Selasa, 17 Desember 2013- PEMILIHAN umum (pemilu) legislatif untuk menetapkan anggota DPR-RI, DPD, dan DPRD daerah/kota akan digelar secara serentak 9 April 2014. Rakyat, pemilik hak suara, diharapkan datang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS). Itulah pesta demokrasi, saat masyarakat Indonesia menentukan wakil mereka. Namun bersamaan dengan itu netralitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ikut diuji.
Setiap menghadapi pemilu, juga pemilihan presiden (pilpres), sikap TNI dan Polri memang kerap dipertanyakan. Bahkan dari kalangan TNI dan Polri sendiri juga sering muncul penjelasan-apakah dari panglima, para kepala staf, serta petinggi Polri-yang menyatakan bahwa jajaran mereka dijamin akan netral dalam pemilu nanti. Keterangan itu tak jarang malah memicu keraguan.
Ketidakyakinan pantas mencuat karena dalam beberapa kali pemilu di era Orde Baru (Orba), TNI dan Polri pernah dimanfaatkan penguasa untuk mendukung partai atau calon tertentu. Ada garis komando yang jelas, bahkan terlihat pemihakan yang kental. Dan kemungkinan masih adanya pemihakan tetap saja terbuka saat ini, meski dilakukan oleh orang per orang. Itu dimungkinkan karena beberapa mantan petinggi pada Pemilu 2014 ini juga tampil, baik sebagai pemimpin partai maupun bakal calon presiden.
Gejala dukung-mendukung masih bisa kita rasakan, seperti dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya. Meski sulit dibuktikan, tetapi saat suatu pilkada diikuti pensiunan TNI atau Polri, kesan pemihakan kadang terasa. Setidaknya dimanfaatkan saingan mereka untuk memojokkan TNI atau Polri. Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dalam suatu kesempatan awal November lalu menyatakan, pihaknya pernah mencopot seorang komandan kodim karena terindikasi tidak netral dalam sebuah pemilihan umum.
Karena itu, tidak berlebihan Pemilu dan Pilpres 2014 mendatang kita sebut sebagai ajang menguji netralitas TNI dan Polri. Kita percaya Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dan Kapolri Jenderal Sutarman tidak akan melakukannya atau mengorbankan jabatan, karena pemihakan di era reformasi sekarang dapat menimbulkan tekanan dari berbagai pihak, baik dari rakyat maupun dari wakil rakyat.
Namun secara orang per orang tidak tertutup kemungkinan ada saja yang memanfaatkan posisi/jabatan untuk "menggiring" pemilih pada calon tertetu. Apalagi pada pemilu dan pilpres kali ini terdapat partai yang dipimpin pensiunan petinggi TNI, seperti Wiranto (Hanura) dan Prabowo Subijanto (Gerindra). Kita berharap seluruh jajaran TNI dan Polri benar-benar teruji netralitas mereka. TNI dan Polri yang tidak melakukan politik praktis harus berdiri di atas kepentingan rakyat.
Apa pun alasannya, TNI dan Polri-dari jenderal hingga prajurit-harus mengutamakan kepentingan bangsa. Ingat, pemihakan, sekecil apa pun, dapat merusak citra TNI atau Polri. Netralitas TNI dan Polri sangat diharapkan dan itu harus benar-benar dijaga, karena TNI dan Polri adalah pelindung bangsa dan negara.