Selasa, 10 September 2013

Panglima TNI: Butuh SOP Militer Baku Hadapi Terorisme di Kawasan



Senin, 09 September 2013, 23:03 WIB


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Panglima TNI Jenderal Moeldoko menilai dinamika tantangan keamanan terkini berkembang sangat cepat dan telah memperlihatkan dampaknya di wilayah kawasan (regional). Salah satunya adalah ancaman terorisme yang muncul secara global.

”Oleh karena itu, dibutuhkan upaya penanganan yang tepat, akurat, dan terkoordinasi antarmiliter negara-negara, terutama di kawasan,” kata Moeldoko dalam sambutannya pada acara pembukaan The ASEAN Defense Ministers Meeting-Plus (ADMM-Plus) EWG on CTX 2013 di Sentul Bogor, Jawa Barat, Senin (9/9).

Menurutnya, seluruh dunia saat ini tengah mengalami gejolak keamanan yang memerlukan perhatian serius dari seluruh unsur keamanan, khususnya militer. Ancaman terorisme pun menjadi sangat nyata dan terus berkembang, sejalan dengan perkembangan pengetahuan manusia dan teknologi. Para pelakunya kini tak lagi hanya bekerja sendirian, tetapi juga memanfaatkan media dan jaringan antarnegara.

Terkait hal tersebut, Moeldoko berharap, kelak ada sebuah standard of procedure (SOP) baku yang dapat diterapkan oleh militer antarnegara kawasan dalam menanggulangi ancaman terorisme. “Untuk itu, pengembangan kemampuan manajemen informasi, teknologi, dan metode analisis yang bermanfaat bagi semua negara di kawasan jelas sangat dibutuhkan,” ujarnya.

Berdasarkan pengamatannya, berbagai aksi yang dilancarkan teroris telah berubah dari pola-pola yang tradisional ke pola-pola modern. Mereka bergerak secara mandiri dengan struktur organisasi lokal yang linear, terpisah dan cenderung tidak jelas. Di samping itu, mereka juga mencipatakan nama-nama sendiri dan tak lagi mengenal hierarkisitas dalam melakukan aksinya.

Dalam sistem pendanaannya, mereka menggunakan usaha kolektif atau internal, bahkan usaha yang bersifat lintas negara jika memungkinkan. Sementara, sasaranya tidak ditentukan oleh pimpinan spiritual kelompok mereka. Moeldoko menyebut strategi yang digunkan dalam pola baru terorisme ini dengan istilah phantom cell network, leaderless resistance, and lone wolver.

“Konsep ini menghubungkan kelompok-kelompok dengan kerahasiaan yang tinggi. Tiap kelompok tidak memiliki ikatan dan struktur yang jelas. Namun, tujuan ideologisnya sama,” jelasnya.

Karenanya, kata Moeldoko lagi, dibutuhkan sebuah kerja sama interaktif yang menyeluruh dalam kerangka regional maupun global untuk menghadapi ancaman tersebut. “Karena, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mampu menghadapi tantangan ini sendirian,” imbuh jenderal bintang empat itu.