Selasa, 16 April, adalah hari jadi Korps Komando
Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Ulang
tahun kali ini diwarnai kasus yang memprihatinkan dan menyedihkan. Sebanyak 11 prajurit Grup Kopassus
dari Markas Kandang Menjangan, Kartasura,
Jateng, menyerbu LP Cebongan, Sleman,
Yogyakarta, dan menewaskan empat penghuni penjara tersebut. Tentu peristiwa, itu
menggores citra satuan tersebut.
Pemimpin Korps Baret
Merah harus memulihkan citra tersebut. Mengembalikan citra dan merebut kembali
kepercayaan publik memang bukan tugas yang ringan, namun
harus dilakukan. Salah saurnya adalah melaksanakan pengadilan militer yang terbuka bagi para prajurit tersebut. Mereka harus
dihukum setimpal. Hanya dengan pengadilan yang serius, terbuka, dan bisa
diakses semua pihak, proses tersebut dapat
dinilai publik.
L'historia se repete, sejarah itu berulang.
Demikian kata orang Prancis. Ada masanya TNI dihujat demikian keras seperti
pasca reformasi. Kini, mereka
juga mengalami hal yang sama. Mereka harus kembali memperbaiki citra. Sekitar
15 tahun lalu, sebuah majalah asing membuat
reportase khusus tentang Kopassus bahwa pelatihan untuk memperoleh kualifikasi
komando pada Kopassus merupakan yang terberat di dunia (Asiaweek, 18 April
1997). Juga disebutkan Unit Anti terornya merupakan yang
terbaik di Asia (di luar Israel).
Sebagai negara dengan
anggaran pertahanan terbatas, kita tidak
bisa terlalu berharap mampu mengimbangi keunggulan armada pesawat tempur
negara tetangga, seperti Australia dan Singapura. Dibanding dua negara
tetangga itu, kekuatan udara Indonesia ibarat apel yang siap petik, terlalu
mudah dijadikan sasaran. Tidak bisa tidak, pilihan akhirnya jatuh pada upaya
pengembangan satuan tempur dengan anggaran lebih ekonomis agar bertumpu pada
kemampuan perseorangan, satuan berbasis infanteri seperti Kopassus, Kostrad, Marinir
atau Paskhas TNI.
Bagi publik awam,
sebenarnya tidak banyak satuan yang.akan selalu dikenang. Di antara sedikit yang diingat adalah Kopassus dan Brigif
Linud 17/ Kujang-1 Kostrad. Perwira-perwira
yang berasal dari dua satuan tersebut seolah-olah secara bergiliran mengisi pos pimpinan TNI. Brigif Linud
17, misalnya, yang komandannya untuk periode 1992-1993, yakni Kol Inf SB Yudhoyono.kini telah menjadi presiden.
Membangun citra sebuah korps hingga menjadi legenda sangatlah sulit. Butuh waktu
bertahun-tahun dan semangat berkorban para anggota. Kedekatan emosional dengan
rakyat bisa dijadikan parameter seberapa besar nama satuan itu. Sebagaimana
pernah dialami Yonif Linud 401/Banteng Raider (Semarang) pada 2003, yang
likuidasinya disayangkan banyak pihak. Meski satuan ini sebenarnya hanya
ganti nama menjadi Yonif 400/Raider, rasa kehilangan itu tetap ada.
Demikian juga yang terjadi dengan Kopassus. Kebesaran namanya tidak usah diragukan lagi. Justru
terkadang bisa merepotkan sendiri. Sebagai satuan yang memang sudah terpandang
sejak kelahirannya (16 April 1952), Kopassus acap kali terbawa-bawa pada masalah
bernuansa politis. Cukup sudah pengalaman pahit di masa lalu. Seperti pernah
dikatakan mantan Danjen Kopassus, Mayjen TNI Syaiful Rizal (lulusan
terbaik Akmil 1975), bahwa satuan seperti Kopassus ibarat gerbong. Ke mana
lokomotifnya bergerak, pasti terkena dampak.
Satuan
Lain
Dalam tahun-tahun
terakhir, sebagian besar masyarakat (terutama yang tinggal di perkotaan) telah
kehilangan hal yang esensial, seperti rasa aman. Ada ancaman teroris. Dia bisa
diikutkan mengatasi ancaman terorisme yang eskalasinya terus meningkat dari
waktu ke waktu.
Isu mengenai ancaman teroris internasional semakin marak setelah
peristiwa 11 September 2001 di New York. Namun, sejak tahun
1970-an, sudah banyak negara yang membentuk satuan khusus anti teror. Karena sejak saat itu,
sudah mulai dikenal operasi penyanderaan dan pembajakan pesawat, baik bermotif politik maupun ekonomi. Salah satu peristiwa yang
banyak menarik perhatian dunia adalah penyanderaan atlet Israel pada Olimpiade di Munich (1972).
Kesadaran tentang
perlunya satuan khusus antiteror juga
dirasakan Kopassus saat itu. Dengan supervisi Jenderal Benny Murdani, mulailah
dirintis pembentukan satuan tersebut, dengan dikirimnya dua perwira muda (saat itu), yaitu May Inf Luhut B
Panjaitan dan Kapt Inf Prabowo Subianto, yang kemudian dikenal sebagai
Detasemen 81 (Den 81) Kopassus. Pada reorganisasi Juni 1996, satuan ini
memperoleh sebutan Grup 5/Antiteror. Kemudian pada tahun 2001, satuan dengan semboyan "Siap, Setia, Berani" ini kembali
mengalami reorganisasi dengan nama Satuan-81/Gultor (Penanggulangan Teror)
Kopassus.
Satuan antiteror juga
dikembangkan di angkatan lain, bukan "monopoli" Kopassus semata,
seperti Detasemen Jala Mangkara (Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL, Detasemen Bravo 90
Paskhas TNI-AU, dan Densus 88/Antiteror (Polri). Reputasi satuan antiteror
tentu sudah diketahui publik, termasuk kelompok yang berpotensi melakukan aksi teror. Khusus mengenai teknik mengatasi
ancaman teroris dalam gedung, konsep Kopassus telah diadopsi satuan sejenis di
kawasan Asia Pasifik, seRegional Counter Terror: ''Subject Matter Expert Exchange” (RCT-SMEE), pada
November 2005 di Australia.
Walter N Lang, seorang
pengamat pasukan elite, pernah menulis keandalan sebuah satuan antiteror
jangan dilihat di bawah marinir, polisi, atau tentara, namun intensitas
pelatihan, perencanaan, dan peralatan.
Demikian juga adanya rasa
percaya diri dan fleksibilitas dalam menghadapi kondisi lapangan saat
pelaksanaan operasi. Asumsi Walter N Lang bisa menjadi bahan kajian agar
mencapai hasil optimal dalam operasi,
perlu ada sinergi antarsatuan antiteror di Tanah Air. Misalnya dengan latihan
bersama atau saling tukar informasi mengenai teori dan teknik terbaru, termasuk
peralatan canggih. (muhammad yamin), Sumber: Koran Jakarta (16 April 2013/Selasa, Hal. 04)