DEMI mendekati postur minimum essential force (MEF) 2013-2014, pemerintah Indonesia melakukan percepatan modernisasi dan pembangunan kekuatan TNI, baik untuk Angkatan Darat, Laut, maupun Udara. MEF merupakan standar kekuatan pokok dan minimum TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama fungsi TNI dalam menghadapi ancaman aktual, termasuk bencana alam.
Selain karena hampir 20 tahun terakhir ini boleh dibilang tidak ada modernisasi persenjataan di TNI, percepatan modernisasi juga digalakkan karena alokasi anggaran pertahanan tahun anggaran 2010-2014 secara nominal mengalami kenaikan.
Jika dibandingkan dengan TA 2010 sebesar Rp42,3 triliun, pagu anggaran TA 2014 mencapai Rp83,4 triliun, atau mengalami kenaikan sebesar 200%. Salah satu pemanfaatan anggaran tersebut ialah mempercepat penambahan 10 pesawat angkut Hercules tipe C-130A untuk TNI-AU. Empat unit di antaranya merupakan hibah dari Australia, sedangkan enam sisanya dibeli dalam kondisi baru.
Selain pesawat angkut militer, TNI-AU juga akan mendapatkan tambahan satu skuadron pesawat jet tempur Sukhoi dari Rusia dan F-16 dari Amerika Serikat. Sementara itu, TNI-AL akan diperkuat dengan kapal selam.
Namun harus diakui, kesanggupan pemerintah dalam melakukan modernisasi belum melegakan banyak pihak. Rencana pengadaan alutsista kian menjadi sorotan publik karena tidak banyak menghasilkan kemajuan dalam konteks penegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas dana publik.
Salah satunya persoalan biaya sebesar A$63 juta yang harus dikeluarkan Indonesia untuk hibah empat pesawat Hercules C-130 tipe H dari Australia. Hal itu menimbulkan pertanyaan besar bagi DPR dan masyarakat. Penyebutan hibah diduga kamuflase untuk menutupi pembelian pesawat yang sudah tua.
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan dan Australia telah menandatangani serah terima hibah empat pesawat Hercules C-13 tipe H. Pesawat yang sudah dipensiunkan AU Australia (Royal Australian Air Force) itu akan didatangkan secara bertahap mulai Oktober 2013 hingga Desember 2014.
Kementerian Pertahanan mengakui Indonesia harus merogoh kocek sebesar A$63 juta untuk biaya pemeliharaan tingkat berat, teknisi, pelatihan pilot, hingga pengecatan pesawat. . Jika pesawat itu hibah, seyogianya bebas biaya. Toh pemeliharaan dan teknisi bisa dilakukan di dalam negeri. Indonesia sendiri sudah berpengalaman menangani pesawat tipe Hercules, termasuki pilotnya. Persoalan kejanggalan tersebut menjadi satu bagian dari rangkaian karut-marut pengadaan alutsista dan barang di sektor pertahanan.
Kasus tersebut juga menunjukkan adanya permasalahan akuntabilitas di sektor pertahanan. Tak mengherankan, dalam Government Defence Anti-Corruption Index 2013 yang dirilis Transparency International di Inggris, Indonesia dinilai buruk dalam bidang pengelolaan anggaran pertahanan karena rentan terhadap korupsi di sektor strategis itu.
Menurut hasil survei, sekitar 70% negara memiliki mekanisme buruk terhadap korupsi di sektor pertahanan. Dari 82 negara yang disurvei, 57 negara gagal melindungi diri, termasuk Indonesia yang mendapat nilai E dari skala A-F.
Persoalan di sektor pertahanan itu harus direspons otoritas politik secara serius. Perlu disadari pula risiko keamanan warga yang dipertaruhkan dalam setiap dugaan korupsi bidang pertahanan.
Selain itu, nyawa setiap prajurit pun dipertaruhkan. Sudah bukan rahasia lagi prajurit gugur, berjatuhan, akibat ketidaklayakan alutsista dan buruknya pemeliharaan.
Pengawasan sektor pertahanan yang minim itu juga bisa menjadi lahan subur bagi tumbuhnya bisnis ilegal persenjataan. Semakin menancapnya peran broker dalam pengadaan alutsista kian membuat proses pengadaan karut-marut.
Dalam menghadapi kompleksitas persoalan ini, pemerintah harus lebih tegas dan trans¬paran. Lembaga sekelas KPK, misalnya, bisa mendapat akses untuk mengontrolnya.
Pembiayaan yang menggunakan anggaran negara tidak dapat dilindungi dengan dalih kerahasiaan. Hanya dalam hal yang terkait dengan strategi militer, kerahasiaan memang perlu dijamin. (Astri Novaria/P-2), Sumber Koran: Media Indonesia (16 September 2013/Senin, Hal. 23)