Selasa, 03 September 2013

GARIS KARIER BOCAH PESING



Moledoko saat menjabat Pangdam III Siliwangi di ruang kerjanya,
Markas Kodam III Siliwangi, Bandung

PADA 1981, selepas lulus dari Akademi Militer, Moeldoko menggambar masa depannya. Di titik awal, ia membubuhkan pangkatnya ketika itu, letnan satu. Titik-titik berikutnya ia isi dengan usia dan tar­get pangkat yang hendak ia capai. Di ujung­nya, tanpa mencantumkan tahun, ia me­nulis: "Panglima TNI Jenderal Moeldoko".

Moeldoko menceritakan kisah itu Ka­mis malam pekan lalu, sebelum dilantik menjadi Panglima Tentara Nasional Indo­nesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada esok paginya. Dalam uji ke­layakan, Rabu dua pekan lalu, semua ang­gota Komisi Pertahanan Dewan Perwakil­an Rakyat menerima calon tunggal yang diajukan Presiden itu. "Semua prajurit selalu bermimpi menjadi panglima," kata Moel­doko. "Dan itu bisa dihitung karena ukur­an kriterianya sangat jelas."

Lahir dari keluarga miskin di pelosok Desa Pesing, Kabupaten Kediri, Jawa Ti­mur, 8Juli 1957, Moeldoko memilih jadi ten­tara lantaran tak punya biaya kuliah. Moestaman, ayahnya, seorang jogoboyo atau ke­pala keamanan Kampung Pesing, pinggir Kali Brantas, yang hanya mengandalkan tanah bengkok untuk menghidupi selusin anaknya. "Setiap hari kami makan jagung dan ketela," ujar Muhammad Sujak, kakak tertua Moeldoko, yang tinggal di Kediri.

Selepas sekolah dasar, Moeldoko melan­jutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama di Papar, Kediri. Ia bergelantung­an di gerbong kereta api yang melintas de­kat rumahnya. "Hampir tiap hari saya ha­rus kucing-kucingan dengan kondektur ke­reta api," katanya. Lulus SMP, ia pindah ke Jombang, mengikuti Sujak, yang lebih dulu bekerja di proyek pembangunan jembatan Brantas.

Di kota itu, Moeldoko melanjutkan pen­didikan ke Sekolah Menengah Pertama Pertanian kini Sekolah Menengah Atas 2 Jombang. Moeldoko hampir melamar men­jadi peserta transmigran teladan begitu lu­lus sekolah ini. Tapi niatnya urung dilaku­kan karena Sugeng Hariyono, kakaknya yang sudah jadi tentara, menyarankan ma­suk Akademi Militer pada 1977.

Meski di SMA tak terlalu moncer, prestasi Moeldoko kinclong ketika di akademi. Nilai kalkulusnya mendekati ponten 100, bahkan ia sudah diminta gurunya mengajari kawan-kawannya. Karena itu, ia pun lulus sebagai taruna terbaik dengan menyandang Adhi Makayasa. "Karena saya tahu, hanya dengan Adhi Makayasa, jalan berkarier baik sebagai tentara terbentang," ujar Moeldoko.

Melalui aneka penugasan operasi di da­lam dan luar negeri, Moeldoko juga me­lewati karier sebagai anggota staf sejum­lah perwira tinggi, seperti Jenderal Wiranto dan Jenderal A.M. Hendropriyono. "Dia cerdas, energetik, dan teruji. Saya su­dah memprediksi dia bakal jadi panglima," kata Wiranto.

Sepanjang 2010, Moeldoko mengalami tiga rotasi untuk tiga posisi bintang: Pang­lima Divisi I Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Panglima Kodam XII Tanjungpura, lalu Panglima Kodam III Siliwangi. Kodam Tanjungpura yang dipimpinnya membawahkan dua wilayah, yaitu Kaliman­tan Barat dan Kalimantan Tengah. Kaliman­tan Barat merupakan wilayah yang berba­tasan langsung dengan Malaysia.

Menurut Moeldoko, bukan pekerjaan mudah membangun kodam dengan dana yang sangat terbatas. Kondisi barak praju­rit dan pos prajurit pengawal perbatasan membuatnya ikut merogoh kocek untuk memperbaiki markas prajurit di kawasan itu. Salah satunya Batalion Putusibo. Kon­disi prajurit dan penduduk di perbatasan itulah yang membuat Moeldoko memba­ur dengan banyak tokoh di Pontianak. Ia mengajak prajurit mengumpulkan petani miskin di kawasan itu.

Menjadi Wakil Gubernur Lembaga Keta­hanan Nasional hampir dua tahun, karier Moeldoko kembali beranjak ketika ditun­juk sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Da­rat pada awal tahun ini. Pos itu dilalui de­ngan cepat, sebelum akhirnya ia diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Tiga bulan menduduki jabatan ini, ia menjadi calon tunggal Panglima TNI.

Jumat pekan lalu, 32 tahun setelah ia menggambar garis masa depannya, Moel­doko meraih ujung rancangannya. (WIDIARSI AGUSTINA, RUSMAN PARAQBUEQ, HARI TRI WASONO, & PRIHANDOKO), Sumber:  Majalah Tempo (03 September 2013/Selasa, Hal. 38)