Kamis, 05 September 2013

Melihat Asal-usul Keluarga Panglima TNI di Kediri Moeldoko, Bocah Kampung yang biasa Tirakat dan Kerja


Bocah itu mengenal tirakat sejak kecil. Setiap Senin dan Kamis, dia selalu berusaha taat untuk tidak menyentuh makanan dan minuman hingga matahari terbenam di ufuk barat.
Membantu menyediakan pasir dan batu yang diangkut dari pinggir kali menjadi rutinitasnya setiap hari seusai pulang sekolah. Selain terlibat langsung mengatur datangnya truk pengangkut material, bocah berperawakan kecil itu tidak canggung bersama para buruh membelah batu yang sedianya disiapkan untuk proyek plengsengan Ploso-Braan, Kabupaten Kediri.

Singkat riwayat, sejak kecil dia seorang pekerja keras. Selalu berkeringat, cekatan, dan nyaris tak pernah melipat jemari tangan.

Semua dikerjakannya. Apa yang bisa menopang kebutuhan keluarga dilakukannya. Maklumlah, kedua orangtuanya bukan berasal dari golongan ekonomi yang mapan.

Bocah lugu, polos yang hidup serba kekurangan puluhan tahun silam itu kini berdiri gagah sebagai panglima TNI. Moeldoko namanya.

Sidang paripuma DPR pada 27 Agustus 2013 lalu telah menyetujui tokoh militer asal Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri tersebut menjadi Panglima TNI Republik Indonesia, menggantikan Laksamana Agus Suhartono yang pensiun akhir Agustus.

"Saat Moeldoko masih berada dalam kandungan, bapak dan ibu berpuasa hingga 40 hari. Orang tua berharap kelak anaknya bisa menjadi orang besar," tutur Haji Muhammad Sujak, 76, kakak kandung Jenderal Moeldoko saat ditemui di rumahnya di Desa Pesing.

Rumah yang ditempati Sujak adalah tempat tinggal mendiang pasangan suami istri Moestaman dan Hj Masfuah, yang juga orang tua Jenderal Moeldoko, 57. Bangunannya tidak banyak berubah. Tidak ada renovasi. Ukurannya tetap kecil, memanjang kebelakang, sedikit menjorok ke dalam, dan sederhana. Temboknya terlihat tua, rapuh, dan kurang terpelihara. Di depan teras terhampar pelataran semen yang berfungsi untuk menjemur pakaian dan mengeringkan bulir padi panenan. "Di sinilah Moeldoko lahir dan dibesarkan," kata Sujak, didampingi keponakannya menyilakan KORAN SINDO masuk ke dalam ruangan.

Sebuah foto sang jenderal berbingkai murah tampak menghias dinding ruang tamu. Foto itu baru dipasang bersamaan digelarnya acara tasyakuran jabatan Panglima TNI belum lama ini. Di balik tembok dinding berfoto tersebut adalah kamar Moeldoko. Di ruangan berukuran sekitar 3x5 meter itulah Moeldoko biasa melepas penat setelah seharian sekolah danbekerja.

Di kamar yang tidak banyak berubah tersebut mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) itu biasa menghabiskan waktu bermanja-manja de¬ngan ibundanya. "Dia itu (Moeldoko) ketika kecil sampai besar (SMA), setiap tidur selalu bersama ibu. Kamar itu dulu sebagian dindingnya anyaman bambu (gedhek),"kenangnya.

Di keluarga, Moeldoko adalah bungsu dari 12 bersaudara. Sujak adalah putra pertama de-ngan tiga orang adik yang meninggal dunia ketika Moeldoko masih kecil.

Selain Moeldoko, Sujakjuga memiliki adik bernama Sugeng Hariyono yang pernah menjadi Danramil Purwoasri. Kemudian Siri Rahayu yang bersuamikan tentara bernama Sabar berpangkat mayor. Lalu ada Supiyani bersuami Suyono yang memangku kepercayaan kaur Desa Pesing.

Menurut Sujak, almarhum ayahnya (Moestaman) hanyalah seorang pedagang palawija alakadarnya. Sementara Mustamah, mendiang ibunya, seorang istri dan ibu rumah tangga biasa. Anak yang relatif banyak dan penghasilan yang tidak menentu membuat hidup keluarga ini serba kekurangan.

Moeldoko mengenal pendidikan pertama di Sekolah Dasar Negeri Juntok 1. Kemudian me-lanjutkan ke SMP Negeri Papar, Kabupaten Kediri. "Dari Papar, Moeldoko kemudian ikut saya di Jombang, sekolah di Sekolah Menengah Pertama Pertanian (SMPP)," tutur Sujak. (SOLICHAN ARIF), Sumber Koran: Seputar Indonesia (05 September 2013/Kamis, Hal. 04)