahteraan seperti yang dilalui negara-negara maju di Eropa puluhan tahun lalu.
Hidup sering kali memberi kejutan, tetapi tidak selalu menyenangkan. Kita tidak pernah tahu kapan sakit atau mengalami kecelakaan. Sakit, terutama yang berat dan perlu perawatan panjang, tidak saja menyebabkan hilangnya kesempatan bekerja dan mendapat penghasilan, tetapi juga menggerogoti keuangan, bahkan bisa membuat jatuh miskin. Jaminan kesehatan ialah upaya "sedia payung sebelum hujan".
Kalau Jerman, negara yang memiliki jaminan sosial kuat, memulai 130 tahun lalu saat Kanselir Otto von Bismarck memperkenalkan asuransi kesehatan, Indonesia baru memiliki landasan pada Oktober 2004 lewat pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jerman mengembangkan jaminan sosial secara bertahap. Setelah asuransi kesehatan tahun 1883, asuransi kecelakaan dikembangkan pada 1884, asuransi hari tua pada 1889, lalu asuransi pengangguran pada 1927. Tahun 1994, ada asuransi perawatan jangka panjang.
Indonesia juga melaksanakan secara bertahap lima jaminan sosial yang diamanatkan UU SJSN. Setelah jaminan kesehatan pada awal 2014, pada 1 Juli 2015 akan diselenggarakan jaminan kecelakaan, kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Prinsip jaminan sosial antara lain kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas (jaminan berkelanjutan meski peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal di seluruh Indonesia), dan kepesertaan bersifat wajib. Di Indonesia, jaminan kesehatan dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, badan nirlaba transformasi dari PT Askes. Pengelolaan empat jaminan lain dilakukan BPJS Ketenagakerjaan, transformasi dari PT Jamsostek.
Kepesertaan dalam program jaminan kesehatan, yakni Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), wajib tetapi dilakukan bertahap. Pada tahap awal, JKN menyatukan peserta asuransi PT Askes, PT Jamsostek, TNI/Polri, dan Jamkesmas, jumlahnya sekitar 121,6 juta. Tahun 2019 ditargetkan seluruh penduduk Indonesia, diperkirakan 257,5 juta, tercakup jaminan kesehatan.
Masalah premi
Kalau Jerman menetapkan premi asuransi sosial wajib 15,5 persen gaji, dengan besaran 7,3 persen ditanggung pemberi kerja dan 8,2 persen oleh pekerja, di Indonesia premi pegawai negeri sipil dan TNI/Polri 5 persen gaji per keluarga per bulan. Untuk pekerja formal swasta, 4,5 persen dari 2 kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang tahun 2013 ditetapkan Rp 2.025.000 per bulan. Jadi, premi 4,5 persen dari Rp 4,05 juta per keluarga per bulan. Mulai 1 Juli 2015, premi naik menjadi 5 persen, 4 persen ditanggung pemberi kerja dan 1 persen ditanggung pekerja Premi berlaku untuk keluarga beranggota 5 orang. Jika ada tambahan anggota, iuran harus ditambah.
Premi untuk sektor nonformal Rp 59.500 per orang per bulan untuk rawat inap kelas 1, Rp 42.500 di kelas 2, dan Rp 25.500 di kelas 3. Iuran penduduk miskin ditanggung pemerintah, yaitu Rp 19.225 per orang per bulan.
Premi itu, menurut Guru Besar Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, terlalu kecil untuk mendukung upaya subsidi silang dan pelayanan kesehatan berkualitas tinggi. Hal itu tidak sesuai dengan UU SJSN yang mengamanatkan kegotongroyongan.
Keterbatasan dana menyebabkan tarif kapitasi bagi pelayanan kesehatan dasar untuk puskesmas ditetapkan Rp 3.000-Rp 6.000 per orang per bulan, dokter/klinik dan rumah sakit pratama Rp 8.000 Rp 10.000 per orang per bulan, serta dokter gigi Rp 2.000 per orang per bulan.
"Tarif kapitasi ini di bawah harga keekonomian. Demikian juga untuk perawatan rujukan di rumah sakit, perhitungan tarif per kelompok penyakit (Ina CBG) terlalu rendah dan disamakan untuk RS swasta dengan RS pemerintah. Ini tidak fair karena RS swasta harus menyediakan modal sendiri," kata Hasbullah.
Hal ini akan menyebabkan JKN dipersepsikan sebagai program inferior. Pegawai swasta menengah ke atas, klinik, dan RS swasta akan enggan menjadi peserta. Bisa jadi nasib program JKN akan seperti asuransi Askes, banyak peserta mengeluh karena mendapat pelayanan kurang responsif dan ramah.
Ancaman lain BPJS bisa kekurangan dana untuk klaim peserta. Penyebabnya, terjadi adverse selection, mereka yang sakit segera menjadi peserta dan memanfaatkan dana JKN.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penyebaran tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Hal ini untuk pemerataan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia.
Direktur Utama PT Askes/BPJS Fachmi Idris menuturkan, BPJS antara lain telah menetapkan prosedur, menyatukan data peserta Jamkesmas, Askes, Jamsostek, TNI/Polri, serta melakukan perluasan peserta. Saat ini semua BUMN menyatakan bersedia bergabung dalam JKN.
Fachmi optimistis dana BPJS cukup mengingat iuran pemerintah untuk penduduk miskin Rp 19.225, meningkat dari Rp 6.500 pada Jamkesmas. Selain itu, ada dana cadangan dari PT Askes Rp 3 triliun. Jika belum cukup, pemerintah mempunyai dana darurat berupa dana cadangan teknis.
Hasbullah memperkirakan, awal pelaksanaan JKN tahun 2014 tak mulus, akan ada banyak guncangan dan protes dari pemberi pelayanan kesehatan atau pasien. Akan banyak saling tuding di antara pemangku kepentingan. "Segi baiknya, akan ada alasan merevisi bagian-bagian yang belum sesuai," katanya.
Hasbullah menyarankan, besaran tarif direvisi agar realistis. Selain itu, perlu sosialisasi intensif kepada masyarakat tentang pentingnya asuransi sosial untuk menghadapi masa sulit dan kesadaran untuk solidaritas sosial.
Tahun depan akan riuh rendah dengan isu politik akibat pemilu. Perhelatan itu diharapkan tidak menyurutkan pelaksanaan JKN. JKN dan jaminan sosial lain perlu dijaga bersama. Pemerintah terpilih diharapkan berkomitmen menjamin kesejahteraan penduduk, bukan sekadar janji politik. (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO), Sumber Koran: Kompas (18 Desember 2013/Rabu, Hal. 01)