Created on
Selasa, 10 Desember 2013 19:10 Published Date
Jakarta,
GATRAnews - Panglima Tentara Nasional Inodnesia, Jenderal TNI Moeldoko menilai,
pasca Reformasi bergulir terjadi berbagai anomali yang tak sanggup diimbangi
rakyat dan para petinggi negeri ini, karena meninggalkan nilai-nilai lama dan
nilai baru belum ditemukan, sehingga mengakibatkan kepanikan budaya atau
culture shock.
"Ada
beberapa anomali pasca-reformasi, yakni anomali politik, ekonomi, sosial dan
budaya, dan otonomi," ujar Moeldoko, saat menyampaikan paparannya yang
berjudul "Ketidakteraturan yang Berlebihan", dalam Kongres Kebangsaan
yang dihelat Forum Pemred, di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (10/12).
Pada kongres
bertajuk "Menggagas Kembali Haluan Bangsa Menuju 100 Tahun Indonesia
Merdeka" ini, Moeldoko memaparkan, anomali di bidang politik terjadi
akibat transisi demokrasi. Salah satu yang menonjol, yakni keinginan untuk
tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, namun toleran terhadap
multi partai. Padahal, sistem presidensial tidak menganut sistem multi partai.
Demokrasi
Indonesia juga diwarnai kapitalisasi politik, yakni politik sangat mahal dan
hanya yang memiliki tumpuan kapital yang bisa mengikutinya. Akibatnya, siapapun
yang terpilih akan berusaha mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya,
minimal sesuai dengan yang dihabiskannya.
Moeldoko
mencontohkan, akibat dari kapitalisasi politik tersebut, 309 kepala daerah
tersangkut kasus hukum, baik berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Selain itu, hampir 100% kepala daerah pecah kongsi, sehingga arah pembangunan
itu tidak jelas lagi. "94% hubungan kepala daerah pecah kongsi, sehingga
setelah itu tidak jelas."
Setelah Orde
Baru (Orba). Pada masa Orba, Indonesia berada di titik eksekutif atau
pemerintahan, sedangkan pada masa Reformasi, beradi di yudikatif.
"Belakangan ini titik berat ini bergeser lagi ke eksekutif. Mudah-mudahan
dari forum ini lahir rumusan baru," harapnya.
Sedangkan
terkait anomali di bidang ekonomi, imbuh jenderal bintang empat ini, pemerintah
merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun hanya sebesar 5,5 sampai
5,9% dari sebelumnya 5,9 sampai 6,2%. Bahkan di kuartal III 2013, ini
diperkirakan kembali melambat seperti kuartal II-2013 sebesar 5,81%.
"Nilai
tersebut lebih rendah dari pencapaian di kuartal I 2013 sebesar 6,01%,"
paparnya.
Kemudian, imbuh
dia, sesuai data ILO, sejak tahun 2011, ada 90 federasi, 5 konfederasi 11 ribu
serikat pekerja. Data BPS pada Februari 2011 menyebutkan jumlah buruh mencapai
30, 72 juta jiwa. Akibat kekuatan buruh tersebut, menjadi kekuatan parlemen
jalanan.
"Namun
kekuatan buruh yang terpecah menimbulkan anomalinya buruh yang kemudian
cenderung reaktif," paparnya.
Di bidang sosial
pun terjadi hal yang sama, bahkan seorang balita berusia 8 bulan mengalami
pemerkosaan, pemerkosaan terhadap gadis di bawah umur, hingga pemerkosaan dalam
angkutan umum.
Untuk menyelesaikan
anomali tersebut, tandas dia, diperlukan kepatuhan terhadap hukum. Kepatuhan
terhadap hukum itu sesuai dengan empat pilar kebangsaan yang berlaku di negeri
ini. "Kita harus bediri paling depan untuk mewujudkannya," pungkas
Moeldoko. (IS)