Selasa, 03 September 2013

SELAMAT DATANG, PANGLIMA TAJIR



HASRAT akan kekayaan sama tuanya dengan sejarah per­adaban. Meski tidak tercan­tum dalam konvensi hak-hak asasi manusia versi apa pun, hak untuk menjadi kaya melekat dalam fitrah insane dan mustahil dihapus. Di masa lam­pau, beberapa pemerintah otoriter pernah berusaha menafikan hasrat itu dengan sistem pengawasan bahkan pemiskinan yang ke­tat, misalnya pada era Khmer Rouge di Kamboja. Hasilnya selalu tak manusiawi.

Karena itu, ketika seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat melontarkan pertanya­an, "Apakah tentara tak boleh kaya?" seba­gai komentar atas terpilihnya jenderal Moel­doko sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia, komentar itu benar belaka. Tapi ko­mentar yang benar belum tentu tepat.

Dalam uji kelayakan, Rabu pekan lalu, Ko­misi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat se­cara bulat menyetujui pengangkatan Moeldoko sebagai penggan­ti Laksamana Agus Suhartono, yang pensiun bulan ini. Calon tung­gal yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu me­langkah mulus hingga ke upacara pelantikan, Jumat pekan lalu. Tinggallah tersisa sejumlah pertanyaan, terutama mengenai catat­an kekayaan sang Panglima.

Menyimak karier Moeldoko, penunjukannya sebagai pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia bisa dianggap "alamiah". Ia mencapai pangkat kolonel tepat 19 tahun setelah lulus dari Akade­mi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pada 1981. Menurut catatan, hanya ada tiga prajurit lain yang meraih pangkat tertinggi sesuai dengan jadwal: Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo Subianto. Di angkatannya, Moeldoko keluar sebagai lu­lusan terbaik dengan menyandang Adhi Makayasa.

Perjalanan karier itu, ternyata, berbanding lurus pula dengan ca­tatan kekayaannya sesuatu yang justru langka di kalangan prajurit. Dalam laporan hartanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, ta­hun lalu, Moeldoko melaporkan jumlah sekitar Rp 36 miliar. Ketika itu, ia menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional.
Andai jumlah itu belum bergerak sampai ketika ia diangkat se­bagai Panglima Tentara Nasional Indonesia, hartanya lebih dari sepuluh kali lipat kekayaan panglima yang digantikannya. Diban­dingkan dengan kekayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja, harta Moeldoko masih empat kali lebih banyak. Di kalangan tentara, sampai saat ini, jumlah itu terbilang fantastis. Sebaran kekayaan itu juga menyangkut ranah yang sangat luas. Selain mobil, ada ru­mah, apartemen, tanah, emas, batu mulia, dolar Amerika Serikat, sampai peternakan ikan arwana serta perkebunan-perkebunan kelapa sawit, kayu jati, dan kayu sengon. Ta­nah dan propertinya tersebar dari Jakarta, Bogor, Bandung, Denpasar, Pasuruan, hing­ga Pontianak di Kalimantan Barat. Di situ, misalnya, Moeldoko punya tanah 400 hek­tare yang ditanami kelapa sawit.

Moeldoko menerangkan sebagian kekaya­annya berasal dari "hibah" mertua, yang me­mang dikenal sebagai saudagar kaya di Pasu­ruan, Jawa Timur. Pada pernikahannya saja, 1985, sang mertua memberi pesangon Rp 900 juta, jumlah yang sangat banyak ketika itu. Ke­kayaannya yang lain, menurut pengakuan Moeldoko, berasal dari "pergaulan yang luas" dan kedekatannya dengan pejabat tinggi ke­tentaraan, yang membuat ia akhirnya berke­nalan dengan sejumlah pengusaha.

Pada bagian inilah, sebetulnya, para anggota Komisi Hukum De­wan Perwakilan Rakyat bisa mempertajam sikap kritis. Jumlah keka­yaan bukanlah satu-satunya kenyataan yang bisa dipersoalkan. Le­bih penting dari itu adalah modus mengumpulkan kekayaan terse­but, dan waktu serta energi yang diperlukan untuk mengelolanya. Dalam kasus Moeldoko, sang jenderal sudah menjelaskan sebagian harta itu hibah dari mertua, plus "hasil pergaulan yang luas". Yang belakangan ini, sepertinya, bisa ditelisik lebih saksama.

Dengan aset begitu besar dan luas, patut pula dipertanyakan "sisa waktu dan energi" yang bisa dicadangkan Moeldoko untuk mengemban tugas yang dipercayakan di atas pundaknya, yaitu sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia. Posisi itu semakin penting mengingat penyelenggaraan pemilihan umum sudah di depan mata. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri berpe­san agar Jenderal Moeldoko, bersinergi dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, membantu pengamanan pemilihan umum.

Moeldoko sendiri menjanjikan berbagai program untuk masa ja­batannya, dari pendidikan sampai kesejahteraan prajurit. Setelah pengesahan Undang-Undang Alat Utama Sistem Pertahanan Nega­ra, senjata tempur Indonesia akan semakin canggih, sehingga di­butuhkan pendidikan khusus. Dengan beban tugas demikian be­rat, dan kekayaan demikian besar, hendaklah Jenderal Moeldoko bijak memilih skala prioritas dan mengemban jabatannya secara bertanggung jawab. Sumber: Majalah Tempo (03 September 2013/Selasa, Hal. 31)