KEBIJAKAN impor persenjataan untuk mencukupi kebutuhan alat utama sistem senjata memang merupakan jalan pintas untuk memenuhi keterdesakan Indonesia untuk kebutuhan taktis. Tidak ada yang salah, di saat industri dalam negeri sendiri belum mampu memenuhi kebutuhan persenjataan TNI.
Namun, perlu digarisbawahi impor persenjataan tidak saja menjadikan Indonesia akan mudah dipermainkan negara produsen, tetapi juga melemahkan industri pertahanan nasional hingga kekuatan mudah untuk diprediksi.
Menurut analis militer dari UI Connie Rahakundini Bakrie, pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan harus menjadi prioritas dalam membangun suatu negara, khususnya dalam upaya modernisasi alutsista dan pengembangan industri pertahanan.
Dia mencatat, ada dampak korelasi dari perkembangan demokrasi di Indonesia dengan tuntutan peremajaan alutsista. Yang membedakan dengan era sebelumnya, pengadaan atau pengembangan alutsista harus berada dalam koridor transparansi dan akuntabilitas berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Ada yang unik dalam memperlakukan pengembangan alutsista. Model pengawasannya memang memerlukan kebijakan yang 'bijaksana'. Artinya di satu sisi mengawasi, tetapi di sisi lain tidak membocorkan rahasia negara terkait dengan detail akan apa yang dibeli.
"Di AS kalau mau dibuat contoh, pengawasan anggaran pertahanan dilakukan dengan mekanisme peng-awasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan industri pertahanan dan keamanan yang komprehensif dan sistemis," jelas Connie.
Misalnya, di sana diterapkan kebijakan Local Commanders Open Door Policy, Commanding General Open Door Policy, Whistle Blowers Act, Hot Lines: Commanding General Hot-Line, Military Police Hot-line, Criminal Investigative Detachment Hot-line, dan the DOD Hot-line, serta NCO Support Channel.
Untuk itu, Connie menyarankan alutsista impor yang dilakukan TNI sedapat mungkin memberdayakan industri dalam negeri. Pemberdayaan itu bisa berupa penerapan transfer of technology, joint production, dan joint research.
Yang perlu diperhatikan ke depan, imbuhnya, ialah bagaimana menjamin kebijakan tersebut terlaksana. Pemerintah terus perlu mendorong dan menciptakan lingkungan perusahaan yang kondusif karena keberhasilannya membutuhkan komitmen panjang, yang melibatkan proses peningkatan kompetensi SDM, jaminan investasi bagi pengembangan produk dan teknologi, pembangunan gugus industri dan persiapan untuk memasuki pasar luar negeri.
Yang tak kalah pentingnya, industri pertahanan dapat mendorong terjadinya penghematan devisa. Selain itu patut diingat, kata Connie, bahwa kondisi permintaan domestik akan membantu membangun keunggulan kompetitif ketika suatu industri memiliki segmen pasar domestik lebih besar daripada di luar negeri.
Perlu audit
Untuk itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menghindari audit anggaran untuk alutsista. "Alasan bahwa audit terhadap belanja alutsista akan menguak kekuatan militer Indonesia itu tidak bisa dibenarkan lagi," ujar anggota Komisi I DPR Helmy Fauzi.
Menurutnya, bahkan tidak ada jaminan saat ini kekuatan persenjataan Indonesia tidak diketahui negara lain. "Apalagi mayoritas alutsista kita didatangkan dari luar negeri. Pasti mereka (asing) sudah mengintip kekuatan kita," ujarnya di Jakarta.
Menurut politikus PDIP itu, informasi yang harus dirahasiakan dan tidak boleh terkuak yaitu penggunaan alutsista itu sendiri dan di mana lokasi penyimpanannya. "Kalau itu bocor, baru jadi persoalan besar," imbuhnya.
Helmy menegaskan audit belanja alutsista sangat penting karena dana yang sudah dikucurkan sangat besar.
Ia menilai audit atau pengawasan penggunaan APBN untuk keperluan alutsista dapat dilakukan dengan mengadakan pengawasan rutin bisa dengan mengajak KPK dalam hal pro-curement, BPK, dan internal Kemenhan. (*/Che/P-2), Sumber Koran: Media Indonesia (16 September 2013/Senin, Hal. 23)