Rabu, 25 September 2013

Pemerintah Diragukan Keseriusannya Atasi Konflik Lahan



Selasa , 24 Sep 2013 14:28 WIB

Skalanews - Paguyuban Petani Jawa Timur (PAPAN Jati) mempersoalkan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan khususnya tanah petani di Indonesia, terutama di Jatim.

Karena dalam penanganan kasus tanah petani, pemerintah dianggap selalu berusaha membenturkan petani dengan aparat keamanan seperti TNI atau kepolisian.

Dari data PAPAN Jati, tercatat ada 100 konflik tanah yang melibatkan ribuan petani  di pedesaan yang berhadapan dengan perusahaan perkebunan, baik swasta maupun negara, dan penguasa militer dan Perhutani.

"Akibatnya petani resah dan mengalami takut kalau dibenturkan oleh instansi-instansi tersebut," kata juru bicara PAPAN Jati, Eko Suryono, saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (24/9).

Dia juga menyayangkan sikap Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga negara yang mengurusi pertanahan yang terkesan tertutup dan malah berpihak. "Mereka sering menerbitkan data kepemilikan perusahaan perkebunan yang palsu dan memanipuliasi bukti penguasaan tanah."

Atas fakta-fakta itu, Papan Jati mengeluarkan beberapa tuntutan.

Yakni tolak segala bentuk tindakan kekerasan terhadap petani. Seperti kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Indramayu. Serta teror/intimidasi terhadap sejumlah petani di Jatim seperti kasus Wongsorejo, Banyuwangi.

Reformasi birokrasi  pertanahan yang tidak memihak kepada kaum tani.

Kata Eko, pihaknya juga menuntut pengembalian tanah rakyat yang dirampas perusahaan perkebunan, TNI/militer, Perhutani.

"Seperti di kasus tanah Sukorejo, Buduran Sidoarjo (vs. TNI AD), kasus tanah Grati, Lekok, Nguling, Pasuruan (vs. TNI AL), kasus tanah Pandanwangi, Lumajang (vs. TNI AD)- Kasus tanah Pojok, Ponggok, Blitar (TNI AU), Kasus tanah Ngrangkah Sepawon, Kediri (vs. PTPN XII), Kasus tanah Satak, Kediri (vs. PTPN XII), Kasus tanah Wongsorejo, Banyuwangi vs. PT Wongsorejo),Kasus tanah Kalibakar, Dampit, Simojayan, Kab. Malang vs. PTPN XII)."

Mereka juga menuntut segera dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960). Serta mengembalikan fungsi tanah untuk kepentingan sosial dan menolak pertambangan yang merugikan masyarakat.

"Seperti dalam kasus pertambangan emas di Tumpang Pitu, Pancar, Banyuwangi."

Juga tuntutan untuk menghentikan segala perpanjangan sertifikat hak, utamanya Hak Guna Usaha di areal konflik tanah perkebunan di Jawa Timur. "Perpanjangan HGU misalnya, akan memungkinkan terjadi banjir darah."

Ditambahkan Eko, pihaknya juga meminta dikembalikannya tanah-tanah yang dirampas agar bisa digarap menjadi lahan garapan masyarakat petani." (Wahyu/ mvw)