Selasa, 17 September 2013

Rompi Antipeluru Polisi_Petinggi Polisi Diminta Berkorban Kurangi Tunjangan Bensin

Senin, 16/09/2013 14:49 WIB

detikNews, Jakarta - Akar masalah atas maraknya kasus penembakan terhadap anggota polisi belakangan ini dinilai bukan hal yang sederhana. Bila dirunut jauh ke belakang, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai kinerja Polri sebagai penegak hukum semakin merosot pascaberpisah dari TNI. 

Polri di era Reformasi ini dianggap belum bisa melakukan pembenahan ke seluruh level dalam instansinya. Bambang menekankan, perlu introspeksi yang dilakukan para petinggi Polri agar bisa dijadikan contoh bagi jajaran bawahannya. 

Menurutnya, citra Polri dalam beberapa tahun terakhir bukannya meningkat malah menurun. Hal ini mempengaruhi pola pikir serta kepercayaan masyarakat. “Bukan saya ingin Polri balik lagi ke TNI. Polri kan penegak hukum, gak bisa itu. Tapi, memang harus dilihat faktanya reformasi ini Polri gagal," kata Bambang kepada detikcom, kemarin. "Ubah itu kelakuan oknumnya dalam melayani masyarakat,” lanjut Bambang menegaskan.

Dia menambahkan, selama ini Polri bukan memperbaiki internal instansi dan kinerja pelayanannya. Namun, malah sebaliknya pembenahan yang bukan kualitas pelayanan masyarakat seperti perbaikan gedung hingga memperbanyak mobil dinas. 

Cara ini, ujar dia, yang menyebabkan sistem keamanan di masyarakat kurang terkontrol. Misalnya, banyak persaingan termasuk polisi ikut dalam penjagaan keamanan serta pengawalan untuk perusahaan swasta. “Harus berpikir positif dong petingginya. Kalau begini, mau jadi apa negeri ini,” kata Bambang mengingatkan.

Dalam pandangan Bambang, hal tersebut mempengaruhi pelaku kejahatan berani menembak anggota polisi yang bertugas di lapangan. Data lima orang bintara yang ditembak dalam tiga bulan terakhir harus bisa diungkap dan diselesaikan. "Polri jangan banyak menduga tanpa melakukan penyelidikan terlebih dulu," ujar Bambang mengingatkan.

Ia pun setuju kalau rompi antipeluru yang jumlahnya terbatas diperbanyak menyesuaikan petugas yang berada di lapangan. Minimal dengan cara ini, petugas pangkat bintara yang berada di lapangan merasa aman. Daerah Bogor bisa menjadi contoh dan perlu diapresiasi karena mewajibkan petugas di lapangan memakai rompi antipeluru. 

Selain itu, perlu penambahan personel untuk patroli di jalan. “Kalau perlu kerahkan Brimob yang di Kelapa Dua. Jangan tidur saja mereka di sana,” kata Bambang.

Bambang juga melihat perlu ada pengorbanan dari perwira tinggi Polri seperti bisa mengurangi tunjangan bensin untuk keperluan patroli mobil petugas di lapangan. Hal ini perlu dilihat dan menyesuaikan yang menjadi prioritas. 

Menurutnya, jangan sampai ada alasan tidak ada tunjangan operasional untuk mobil patroli. “Iya dong, wong petinggi Polri aman kok di dalam mobil dan dikawal. Yang terancam kan bintara ini, siapa yang enggak takut, dar-dor begitu. Mereka punya keluarga lho,” ujarnya.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie mengakui masih banyak petugas yang di jalan saat berdinas tidak memakai rompi.

Menurut Ronny, untuk pengadaan anggaran khusus terkait rompi, Polri harus berkoordinasi dengan Komisi III DPR serta pemerintah. “Ya, kami memang perlu rompi itu. Tapi, setiap ingin mengeluarkan anggaran khusus, persoalan itu panjang sekali,” ujarnya kepada detikcom, Jumat pekan lalu.