HASRAT akan
kekayaan sama tuanya dengan sejarah peradaban. Meski tidak tercantum dalam
konvensi hak-hak asasi manusia versi apa pun, hak untuk menjadi kaya melekat
dalam fitrah insane dan mustahil dihapus. Di masa lampau, beberapa pemerintah
otoriter pernah berusaha menafikan hasrat itu dengan sistem pengawasan bahkan
pemiskinan yang ketat, misalnya pada era Khmer Rouge di Kamboja. Hasilnya
selalu tak manusiawi.
Karena itu,
ketika seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat melontarkan pertanyaan,
"Apakah tentara tak boleh kaya?" sebagai komentar atas terpilihnya jenderal
Moeldoko sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia, komentar itu benar
belaka. Tapi komentar yang benar belum tentu tepat.
Dalam uji
kelayakan, Rabu pekan lalu, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat secara bulat
menyetujui pengangkatan Moeldoko sebagai pengganti Laksamana Agus Suhartono,
yang pensiun bulan ini. Calon tunggal yang diajukan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono itu melangkah mulus hingga ke upacara pelantikan, Jumat pekan lalu.
Tinggallah tersisa sejumlah pertanyaan, terutama mengenai catatan kekayaan
sang Panglima.
Menyimak karier
Moeldoko, penunjukannya sebagai pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia bisa
dianggap "alamiah". Ia mencapai pangkat kolonel tepat 19 tahun
setelah lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pada 1981.
Menurut catatan, hanya ada tiga prajurit lain yang meraih pangkat tertinggi
sesuai dengan jadwal: Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo Subianto.
Di angkatannya, Moeldoko keluar sebagai lulusan terbaik dengan menyandang Adhi
Makayasa.
Perjalanan
karier itu, ternyata, berbanding lurus pula dengan catatan kekayaannya sesuatu
yang justru langka di kalangan prajurit. Dalam laporan hartanya kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi, tahun lalu, Moeldoko melaporkan jumlah sekitar Rp 36
miliar. Ketika itu, ia menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional.
Andai jumlah itu
belum bergerak sampai ketika ia diangkat sebagai Panglima Tentara Nasional
Indonesia, hartanya lebih dari sepuluh kali lipat kekayaan panglima yang
digantikannya. Dibandingkan dengan kekayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
saja, harta Moeldoko masih empat kali lebih banyak. Di kalangan tentara, sampai
saat ini, jumlah itu terbilang fantastis. Sebaran kekayaan itu juga menyangkut
ranah yang sangat luas. Selain mobil, ada rumah, apartemen, tanah, emas, batu
mulia, dolar Amerika Serikat, sampai peternakan ikan arwana serta
perkebunan-perkebunan kelapa sawit, kayu jati, dan kayu sengon. Tanah dan
propertinya tersebar dari Jakarta, Bogor, Bandung, Denpasar, Pasuruan, hingga
Pontianak di Kalimantan Barat. Di situ, misalnya, Moeldoko punya tanah 400 hektare
yang ditanami kelapa sawit.
Moeldoko
menerangkan sebagian kekayaannya berasal dari "hibah" mertua, yang
memang dikenal sebagai saudagar kaya di Pasuruan, Jawa Timur. Pada
pernikahannya saja, 1985, sang mertua memberi pesangon Rp 900 juta, jumlah yang
sangat banyak ketika itu. Kekayaannya yang lain, menurut pengakuan Moeldoko,
berasal dari "pergaulan yang luas" dan kedekatannya dengan pejabat
tinggi ketentaraan, yang membuat ia akhirnya berkenalan dengan sejumlah
pengusaha.
Pada bagian
inilah, sebetulnya, para anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat bisa
mempertajam sikap kritis. Jumlah kekayaan bukanlah satu-satunya kenyataan yang
bisa dipersoalkan. Lebih penting dari itu adalah modus mengumpulkan kekayaan
tersebut, dan waktu serta energi yang diperlukan untuk mengelolanya. Dalam
kasus Moeldoko, sang jenderal sudah menjelaskan sebagian harta itu hibah dari
mertua, plus "hasil pergaulan yang luas". Yang belakangan ini,
sepertinya, bisa ditelisik lebih saksama.
Dengan aset
begitu besar dan luas, patut pula dipertanyakan "sisa waktu dan
energi" yang bisa dicadangkan Moeldoko untuk mengemban tugas yang
dipercayakan di atas pundaknya, yaitu sebagai Panglima Tentara Nasional
Indonesia. Posisi itu semakin penting mengingat penyelenggaraan pemilihan umum
sudah di depan mata. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri berpesan agar
Jenderal Moeldoko, bersinergi dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
membantu pengamanan pemilihan umum.
Moeldoko sendiri
menjanjikan berbagai program untuk masa jabatannya, dari pendidikan sampai
kesejahteraan prajurit. Setelah pengesahan Undang-Undang Alat Utama Sistem
Pertahanan Negara, senjata tempur Indonesia akan semakin canggih, sehingga dibutuhkan
pendidikan khusus. Dengan beban tugas demikian berat, dan kekayaan demikian
besar, hendaklah Jenderal Moeldoko bijak memilih skala prioritas dan mengemban
jabatannya secara bertanggung jawab. Sumber: Majalah Tempo (03 September
2013/Selasa, Hal. 31)