Selasa, 10 Desember 2013

Satu Mario, Tiga Timor

NAMANYA menjulang sejak wilayah di timur Indonesia itu masih bernama Timor Portugal, la tercatat sebagai sarjana kesepuluh selama sekitar 400 tahun penjajahan Portugal. Dialah Mario Viegas Carrascalao—kini 76 tahun—tokoh sentral yang memimpin daerah itu tatkala menjadi provinsi Indonesia, Timor Timur. Setelah jajak pendapat 1999, Mario kembali ke tanah kelahirannya, yang menjelma menjadi Timor Leste. Dia tetap ada di pusaran utama negeri baru itu sebagai anggota parlemen dan wakil perdana menteri.

Jarum jam hampir menunjuk angka 09.30. Mario Viegas Carascalao memasuki lobi Hotel Timor di seberang Pelabuhan Dili. “Belum terlambat kan?" kata mantan Gubernur Timor Timur ini. Provinsi yang dulu dipimpinnya itu kini telah menjadi negeri berdaulat, Timor Leste, setelah jajak pendapat pada 1999. Mario melepas kewarganegaraan Indonesia dan men¬jadi warga negara Timor Leste.

Tak sulit bertemu dengan Mario. Dia kini memiliki banyak waktu luang. "Saya sudah 76 tahun. Sudah saatnya istirahat," ujarnya sambil tertawa. Sejak mundur dari jabatan Wakil Perdana Menteri Timor Leste sekitar tiga tahun lalu, ia tak lagi memiliki segudang kegiatan.

Awal November lalu, Mario menerima Purwani Diyah Prabandari dan fotografer Subekti dari Tempo dalam dua kesempat¬an. Pada pertemuan pertama, Rabu pagi di Hotel Timor, dia sanggup berbicara sekitar empat jam tanpa jeda, bahkan tak minum. Dia hanya berhenti bicara dua kali saat me¬nerima telepon dari istrinya, Maria Helena Stoffel Cidrack Viegas, yang mengingatkan¬nya untuk makan siang. Pertemuan kedua, pada Kamis sore, berlangsung di rumahnya, tak jauh dari Bandar Udara Presidente Nicolau Lobato. Di sana ikut bergabung kontribu¬tor Tempo di Dili, Jose Sarito Amarah Mario tampak bugar meski mengidap penyakit jantung dan lever.

AYAH saya, Manuel Viegas Carrascalao, adalah orang Portugal yang dibuang ke Ti¬mor karena melawan pemerintah. Sedang¬kan ibu saya, Marcelina Guterres, orang Timor asli. Dari 12 bersaudara, hanya ka¬kak saya, Manuel; adik saya, Joao; dan saya yang menggeluti dunia politik.

Sejak kecil, kami sudah harus bekerja. Ayah saya mengurus perkebunan. Baru pada umur 12 tahun, saya masuk sekolah dasar. Saya berhasil lulus dalam satu tahun, sesuai dengan yang disyaratkan Ayah. Se¬telah sekolah menengah atas, tak ada pendidikan lanjutan. Saya meneruskan pen¬didikan ke Portugal hanya dengan bekal 1.800 escudo (waktu itu senilai US$ 20). Un¬tuk bertahan hidup, saya bekerja di kantin karena bisa makan siang dan malam gratis. Saya lulus menjadi insinyur kehutanan dan menjadi orang Timor Portugal kesepuluh yang mencapai gelar sarjana-selama 400-an tahun penjajahan Portugal.

Pada 1970, saya, istri, dan anak saya, Pedro Miguel Stoffel Cidrack Viegas Carras¬calao, pulang ke Timor Portugal. Bebera¬pa bulan kemudian, saya diangkat menjadi Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan.

Ketika Revolusi Bunga menjatuhkan dik¬tator Salazar-Caetano di Lisabon, saya ikut membentuk Serikat Demokratik Timor (UDT) bersama Manuel dan Joao Carrasca¬lao pada 11 Mei 1974. Waktu itu, pemerin¬tah di Dili mengizinkan pembentukan par¬tai politik. Mungkin saat itu saya satu-satu¬nya orang yang paham partai politik kare¬na pengalaman saya di Portugal.

April sebelumnya, Francisco Lopes da Cruz, yang kemudian menjadi Presiden UDT, pergi ke Jakarta untuk mencari du¬kungan dan persahabatan, bukan untuk berintegrasi. Ia ditemui orang Badan Ko¬ordinasi Intelijen Negara (Bakin), Kolonel Aloysius Sugiyanto.

Pada 20 Mei 1974, terbentuk ASDT, yang kemudian menjadi Front Revolusioner Ti¬mor Timur (Fretilin). Dan pada 27 Mei, di¬dirikan Asosiasi Demokratik Rakyat Timor (Apodeti), yang sebelumnya Asosiasi untuk Integrasi Timor ke Indonesia (AITI).

Partai-partai itu memiliki keinginan ber¬beda. Menurut saya, kami tidak mungkin bergabung dengan Portugal karena me¬reka sudah miskin dan harus berperang menghadapi gerakan kemerdekaan di ko¬loni di Afrika. Tapi kami juga berpenda¬pat tidak bisa langsung merdeka. Sedang¬kan ASDT ingin langsung merdeka. Ada¬pun Apodeti ingin bergabung dengan In¬donesia. Sebelum semua partai terbentuk, orang-orang Bakin sudah masuk ke Timor Portugal. Di antaranya Dading Kalbuadi danLouisTaolin.
Beberapa waktu kemudian, kami diberi tahu bahwa Fretilin, yang dianggap komu¬nis, akan melakukan kudeta. Saya dan joao berbeda pendapat. Saya berpendapat ja¬ngan sampai ada kekerasan. Kalau perang dimulai, akan sulit menghentikannya. Tapi Fretilin selalu menyebut orang yang bukan pengikutnya sebagai fasis dan harus dila¬wan.

UDT, di bawah adik saya, Joao, melaku¬kan kudeta lebih dulu pada 11 Agustus 1975. untuk menyingkirkan komunis dari Ti¬mor Portugal. Orang-orang UDT menang¬kapi orang-orang Fretilin. Perang sauda¬ra pun pecah dan memakan korban begi¬tu banyak dari berbagai pihak. Kapal-kapal dating untuk mengangkut pengungsi, baik ke Portugal maupun Australia.

Sekitar akhir Agustus, Kolonel Subyakto dan Konsul Indonesia untuk Timor Portugal E.M. Tomodok mengundang kami, kecua¬li Fretilin. Ketika kami sedang berunding, di luar beredar desas-desus bahwa Joao sudah lari ke kapal Indonesia. Pasukan kami mun¬dur ke arah barat. Saya bergabung.

Pada 25 Agustus 1975, ketika kami ber¬ada di Liquica, saya memutuskan mengi¬rim istri dan dua anak saya, Pedro dan Sonia Carrascalao, ke Indonesia. Mereka be¬rangkat pagi. Sore hari, dari handy talky terdengar laporan ke markas Fretilin tentang keluarga fasis yang mengarah ke In¬donesia. Orang itu juga bilang bahwa ia me¬merintahkan semua fasis ditembak. Bela¬kangan saya ketahui dia berbohong. Dia, Aquiles dos Santos, adalah teman sekolah saya. Ketika melihat itu keluarga saya, dia hanya pura-pura menembak.

Sekitar September, Fretilin menyerang Batugade. Kami terpaksa masuk ke Timor barat, Atambua. Kemudian kami dibawa ke Kupang, baru ke Jakarta. Selama kami di Jakarta, pertengahan 1976, ada rombong¬an dari Timor Portugal yang membawa pe¬tisi integrasi untuk diserahkan kepada Pre¬siden Soeharto.

Setelah itu, kami ke Bali untuk dipersi¬apkan melakukan propaganda pro-Indonesia. Saya dikirim ke Perserikatan Bang¬sa-Bangsa di New York. Sedangkan Joao ke Timur Tengah, tapi kemudian dia ditarik karena malah menjalankan propaganda anti-lndonesia.

Bagi saya, proses Timor Portugal men¬jadi bagian Indonesia itu bukan integrasi, melainkan aneksasi. Sebab, tidak ada kon¬sultasi ke rakyat, dan pengambilalihannya secara paksa.

SEKITAR April 1982, ketika saya bertugas di kantor Perwakilan Tetap Indonesia un¬tuk PBB di New York, saya diminta mene¬mui Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Mayor Jenderal Leonardus Benjamin (Ben¬ny) Moerdani di Washington, DC. Waktu itu, dia langsung berkata, "Saya mau Anda jadi Gubernur Timor Timur."

Saya menjawab akan bertanya kepada is¬tri dulu. Ternyata istri saya berkata, "Kamu tidak punya musuh. Tapi, kalau kamu mau melakukan tugas ini, kamu akan punya musuh." Saya bilang, "Kalau halangannya itu saja, saya terima."

Tugas utama saya sebagai gubernur ada¬lah mencoba merebut hati rakyat. Ketika itu, perlawanan Fretilin masih keras. Mi¬liter pun sangat berkuasa. Saya berkata, "Kalau mereka masih di hutan dan mela¬kukan perlawanan, itu tugas Anda. Tapi, kalau mereka sudah turun, sudah menye¬rah, itu tugas saya."

Militer sendiri terpecah dalam mena¬ngani Timor Timur. Konflik itu terlihat pada masa kontak damai. Sekitar April 1983, Benny Moerdani datang dan saya di¬minta menemuinya di Baucau. Dia bilang anak buahnya terpecah: ada yang mau me¬nyelesaikan masalah Timor Timur dengan damai, ada pula yang mau perang.

Dia memberi kesempatan 30 menit bagi saya untuk menjelaskan kepada para ang¬gota staf yang dia bawa dari Jakarta. Dalam pertemuan yang diikuti sekitar 20 perwi¬ra tinggi tersebut, banyak pertanyaan di¬lontarkan. Misalnya: apakah Xanana Gusmao itu jujur? Sayajawab, "Saya tidak tahu. Tapi dia komandan gerilya, berarti dia di¬percaya."
Kemudian Benny memberi waktu tiga bulan kepada Komandan Resor Militer Wira Dharma Kolonel Poerwanto dan Panglima Daerah Militer Udayana Mayor Jenderal R.P. Damianus Soetarto untuk membantu saya menyelesaikan masalah ini. Di dalam pesawat ke Dili, Poerwanto bi¬lang, "Karier saya sudah habis."

Tak ada sepekan, ia menelepon saya dan kemudian kami ngobrol di pinggir pantai. Poerwanto bercerita tentang Prabowo Subianto-Wakil Komandan Detasemen 81 (Penanggulangan Teror) Kopassus yang diam-diam datang ke Timor Timur tanpa memberi tahu dia. Ia juga menyatakan Pra¬bowo tak setuju kontak damai.

Beberapa bulan kemudian, terjadi insi¬den di Kraras, Viqueque. Saya diberi tahu petinggi militer (ketika itu ABRI) di Timor Timur, awalnya ada seorang anggota perta¬hanan sipil (hansip) yang baru pulang dari markas Komando Pasukan Khusus menda¬pati istrinya telah diperkosa tentara. Han¬sip yang dekat dengan Angkatan Bersen¬jata untuk Pembebasan Timor Timur (Falintil) itu melapor ke hutan, dan 16 tenta¬ra yang sedang bersama orang-orang desa untuk mempersiapkan peringatan Hari Ke¬merdekaan 17 Agustus dibunuh. Tentara membalas. Lebih dari 30 warga desa diek¬sekusi. Warga lain lari ke hutan. Yang ting¬gal hanya perempuan dan anak-anak.

Tak sampai sebulan, tentara berhasil meyakinkan penduduk Kraras agar kelu¬ar dari hutan dan dibawa ke Klerek Mutin. Ternyata kemudian banyak warga, teruta¬ma laki-laki, dibunuh sehingga desa ini di¬kenal sebagai desa janda. Ketika berkunjung, saya menyaksikan memang tidak ada laki-laki di sana. Dalam pertemuan, para janda membenarkan cerita petinggi ABRI yang memberi tahu saya.

(Kiki Syahnakri, mantan Panglima Kodam IX/Udayana, yang kerap ditugasi ke Timor Timur, dalam buku Timor Timur: The Untold Story menyebutkan insiden itu bermu¬la dari undangan tokoh desa kepada tenta¬ra untuk pesta. Saat pesta berlangsung, ten¬tara diserang dan hanya ada satu yang selamat. Kemudian terjadi pembalasan. Xanana Gusmao mengaku tidak tahu insiden penyerangan tersebut dan curiga ada pihak ketiga yang bermain.)

Saya dengar tentara menciptakan kondi¬si agar insiden itu terjadi. Seperti juga ada seorang komandan rayon militer dan ca¬mat di Liquica yang menaruh bendera Fre¬tilin di rumah warga untuk menjadi alasan penangkapan. Ternyata mereka kemudian mengambil kopi warga. Saya menemui me¬reka dan mengancam akan melapor ke Ja¬karta.

Pada 1989, saya menemui Panglima ABRI Try Sutrisno. Saya bilang, "Banyak tentara di Timor Timur baik. Tapi ada dua orang yang harus Bapak tarik: Komandan Komando Operasi Keamanan Timor Timur Brigadir Jenderal Mulyadi dan Prabowo Subianto. Mereka itu akan menciptakan ma¬salah bagi Indonesia."

Menurut Try Sutrisno, menarik Mulya¬di itu gampang. Tapi Prabowo adalah me¬nantu Presiden Soeharto. Saya memper¬hatikan Mulyadi sejak kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989. Benny Moerdani saat itu juga datang. Ternyata kemudi¬an terjadi keributan. Setelah acara selesai dan Benny akan pulang, ia minta Mulyadi jangan main tangkap.

Pada awal Prabowo datang, banyak orang senang. Tapi kemudian dia mengambil langkah keliru. Dia juga memusuhi gereja Katolik, misalnya Pastor Locatelli dari Fatumaka, Baucau, yang dianggap mem¬bantu kelompok Xanana.

Padahal, kunci saya memimpin Timor Timur, bila kita ingin mendekati rakyat, ha¬rus mendekati gereja. Kalau di tempat lain, gubernur adalah orang nomor satu. Tapi di Timor Timur tidak. Nomor satu adalah us¬kup, nomor dua gubernur, nomor tiga baru panglima.

Jadi Gubernur Timor Timur itu sangat su¬lit karena ABRI tidak segaris dengan peme¬rintah. Mereka mengurus semuanya sendi¬ri dan banyak melakukan penyalahgunaan wewenang, bahkan korupsi. Mereka meng¬olah kebun di sini seolah-olah kebun mere¬ka. Merekajuga mengimpor barang ke sini, kemudian mengirimkannya ke Surabaya atau kota lain di Indonesia.

Contoh kasus: Mayor Aziz Hasyim, yang memegang semua proyek di Timor Timur. Saya dilapori Bank Dagang Negara, dana miliaran rupiah untuk pembangunan ru¬mah rakyat telah dia ambil. Ketika saya minta dia membereskannya, dia mengata¬kan, kalau yang saya bilang benar dan dia naik pesawat, pesawat itu akan jatuh. Saya menjawab, "Pesawat itu tidak akan jatuh karena ada penumpang lain, Pak. Kalau pe¬numpangnya Bapak sendiri, akan jatuh."

Karena saya tak mau menandatangani pencairan uang tersebut, datang tim dari Ja¬karta di bawah Mayor Jenderal Sutaryo, Wa¬kil Kepala Bais. Saya bilang, "Kalau uang¬nya ada di bank, pasti langsung saya teken. Tapi ini uangnya sudah tidak ada." Akhir¬nya, Aziz Hasyim diadili di pengadilan mili¬ter dan diganjar hukuman pada 1984.

SEJAK awal menjadi gubernur, saya me¬lakukan pertemuan dengan rakyat setiap Jumat. Orang antre dari pagi sampai ma¬lam. Ada yang melaporkan penyiksaan, pe¬nahanan tanpa pengadilan, ada pula orang yang dibunuh hanya karena keluarganya di hutan.

Bahkan ada sekitar 5.000 orang yang di¬buang ke Pulau Atauro karena dianggap membantu orang di hutan atau ada anggo¬ta keluarganya di hutan. Saya berbicara dengan petinggi Bais agar mereka dikeluar¬kan dari sana. Akhirnya, mereka dipulang¬kan ke desa masing-masing. Tapi sekitar 500 orang ditempatkan di kamp di Ainaro.

Saat mendengar insiden Kraras dan Kle¬rek Mutin, saya juga segera mengadakan hearing. Begitu pula soal Desa Janda Beasu. Dari hasil pertemuan dengan rakyat, saya telah membuat sekitar 10 ribu memo. Memo-memo ini saya kirim ke berbagai pi¬hak. Saya juga selalu berbicara dengan ge¬reja, terutama Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, yang kerap memberi informasi kepada saya.

Saya pernah pula berbicara dengan Falintil, meski saya tak dekat dengan mere¬ka. Selama menjadi gubernur, saya dua kali bertemu dengan pemimpin mereka, Jose Alexandre Gusmao alias Xanana Gusmao. Pada pertemuan pertama, sekitar Maret 1983, saya ditemani Kolonel Poerwanto. Kami bertemu di Larigutu, Viqueque. Saya melihat di meja ada bendera Fretilin dan rokok Gudang Garam.

Dalam pertemuan sekitar 40 menit itu, saya katakan, "Suatu saat senjata akan ha¬bis, peluru habis, Anda mau apa?" Xanana menjawab, "Mario Carrascalao, Anda ha¬rus tahu, saya memang tidak punya pab¬rik senjata atau peluru. Tapi pusat senjata dan peluru saya itu di Surabaya atau Jakar¬ta. Sekarang ini justru sulit karena kita ada kontak damai."

Pertemuan kedua, sekitar April 1983, berlangsung di Ariana. Xanana berbica¬ra terus terang bahwa dia perlu tiga bulan untuk mengatur kembali perlawanannya. Ketika saya membujuk agar bekerja sama membangun Timor Timur, dia tidak mau. "Anda sebagai gubernur bertugas mengu¬rus rakyat. Anda laksanakan tugas itu. Dan ini tugas saya."

PADA 1989, saya mengusulkan Timor Ti¬mur disamakan dengan provinsi lain. Wak¬tu itu, saya menemui Presiden Soehar¬to. "Pak, di Indonesia, pendidikan sudah maju. Di Timor Timur, anak-anak muda umur 17, 18, bahkan 20 tahun baru ma¬suk SD. Ketika lulus, tidak ada pekerjaan. Akhirnya, mereka lari ke hutan, bekerja sama dengan Fretilin. Dulu orang di hutan berbicara dengan bahasa Tetun dan Portu¬gal, sekarang mereka berbahasa Indone¬sia." Presiden menyambut baik.

Saat itu media ramai memberitakan usul saya. Benny Moerdani memanggil saya. "Anda jangan macam-macam. Kalau terjadi sesuatu, jangan salahkan Hankam." Akhir¬nya, Timor Timur disamakan dengan pro¬pinsi lain pada akhir 1989.
Saya sedih melihat Timor Timur. Tidak ada kepala dinas yang orang asli. Orang pada lari ke hutan, atau tidak berpendi¬dikan. Saya mengajukan program beasis¬wa Rp 800juta. Sempat dicoret di Departe¬men Dalam Negeri, program ini kemudian berjalan. Sekitar 3.000 anak muda Timor Timur dikirim ke beberapa kota di Jawa un¬tuk belajar.

Selain itu, saya mengusulkan pendirian perguruan tinggi. Petinggi Bais sempat me¬nolak dan mengatakan Timor Timur tidak memerlukan perguruan tinggi, cukup se¬kolah teknik. Saya jawab, "Sekolah teknik sudah ada sejak zaman Portugal."

Akhirnya, Universitas Timor Timur ber¬diri pada 1989. Tapi, sampai akhir masa ja¬batan saya pada 1992, statusnya tetap ter¬daftar, tidak pernah sampai "diakui" oleh pemerintah Indonesia. Sumber: Majalah Tempo (10 Desember 2013/Selasa, Hal. 72-76)