Entah apa yang ada di pikiran Letnan Jenderal Achmad Yani. Namun, bagi anak-anaknya hari itu, sang bapak membuat keputusan yang berbeda dari biasanya.
Di depan anak-anaknya yang sedang menunggu makan siang pada 30 September 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Achmad Yani mengatakan, pada 5 Oktober 1965, tidak usah sekolah dan membolos saja semuanya.
'Kabeh melu Bapak nang Istana, ndelok arak-arakan. Ono Nyanyi, pokoke ora usah sekolah mbolos kabeh." Mendengar ajakan aya¬handa tercinta, tentu saja disambut dengan gembira oleh anak-anaknya yang berjumlah delapan orang itu. Peristiwa itu dikisahkan putri dari Jenderal (Anumerta) Achmad Yani, yakni Amelia Yani dalam buku, Profil Seorang Prajurit TNI, tahun 1988, penerbit Sinar Harapan.
Malam harinya, sehabis main golf, Yani masih bergembira ria dengan anak-anaknya dengan berebut menikmati pisang goreng sebe¬lum menerima kedatangan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat. Kehadiran Panglima Brawijaya itu untuk melaporkan sesuatu yang teramat penting mengenai situasi politik ketika itu. Yani mendengar serius kalimat laporan Basuki Rachmat.
Jelas sekali bahwa demontrasi-demontrasi yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwanil dan Partai Komunis Indonesia (PKI) bagi Angkatan Darat sebagai sesuatu yang mem¬bahayakan. Gerwani dan PKI melakukan peru¬sakan terhadap rumah Gubernur Wiyono di Sura¬baya. "Dilihat secara keseluruhan, maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan berbagai aksi sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia) yang menjadi unsur PKI, bisa dipastikan adalah suatu gerakan yang sistematis. Gerakan sistem¬atis yang sedang berjalan," kata Basuki.
Untuk memperkuat isi laporannya, Brigjen Basuki Rachmat membawa saksi utama dari peristiwa perusakan pada 27 September 1965. Ketika sedang terjadi pembicaraan serius, telepon berdering yang berasal dari Brigjen Sugandhi yang melaporkan mengenai gerakan-gerakan sepihak PKI kepada Presiden Sukarno.
"Namun, Presiden Sukarno kelihatannya marah mendengar laporan tersebut. Setelah menaruh kembali gagang teleponnya, Achmad Yani mengatakan kepada Basuki, "Memang ke¬adaannya makin meruncing. Kita menghadap bersama-sama. Besok, secepatnya ini perlu dilaporkan." Hal itu tertuang dalam buku, Pengkhianatan G30S/PKI, Jakarta: Sinar Harapan, 1988, yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto.
Setelah tamunya pamit pulang dan sekarang giliran Achmad Yani berpikir keras esok harinya bertemu dengan Presiden Sukarno untuk mela¬porkan apa yang telah didengarnya.
Suasana politik ketika itu sedang memanas, PKI terus melakukan tekanan-tekanan terhadap lawan-lawan politiknya. Bahkan menjelang akhir .September 1965, PKI melancarkan agitasi politik mengecam TNI-AD terus berjalan dan semakin meningkat.
Jenderal-jenderal TNI-AD dituduh sebagai pencoleng ekonomi, kapitalis birokrat, koruptor, reaksioner, dan agen Nekolim. Pada 30 Septem¬ber 1965, situasi yang sedemikian eksploitatif itu menyebabkan Direktorat Polisi Militer memer¬intahkan Letnan Kolonel CPM Norman Sasono, komandan Pomad Para, untuk memperketat pengawalan atas Menpangad Letnan Jenderal Achmad Yani.
Kemudian, Norman mengirim satu peleton pasukan yang dipimpin oleh Kapten CPM IG Suparman ke rumah Jenderal Achmad Yani. Letnan Kolonel Norman Sasono sempat menginspeksinya para pengawal yang bertugas di rumah Menpangad. Pengakuan itu diungkapkan Norman Sasono pada Harian Merdeka, 1 Oktober 1989.
Pada pagi hari yang gelap, rumah Jenderal Yani yang dijaga oleh satu regu pasukan Pomad Para dimasuki oleh komplotan penculik setelah melucuti senjata para penjaga dengan sergapan secara mendadak. Ketika sejumlah oknum Resimen Tjakrabirawa memasuki rumah, Jenderal Yani sedang tidur sendirian.
Namun, salah seorang putranya yang kecil, Eddy, telah bangun dan sedang mencari ibunya yang malam itu sedang berada di kediaman resmi Jenderal Yani untuk melakukan tirakatan, karena keesokan harinya, 1 Oktober 1965, adalah hari ulang tahunnya.
Kemudian, salah satu anggota komplotan itu, Sersan Satu Raswad, meminta bantuan anak kecil itu untuk membangunkan ayahnya dan kemudian putra bungsu yang polos itu menuju ke ruang tengah untuk menemui tamunya yang tidak diketahui siapa sebenarnya dengan meng¬gunakan piyama baru.
Seketika komplotan yang berseragam Tjakrabirawa itu berhadapan dengan Jenderal Yani. Setelah menghormat secara militer, kom¬plotan menyatakan tidak perlu mandi terlebih dahulu dan bahkan tak perlu berganti pakaian. Ucapan itu terasa sangat kasar di telinga Jenderal Yani dan ia marah.
Yani langsung merampas senjata Prajurit Kepala Dokrin, melempar serta menempeleng tamtama tersebut. Ketika Jenderal Yani mem¬balik badan serta melangkah ke kamar keluarga melalui pintu kaca, saat itulah Sersan Satu Raswad memerintahkan Sersan Dua Gijadi untuk menembak.
Gijadi mengarahkan dan menarik picu senapan otomatis Thomsonnya. Tujuh peluru setelah menembus pintu kaca, memberondong tubuh Yani. Sang jenderal pun tersungkur jatuh. Tubuh Jenderal Yani yang telah rebah di lantai, kemudian diseret ke luar rumah untuk dinaikkan ke dalam salah satu truk. Komplotan itu kemu¬dian menghilang dalam kegelapan. Pengakuan itu terungkap dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa tahun 1966.
Menpangad Letnan Jenderal Achmad Yani telah menjadi korban dari situasi yang sangat eksploitatif ketika itu. Kegelapan pagi hari itu bukan saja menyaksikan pembunuhan atas Letnan Jenderal Achmad Yani. Petinggi Angkatan Darat lainnya pun menjadi korban kebiadaban, yakni Mayor Jenderal MT Haryono, Mayor Jen¬deral S Parman, Mayor Jenderal R Soeprapto, Brigadir Jenderal Soetojo, Brigadir Jenderal DI Pandjaitan, serta Letnan Satu CZI Pierre Andreas Tendean.
TNI-AD telah kehilangan putra-putra ter¬baiknya di pagi buta awal Oktober 1965. Kejadian berdarah serta tragis itu bagi Angkatan Darat didalangi oleh PKI yang memanfaatkan pasukan pengawal Presiden Sukarno, Resimen Tjakra¬birawa. Atas kematian para pemimpin-pemimpinnya. TNI-AD kemudian berbalik menghancur¬kan musuh bebuyutan mereka, yakni PKI. (selamat ginting), Sumber Koran: Republika (23 September 2013/Senin, Hal. 28)