Senin, 23 September 2013

Gerakan Keblinger


Presiden Sukarno mengetahui adanya Gerakan 30 September (G30S) dari Bri¬gadir Jenderal Soepardjo. Dia adalah perwira paling senior dalam dewan revo¬lusi yang dipimpin Letnan Kolonel (In¬fanteri) Untung Syamsuri. Untung adalah komandan batalyon 1 Resimen Cakra¬birawa, pengawal Presiden Sukarno.

Pada 1 Oktober 1965, pukul 11.00 siang, Brigjen Soepardjo melapor kepada Bung Karno yang berada di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Ia mela¬porkan tentang peristiwa penculikan jen¬deral-jenderal yang disebutnya sebagai dewan jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno, ter¬masuk terbunuhnya Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Achmad Yani.

Setelah mendengar laporan itu, Pre¬siden memerintahkan agar gerakan mereka (G30S) dihentikan. Dan untuk selanjutnya, kekuasaan Angkatan Darat berada di tangan Presiden. "Ini gerakan keblinger!” kata Sukarno.

Sebelumnya untuk mendapatkan restu Presiden Sukarno, pukul 07.00 pagi, dua wakil ketua dewan revolusi, yakni Brigjen Soepardjo dan Letkol Udara Heru Atmodjo, ditemani Komandan Batalyon In¬fanteri 530 Para Mayor (Infanteri) Bambang Soepeno dan Komandan Batalyon Infanteri 454 Para Mayor (Infanteri) Sukirno sudah berada di Istana Merdeka. Namun, Bung Karno ternyata urung ke Istana. Presiden malah langsung menuju Halim Perdanakusuma dan akan segera ke Istana Bogor.

"Di situ pula sesungguhnya G30S telah salah hitung. Seandainya Dewan Revolusi langsung direstui Bung Karno, berarti Partai Komunis Indonesia (PKI) sukses," kata Sarwo Edhie Wibowo, komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) saat peristiwa G30S.

Menurut Bung Karno, G30S sebenar¬nya tak perlu terjadi sebab ia telah beren¬cana akan mengganti Achmad Yani de¬ngan Mayjen Moersyid sebagai menteri/pangad pada 1 Oktober itu. Tentu saja, ia terkejut mendengar laporan Soepardjo ada enam jenderal dan satu perwira per¬tama sudah dibunuh.

Presiden Sukarno berencana membuat kejutan pada 1 Oktober 1965. Ia akan mengganti Menteri/Panglima Angkatan Darat dari Letnan Jenderal Achmad Yani kepada Mayor Jenderal Moersyid.
 Dalam struktur Markas Besar Ang¬katan Darat, ada tiga deputi yang meru¬pakan wakil dari Letjen Yani. Moersjid merupakan deputi I bidang operasi. Se¬dangkan, deputi II bidang administrasi, adalah Mayor Jenderal R Soeprapto dan deputi III bidang perencanaan dan pembi¬naan adalah Mayor Jenderal MT Haryono.

Presiden Sukarno sama sekali tidak mempertimbangkan nama Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai panglima Kostrad. Padahal, Soeharto ada¬lah perwira senior yang pernah menjadi atasan Moersyid pada saat persiapan ope¬rasi pembebasan Irian Barat pada 1962.

Saat itu, Moersyid masih berpangkat kolonel (infanteri), sedangkan Soeharto baru saja mendapatkan kenaikan pangkat dari brigadir jenderal menjadi mayor jen¬deral. Bahkan, Soeharto pun setahun lebih senior daripada Letjen Yani.

Untuk rencana pergantian tersebut, Letjen Yani sudah diundang untuk meng¬hadap Presiden Sukarno di Istana. Na¬mun, Yani tidak diberitahukan tentang rencana pergantian tersebut. Yani sama sekali tidak mengetahui rencana Presiden.

Bahkan, Yani merencanakan akan membawa serta Panglima Kodam Brawijaya Mayor Jenderal Basuki Rachmat ke Istana. Tujuannya melaporkan kepada Presiden tentang insiden penyerbuan Par¬tai Komunis Indonesia (PKI) ke kantor Gubernur Jawa Timur pada 27 September 1965. Basuki Rachmat melaporkan peri-stiwa itu di rumah Yani pada 30 Septem¬ber malam.

Namun, peristiwa pergantian pangli¬ma angkatan darat dari Yani ke Moersyid tidak terlaksana karena terjadi peristiwa yang membuat Presiden Sukarno terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka, Yani menjadi korban penculikan dari Gerakan 30 September (G30S).

Sesungguhnya, kata Jenderal AH Nasution, rencana G30S disiapkan me¬lalui rapat-rapat sepanjang September 1965, yang dikoordinasikan oleh Syam dan Pono dari Biro Khusus PKI yang rupanya mendapat perintah dari Aidit.

"Strategi mereka sudah jitu, potensi yang dipakai mencukupi, hanya opera¬sinya yang tak cukup berhasil," ujar Nasution setelah membaca hasil sidang Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh G30S.

Rapat itu, kata dia, dihadiri oleh sejumlah perwira ABRI yang beraliran kiri atau yang sudah dapat digarap oleh Biro Khusus PKI. Dalam rapat kelima, pada 19 September 1965, diputuskan men¬gangkat Letkol (Infanteri) Untung sebagai pimpinan gerakan. Komandan Resimen Batalyon I Cakrabirawa itu pun akan jadi ketua Dewan Revolusi yang akan dibentuk kemudian.

Ketika itu seorang anggota komplotan lain, Kolonel (Infanteri) Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jayakarta, Jakarta, misalnya, memper¬tanyakan mengapa bukan ditunjuk se¬orang jenderal yang lebih berpengaruh. Saat itulah, Sjam Kamaruzaman memberi alasan bahwa gerakan mereka bertema untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal. "Karena itu, sebagai pasukan pengawal Presiden, Untung adalah pilihan yang tepat."

Kolonel Latief, Brigjen Soepardjo, Let¬kol (Udara) Heru Atmodjo. Mayor (Uda¬ra) Sujono, dan sejumlah perwira lainnya ditunjuk sebagai wakil-wakil Untung. Setelah minggu ketiga September, persi¬apan tampaknya sudah dimatangkan.

Pasukan yang akan digunakan berasal dari Batalyon Infanteri 530 Para dari Jawa Timur dan Batalyon Infanteri 454 dari Jawa Tengah. Pasukan itu memang sengaja akan datang ke Jakarta untuk mengikuti perayaan hari ABRI, 5 Oktober 1965. Namun, rupanya Sjam sudah berhasil membina komandan kedua batalyon itu.

Pasukan lainnya berasal dari satu batalyon Cakrabirawa, satu kompi infan¬teri dari Brigade Infanteri I Jaya (yang dip¬impin Kolonel Latief), satu batalyon plus PGT (Pasukan Gerak Tjepat) AURI, dua kompi pasukan panser, serta satu kompi pasukan tank. Ini saja jumlahnya sudah sekitar 5.000. Kemudian, bergabung pula 2.000-an pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani bersenjata yang sudah dilatih AURI selama sebulan di Lubang Buaya.

Pasukan ini kemudian dipecah tiga sesuai dengan bidang tugasnya. Grup Pasopati (nama panah Arjuna yang amat sakti dalam cerita wayang) dipimpin Letnan Satu (Infanteri) Doel Arif, bertu¬gas menculik tujuh jenderal yang sudah ditentukan, yakni: Jenderal AH Nasution, Letjen Achmad Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo.

Grup Gatotkaca bertugas jadi semacam pasukan cadangan yang sewaktu-waktu bisa dikirimkan bila dibutuhkan. Satuan tugas lainnya, selain menjaga basis gerakan di Lubang Buaya atau sekitar Halim, grup ini bertanggung jawab atas sejumlah orang VIP yang akan dikumpulkan di basis. Marsekal Madya Omar Dhani dan DN Aidit, misalnya, sejak 30 September malam sudah berada di kompleks Halim.

Sesuai dengan rencana, pada 1 Oktober 1965, sekitar pukul 01.30, Lettu Dul Arif sudah selesai melakukan briefing pada pasukannya. Pasopati, yang sudah dibagi dalam tujuh kelompok sesuai dengan jumlah sasaran, segera diberangkatkan.

Sementara itu, sekitar pukul 05.30 pagi, kawasan di seputar Istana, Monu¬men Nasional, dan Stasiun Gambir sudah dikepung pasukan Bima Sakti. Begitu pula gedung RRI di Jalan Medan Merdeka Barat dan telekomunikasi (gedung Postel) di Jalan Medan Merdeka Selatan.

Maka, seperti dikatakan Nasution, "Unsur surprise yang mereka andalkan terlaksana." Semua jenderal yang mereka targetkan malam itu berada di rumah masing-masing dan tak menduga apa-apa.

Enam jenderal memang dapat diculik dan dibunuh, tapi Nasution lolos. "Saya lolos karena 'tangan Tuhan'," kata Nasution.

Sebab, pengawal di rumahnya saja sebetulnya adalah anggota Kolonel Latief. Sebelum penyerbuan itu, Latief diketahui sempat mendatangi rumah Nasution dengan dalih untuk mengontrol anak buahnya. Diduga, ia sambi melakukan aksi pengintaian.

Nasution meloloskan diri dengan mel¬oncati tembok samping rumahnya dan bersembunyi di balik sebuah drum di halaman gedung Kedutaan Irak. Tim Pasopati tidak berani memeriksa gedung kedutaan asing itu, walau sebetulnya saat itu, gedung itu kosong. Penghuninya sedang pulang ke Baghdad.

Pasopati hanya mengangkut Letnan Satu (Zeni) Pierre Tendean, pengawal Nasution, yang mereka kira adalah KSAB itu sendiri. Lolosnya Nasution menim¬bulkan kekhawatiran bagi pasukan G30S. Mereka memprediksi bahwa Nasution akan mengumpulkan pengikutnya untuk membalas. 

Karena itulah, paginya, Untung meme¬rintahkan pasukannya yang ada di sekitar Monas untuk mengejar Nasution. "Tapi gagal, karena rupanya pasukan Batalyon 454 yang saya tugasi tak mengenal Na¬sution dan tak tahu di mana rumahnya," kata Untung di Mahmilub.

Lebih gawat lagi, kata Untung, mereka gagal pula menemui Presiden Sukarno pa¬gi hari itu. Padahal, menurut rencana se¬telah operasi berhasil, mereka akan meng¬hadap Sukarno di Istana dan melaporkan bahwa mereka telah menindak "Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta".

Brigjen Soepardjo sempat membuat analisis tentang kegagalan itu. Ia meng¬gambarkan bahwa gerakan ini tak disi¬apkan dengan baik. "Sungguh-sungguh di luar dugaan bahwa mereka Syam Kamaruzaman dan kawan-kawan, jan¬gankan membuat persiapan, malahan diskusi pun tak ada untuk menghadapi jika G30S gagal, apa bentuk retreatnya dan sebagainya? Tidak ada."

Selanjutnya Soepardjo mengatakan, "Garis agitasi Syam dan kawan-kawan, hanya: semua beres, kita kuat, massa siap revolusi, dan lain-lain kata yang bom¬bastis. Malah, pikiran mereka lebih jauh lagi, pada tanggal 30 September malam dan 1 Oktober pagi Senko (sentral koman¬do) pindah ke MBAD (Markas Besar Angkatan Darat). Jenderal-jenderal dan menteri dipanggil." (Selamat Ginting), Sumber Koran: Republika (23 September 2013/Senin, Hal. 29-30)