Senin, 09
September 2013 | 11:2
Panglima TNI
yang baru, Jenderal TNI Moeldoko menyatakan bahwa TNI akan menambah satu
batalyon lagi di Aceh guna memantapkan
sistem pertahanan di Aceh. Pernyataan Panglima TNI tersebut disampaikan
pada saat mendampingi kunjungan Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro ke
Markas Lanal, Lhokseumawe, kamis Minggu lalu. Pada kesempatan tersebut,
Panglima juga menambahkan bahwa TNI juga akan membangun Pangkalan Angkatan Laut
sebagai pengembangan pangkalan yang sudah ada sekarang guna memperkuat sistem
pertahanan.
Rencana Panglima
TNI tersebut tentu mengundang berbagai reaksi dan tanggapan dari para tokoh dan
masyarakat Aceh. Di antaranya ada yang menolak rencana Panglima tersebut yaitu
mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan mantan eks kombatan GAM, Bakhtiar
Abdullah. Keduanya berpendapat senada bahwa penambahan pasukan TNI ke Aceh
melanggar MoU Helsinki dimana setelah pasukan non organik ditarik dari Aceh,
maka jumlah pasukan TNI organik yang ada di Aceh maksimal berjumlah 14.700
personel dan polisi berjumlah maksimal 9100 personel.
Bagi saya,
pernyataan kedua tokoh eks kombatan tersebut masuk akal jika dilandasi dengan
MoU Helsinki 2005 lalu dimana pada MoU Helsinki BAB 4 Security Arrangement
pasal 4.7 menyebutkan bahwa “The number of organic military forces to remain in
Aceh after the relocation is 14700. The number of organic police forces to
remain in Aceh after the relocation is 9100″ (Jumlah militer organik yang
berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 personel dan polisi berjumlah
9100 personel). Namun demikian, pernyataan keduanya menjadi absurd apabila
dihadapkan dengan UUPA No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UUPA
ini tidak disebutkan berapa jumlah maksimal tentara yang ditempatkan dalam
suatu daerah. Pada UUPA bab XXV pasal 202 disebutkan bahwa:
(1) Tentara
Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan negara dan
tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pertahanan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi memelihara, melindungi dan
mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan
tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti penanggulangan bencana
alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas
kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.
(4) Prajurit
Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh tetap menjunjung tinggi
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat
istiadat Aceh.
Dalam pasal
tersebut sangat jelas terjabarkan tugas dan tanggung jawab TNI dan kewajiban
yang dimilikinya. Juga tidak disebutkan jumlah maksimal personel TNI yang
diwajibkan sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki. Lalu pertanyaannya
sekarang, dimanakah posisi MoU Helsinki sebenarnya dalam sistem hukum kita?
Perlu diketahui bagi kita bersama, bahwa Memorandum of Understanding (MoU) atau
pra-kontrak sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia,
namun dalam prakteknya MoU sering digunakan sebagai bentuk kesepahaman yang
digunakan oleh dua pihak yang saling berkaitan. Dalam Black’s Law Dictionary,
MoU didefinisikan sebagai bentuk Letter of Intent yang artinya “Suatu
pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk
masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa
komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu
Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak
dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat
dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu,
tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati.
Artinya; MoU merupakan pendahuluan suatu perikatan; isi materi yang memuat
hal-hal pokok saja; MoU bersifat sementara/memiliki tenggat waktu; tidak dibuat
secara formal sehingga tidak mengikat/kewajiban yang memaksa.
Dari pernyataan
di atas, saya menyimpulkan bahwa UUPA No11 tahun 2006 merupakan
kelanjutan/hasil penterjemahan MoU Helsinki sebagai tanggung jawab moral dan
politik Pemerintah Indonesia setelah melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam
MoU Helsinki tersebut. Selanjutnya, terkait dengan pernyataan Panglima TNI di
atas, tentu penambahan pasukan TNI di Aceh sebagai bentuk langkah strategis
Panglima dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagaimana tugas pokok
yang dibebankan kepadanya dengan tetap berada dalam koridor UU TNI maupun UUPA.
Panglima TNI tentu tidak akan mengambil keputusan hanya dengan dilandasi MoU
yang tidak memberikan konsekuensi hukum apapun dalam sistem hukum Indonesia.
Selain daripada itu, saya juga menilai adanya pertimbangan geo-strategis TNI di
Aceh, “yang tampaknya telah mulai menyadari” letak geografis Aceh yang sangat
strategis, sebagai pintu masuk menuju Selat Malaka
(http://politik.kompasiana.com/2012/05/10/strategi-as-di-asia-pasifik-aceh-adalah-prioritas-461969.html).
Oleh karena itu,
langkah strategis Panglima TNI tersebut saya nilai jauh lebih masuk akal
daripada pernyataan-pernyataan para eks kombatan yang menolaknya, dimana
Panglima TNI mengambil keputusan berlandaskan pada hukum yang berlaku dengan
pertimbangan ancaman strategis yang mungkin tidak datang saat ini namun bisa
jadi besok atau di masa yang akan datang sehingga sudah menjadi kewajibannya
untuk menjawab ancaman tersebut dengan melakukan langkah-langkah antisipasi.
Sementara itu, bagi para eks kombatan yang masih terpaku dalam MoU Helsinki,
saya menyarankan untuk kembali mempelajari produk-produk hukum yang berlaku untuk
menghindari kesalahan interpretasi dalam menterjemahkannya.