Selasa, 10 Desember 2013

DI BAWAH LINDUNGAN BINTANG KEJORA

PANGGILANNYA Bram. Ia tak mau menyebut nama aslinya. Berumur 17 tahun, remaja ini salah satu petinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Hutan belantara Kabupaten Keerom di selatan Jayapura yang berbatasan dengan Papua Nugini, menjadi wilayah operasi pasukan ini. Sejak bocah, Bram belajar menembak dan melacak jejak. "Saya di sini untuk berjuang," ujarnya.

Senin tiga pekan lalu, Tempo mampir ke markas mereka dan menyaksikan Bram memimpin upacara mengerek Bintang Kejora-bendera kebesaran mereka. Puluhan pria berbaris enam banjar tanpa alas kaki. Bram memanggul SS1-V1 usang senjata buatan Pindad. Pasukannya menenteng sena¬pan laras panjang manual-hasil rakitan.

Mereka mengenakan kain penutup wajah yang dibolongi di bagian mata dan hidung. Seutas kain merah bergambar Bintang Kejora meliliti kepala.

Bram merapikan anggota pasukan, lalu tegak di sudut kanan barisan. Lambertus Pekikir, komandan pasukan, masuk ke tengah lapangan. Tepat pukul 12.00, bendera berkibar di pucuk tiang diiringi Hai Tanahku Papua-lagu "kebangsaan" mereka.

Bram anak buah Lambertus, pentolan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Keerom. Aparat Indonesia menyebut mereka Gerakan Separatis Papua Bersenjata. Lambertus tersohor setelah ia menyerbu pos tentara di Wembi, Keerom, pada 2006. Dua anggota Batalion Infanteri 509, Sersan Satu Basofi Akhmad dan Prajurit Satu Sukarno, tewas ketika itu.

Selama mengikuti Lambertus, Bram tak bersekolah. Tugas hariannya adalah mencari bahan makanan dan memantau keadaan dari pos jaga di tepi hutan. Bila ada patroli aparat Indonesia, ia melapor ke kelom¬poknya dengan bahasa isyarat. Kelompok ini sudah terlatih berkomunikasi dengan cara demikian. "Bisa dengan suara hewan atau gerakan tangan," Bram menjelaskan.

Di hutan Keerom, kelompok Lambertus berpindah-pindah markas. Kini mereka menempati belasan gubuk dekat sebatang sungai yang jernih. Dari segi "logistik", mereka tidak kekurangan. Rimba Keerom ibarat gudang ransum. "Tiap hari pasti ada daging rusa atau ikan," kata Lambertus. Kadang sang komandan ke kota, berbelanja kebutuhan pasukan yang tak bisa dipe¬roleh di hutan. Senjata dan atribut OPM dia simpan di markas sehingga tak ada yang curiga kepadanya.

Di pinggang Lambertus selalu terselip sepucuk revolver. Walau sudah berkarat, senjata itu menurut pemiliknya masih berfungsi. Pistol itu tak pernah jauh darinya bahkan ketika dia tidur. "Kalau ada apa-apa, saya siap," ujar pria 60-an tahun ini. Siang itu, ia mencabut pistolnya dari pinggang dan mengizinkan Tempo menimang- nimang senjata tersebut. Beratnya sekitar setengah kilogram.

Di gubuk utama yang disebut "markas", Lambertus dan anak buahnya kerap meriung. Dua bendera Bintang Kejora diikat pada tiang kayu. Di bagian depan ruangan, ada papan tulis berukuran 1,5 meter perse¬gi. Masih terlihat sisa tulisan beberapa ba¬ris lirik lagu kemerdekaan. Berpindah-pin¬dah tiap bulan, Lambertus dan anak buah¬nya selalu membawa serta papan tersebut. "Untuk mengajari pasukan," katanya.

LAMBERTUS Pekikir memiliki sekitar 100 anggota pasukan. Alat perangnya hanya senapan laras panjang rakitan dan lima senapan otomatis. Dia mengaku tak berniat menyerang aparat Indonesia lagi. "Saya sudah memerintahkan anak buah meletakkan senjata. Buat apa tembak-tembakan lagi," ujarnya.

Lambertus lebih suka menjalin kontak dengan luar negeri. "Kemarin saya mendapat SMS dari Jacob Prai soal titik terang merdeka. Benar atau tidak, saya tidak tahu," katanya. Nama lengkap pengi¬rim pesan pendek tersebut adalah Jacob Hendrik Prai. Bersama Seth Jafeth Roem-korem, Jacob mengibarkan Bintang Kejo¬ra pada 1 Juli 1971 di Victoria, kota di perbatasan Papua Nugini. Lima tahun kemu¬dian, mereka pecah kongsi. Seth memim¬pin faksi "Markas Victoria" atau "Marvic". Jacob mengomando pasukan "Pembela Keadilan" atawa "Pemka". Kini Jacob tinggal di Swedia.
Lambertus berasal dari faksi Pemka. Na¬manya tercatat dalam dokumen Komando Resor Militer 172 Praja Wirayakti, Papua, pada Mei 2013. Dokumen presentasi "Antisipasi 1 Juli 2013" ini menyebutkan kelom¬pok itu hanya berkekuatan 15 orang sementara Lambertus mengklaim punya 100 anggota.

Ia bagian dari 12 kelompok faksi Pemka yang tersebar di Seantero Papua. Jumlah personelnya 797 orang dengan 89 pucuk senapan dan empat butir granat. Senjata mereka antara lain M-16 dan AK-47.

Jumlah itu berbeda dengan data dokumen "Anatomi Separatis Papua" milik Tentara Nasional Indonesia yang sempat bocor ke media Australia dua tahun lalu. Sahifah ini menyebutkan faksi Pemka punya 1.129 anggota dan 131 pucuk senjata, plus granat empat butir. Pada 2011, Mathias Wenda memimpin faksi ini.

Dokumen presentasi "Antisipasi 1 Juli 2013" tak menyebut Goliath Tabuni. Pria ini memimpin kelompok Pemka di Puncak Jaya. Pasukan Goliath dianggap paling sering menyerang aparat akhir-akhir ini. Mereka mengaku bertanggung jawab atas serentetan penembakan di Puncak Jaya. Da¬lam "Anatomi Separatis Papua", Goliath disebutkan memiliki 60 anggota pasukan berkekuatan 12 pucuk senapan. "Senjata pasukan saya tak bisa disejajarkan dengan Goliath," kata Lambertus. Dia juga mengakui keganasan sang pemimpin Pemka.

Mungkin itu sebabnya Goliath dipilih menjadi Panglima Tertinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-dalam kongres di Biak pada Mei 2012. Setelah dilantik, Goliath mengklaim berpangkat "jenderal". Wakilnya "Letnan Jenderal" Gabriel Melki-zedek Awom. Adapun Kepala Staf Umum dijabat "Mayor Jenderal" Terianus Satto.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat adalah peleburan faksi Marvic dan Pemka serta kelompok lain, seperti "Arfai 1965" merujuk pada pemberontakan OPM di Pantai Arfai pada 1965. Tentara Pembebasan terbentuk pada 2007 setelah pertemuan di Victoria. Awalnya, Hans Urijoweni alias Hans Richard Joweni dari kelompok Marvic yang memimpin Tentara Pembebasan.

"Anatomi Separatis Papua" mencatat faksi Marvic berkekuatan 403 orang serta punya 53 senjata api dan sebutir granat. Kelompok Goliath tak lagi menganggap Richard Joweni sebagai pemimpin Tentara Pembebasan.
Lambertus mengakui OPM tak lagi solid. Ketika sejumlah tokohnya mendeklarasikan West Papua National Council Liberation pada Juli lalu, Goliath buru-buru menyatakan organisasi baru itu tak mewakili rakyat Papua. Dia meminta tokoh-tokoh OPM yang bergabung di sana, seperti Rex Rumakiek dan Hans Richard Joweni, membatalkan deklarasi.

Ini membuat sejumlah aktivis OPM mencurigai dia. Apalagi setelah tersiar kabar Goliath merapat ke Gubernur Papua Lukas Enembe. Purom Okiman Wenda, yang mengklaim diri sebagai Panglima Tentara Pembebasan Nasional Wilayah Kabupaten Lannyjaya, menyebutkan Goliath condong ke pemerintah Indonesia. "Goliath sekarang sudah NKRI. Saya tidak sepaham, jadi keluar," ujarnya.

PUROM adalah bekas anak buah Goliath di Puncak Jaya. Ketika kabupaten di Pegunungan Jayawijaya itu dipecah pada 2008, Purom dan pasukannya hijrah ke Lanny Jaya kabupaten hasil pemecahan. Dia dan kawan-kawannya bermarkas di Puncak Senyum. Purom kini berafiliasi ke kelompok Mathias Wenda, pentolan faksi Pemka. Ia mengklaim serangkaian penembakan di sekitar Puncak Jaya dilakukan pasukannya, bukan Goliath.

Lambertus Pekikir mengatakan kepada Tempo, meski berjuang dalam kelom¬pok yang terpecah-pecah, mereka disatukan oleh tujuan serupa: melepaskan Papua dari Indonesia. "Kemerdekaan masih jauh," Lambertus menegaskan.

Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan negara tak pernah mengakui istilah OPM. Begini kata Tito: "Yang kami kenal adalah kelompok kriminal bersenjata atau kelom¬pok pengacau keamanan." (ANTON SEPTIAN (JAKARTA), JERRY OMONA, CUNDING LEVI (PAPUA), Sumber: Majalah Tempo (10 Desember 2013/Selasa, Hal. 50-51)