Rabu, 11 September 2013

'Zaman Pak Harto banyak yang ingin jadi ajudan'



Selasa, 10 September 2013 03:04:47


Sebagai anggota DPR dari partai oposisi PDIP, Mayjen purn TB Hasanuddin dikenal kritis, terutama dalam isu-isu militer. Dia memang lama berkecimpung di TNI dengan berbagai macam posisi penting. Kritiknya tak segan menyinggung lingkaran dekat kekuasaan.

Seperti pada isu Mayor (Inf) Agus Harimurti Yudhoyono yang makin sering tampil di hadapan publik, kritik muncul dari TB Hasanuddin. Dia mempertanyakan apakah izin untuk bicara ke publik oleh para atasannya sesuai aturan di lingkungan TNI? Atau hanya khusus untuk Agus saja izin itu?. Kritik lain dia sampaikan dalam beberapa kesempatan terpisah.

Banyak yang mengenal TB Hasanuddin sebagai mantan Sekmil pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, meski sesungguhnya dia pernah menjadi Ajudan Presiden BJ Habibie. Ditemui merdeka.com di sela Rakernas PDIP, TB Hasanuddin bicara soal pengalamannya sebagai ajudan presiden, dan analisanya mengapa ajudan presiden punya karier kemiliteran yang bagus.

Apa modal penting menjadi ajudan presiden?

Pertama kita itu dilihat jabatannya (sebelum menjadi ajudan). Kemudian waktu selama menjabat, ada psikotes juga. Tentu hasil psikotes waktu naik jabatan juga dilihat. Selama menjalani sekolah pendidikan, prestasi juga dilihat. Intelektualnya juga dilihat seperti apa. Riwayat hidup jabatan seperti apa, track record juga dilihat.

Setelah itu mengikuti seleksi di setiap angkatan masing-masing terus diseleksi dan diambil 1 orang terbaik.

Bagaimana proses Anda menjadi ajudan presiden?

Saya dulu dipanggil oleh bagian personalia TNI AD, waktu itu ada tiga orang. Kemudian saya diminta ikut tes dari wawancara sampai psikotes, tes kesehatan juga sudah pasti ada. Dilihat juga pendidikan saya seperti apa. Sebelum menjadi ajudan, saya dulu wakil komandan resimen, baru menjabat setahun.

Suka duka sebagai ajudan presiden itu apa?

Kalau sukanya itu bisa kemana-mana gratis, misalnya ke luar negeri. Terus banyak belajar tentang kenegaraan. Kalau dukanya ya capek lah kerja terus menerus. Kita bekerja tergantung kegiatan presidennya.

Apa benar karier ajudan itu selalu meroket?

Sebenarnya meroket itu tergantung atasannya. Kalau atasannya (presiden) masih menjabat ya tentu karier ajudan itu akan memiliki jabatan top. Contoh saja zaman Pak Harto, kan mantan ajudan beliau seperti Pak Try Sutrisno bisa menjabat wakil presiden setelah tak menjabat ajudan. Pak Wiranto juga. Itu karena ada hubungan kedekatan emosional ya.

Kalau saya beda, kan saya mantan ajudan Habibie, tetapi kan Pak Habibie habis itu turun ya mana bisa saya meroket. Hal yang sama pada mantan ajudan Gus Dur, ajudan Bu Mega juga sama kan. Setelah ajudan, pada masa jeda itu saya pindah ke kodim, baru ke sekretaris militer. Tahun 2009 saya putuskan terjun ke dunia politik dan keluar dari TNI AD. Ya karena Pak Habibie turun jadi saya tidak bisa dapat jabatan top. Tetapi saya orangnya tidak menggantungkan diri kepada siapapun. Jadi biasa-biasa saja.

Apa memang situasi setelah pemimpin nasional bukan Pak Harto berbeda?

Ya, karena zaman reformasi kan berbeda dengan zaman Pak Harto. Dulu zaman Pak Harto, banyak yang ingin jadi ajudan, karena setelah menjabat ajudan pasti dapat jabatan top. Itu sudah pasti. Intinya itu ajudan maju kariernya tergantung dari presiden menjabat. [tts]