Moledoko saat
menjabat Pangdam III Siliwangi di ruang kerjanya,
Markas Kodam III
Siliwangi, Bandung
PADA 1981,
selepas lulus dari Akademi Militer, Moeldoko menggambar masa depannya. Di titik
awal, ia membubuhkan pangkatnya ketika itu, letnan satu. Titik-titik berikutnya
ia isi dengan usia dan target pangkat yang hendak ia capai. Di ujungnya,
tanpa mencantumkan tahun, ia menulis: "Panglima TNI Jenderal
Moeldoko".
Moeldoko
menceritakan kisah itu Kamis malam pekan lalu, sebelum dilantik menjadi
Panglima Tentara Nasional Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
esok paginya. Dalam uji kelayakan, Rabu dua pekan lalu, semua anggota Komisi
Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat menerima calon tunggal yang diajukan
Presiden itu. "Semua prajurit selalu bermimpi menjadi panglima," kata
Moeldoko. "Dan itu bisa dihitung karena ukuran kriterianya sangat
jelas."
Lahir dari
keluarga miskin di pelosok Desa Pesing, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 8Juli
1957, Moeldoko memilih jadi tentara lantaran tak punya biaya kuliah. Moestaman,
ayahnya, seorang jogoboyo atau kepala keamanan Kampung Pesing, pinggir Kali
Brantas, yang hanya mengandalkan tanah bengkok untuk menghidupi selusin anaknya.
"Setiap hari kami makan jagung dan ketela," ujar Muhammad Sujak,
kakak tertua Moeldoko, yang tinggal di Kediri.
Selepas sekolah
dasar, Moeldoko melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama di Papar,
Kediri. Ia bergelantungan di gerbong kereta api yang melintas dekat rumahnya.
"Hampir tiap hari saya harus kucing-kucingan dengan kondektur kereta
api," katanya. Lulus SMP, ia pindah ke Jombang, mengikuti Sujak, yang
lebih dulu bekerja di proyek pembangunan jembatan Brantas.
Di kota itu,
Moeldoko melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Pertanian kini
Sekolah Menengah Atas 2 Jombang. Moeldoko hampir melamar menjadi peserta
transmigran teladan begitu lulus sekolah ini. Tapi niatnya urung dilakukan
karena Sugeng Hariyono, kakaknya yang sudah jadi tentara, menyarankan masuk
Akademi Militer pada 1977.
Meski di SMA tak
terlalu moncer, prestasi Moeldoko kinclong ketika di akademi. Nilai kalkulusnya
mendekati ponten 100, bahkan ia sudah diminta gurunya mengajari kawan-kawannya.
Karena itu, ia pun lulus sebagai taruna terbaik dengan menyandang Adhi
Makayasa. "Karena saya tahu, hanya dengan Adhi Makayasa, jalan berkarier
baik sebagai tentara terbentang," ujar Moeldoko.
Melalui aneka
penugasan operasi di dalam dan luar negeri, Moeldoko juga melewati karier
sebagai anggota staf sejumlah perwira tinggi, seperti Jenderal Wiranto dan
Jenderal A.M. Hendropriyono. "Dia cerdas, energetik, dan teruji. Saya sudah
memprediksi dia bakal jadi panglima," kata Wiranto.
Sepanjang 2010,
Moeldoko mengalami tiga rotasi untuk tiga posisi bintang: Panglima Divisi I
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Panglima Kodam XII Tanjungpura, lalu
Panglima Kodam III Siliwangi. Kodam Tanjungpura yang dipimpinnya membawahkan
dua wilayah, yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kalimantan Barat
merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Menurut
Moeldoko, bukan pekerjaan mudah membangun kodam dengan dana yang sangat
terbatas. Kondisi barak prajurit dan pos prajurit pengawal perbatasan membuatnya
ikut merogoh kocek untuk memperbaiki markas prajurit di kawasan itu. Salah
satunya Batalion Putusibo. Kondisi prajurit dan penduduk di perbatasan itulah
yang membuat Moeldoko membaur dengan banyak tokoh di Pontianak. Ia mengajak
prajurit mengumpulkan petani miskin di kawasan itu.
Menjadi Wakil
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional hampir dua tahun, karier Moeldoko kembali
beranjak ketika ditunjuk sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat pada awal
tahun ini. Pos itu dilalui dengan cepat, sebelum akhirnya ia diangkat sebagai
Kepala Staf Angkatan Darat. Tiga bulan menduduki jabatan ini, ia menjadi calon
tunggal Panglima TNI.
Jumat pekan
lalu, 32 tahun setelah ia menggambar garis masa depannya, Moeldoko meraih
ujung rancangannya. (WIDIARSI AGUSTINA, RUSMAN PARAQBUEQ, HARI TRI WASONO, &
PRIHANDOKO), Sumber: Majalah Tempo (03
September 2013/Selasa, Hal. 38)