Batalyon Anjing Laut. Na¬ma ini memang jarang se¬kali terdengar. Tiap-tiap batalyon selain dilengkapi dengan nomor atau angka, juga memiliki lambang ke¬satuan tersendiri. Biasanya menggunakan lambang satwa atau hewan, seperti pada batalyon infanteri, zeni, kavaleri, artileri medan, maupun artileri pertahanan udara.
"Batalyon Anjing Laut atau Batalyon 701 ini bermarkas di Bondowoso, Jawa Timur, sebagian besar adalah warga setem¬pat, keturunan Madura," kata Bungkus, bekas sersan mayor anggota Resimen Cak¬rabirawa, pelaku Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Pengakuan itu tertuang dalam tulisan Ben Anderson, seorang pemerhati Indo¬nesia dari Universitas Cornell, Ameri-kaSerikat. Tulisannya berjudul "The World of Sergeant-Mayor Bungkus", dimuat di Jurnal Indonesia, Nomor 78, Oktober 2004.
Menurut Bungkus, kesatuan militer ini berada di bawah Divisi Brawijaya. Selama bentrok kedua dengan Belanda, batalyon ini bertempur di sejumlah daerah, seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Pada 1957 itulah terjadi pertemuan antara Bung¬kus dan Dul Arief, komandan kompi yang memimpin penculikan terhadap petinggi Angkatan Darat dalam peristiwa G30S.
Keduanya juga pernah bertugas di Seram, Pulau Maluku. Mereka sehidup semati dalam pertempuran-pertempuran. Pada 1953, pasukan ini ditarik dari Seram. Seluruh personel Anjing Laut tidak kem¬bali ke Brawijaya, tetapi bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.
Nama batalyon setelah masuk Divisi Diponegoro berubah dari Batalyon 701 menjadi Batalyon 448, tetapi tetap meng¬gunakan lambang anjing laut. Batalyon ini menjadi_batalyon infanteri dan bagian dari Brigade Infanteri.
Hampir seluruh personelnya berdarah Madura, seperti Dul Arief, Djahurup, dan Bungkus. Komandan batalyonnya adalah Letnan Kolonel (Infanteri) Abdul Latief yang juga memahami bahasa Madura. Maka, tak usah heran, bahasa sehari-hari di batalyon itu banyak menggunakan bahasa Madura.
Setelah menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Bungkus dipindahkan ke Ca¬dangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan Garuda II yang baru pulang bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yakni di Srondol dan Mudjen. Komandan baret hijau di Srondol saat itu adalah Mayor (Infanteri) Untung Syamsuri.
Mayor Untung adalah penerima Bintang Sakti bersama Kapten (Infanteri) LB Moerdani karena dianggap melakukan tugas di luar batas kemampuannya dalam operasi pembebasan Irian Barat. Keduanya juga mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa. Lalu, kedua perwira pemberani itu ditawari Presiden Sukarno untuk menjadi komandan batalyon di Resimen Cakra¬birawa. Namun, Moerdani menolak dan tetap memilih bertugas di RPKAD.
Akhirnya, Letnan Kolonel Untung dipercaya menjadi Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa. Sama seperti Un¬tung, Latief juga dekat dengan Mayor Jen¬deral Soeharto. Latief kemudian menjadi Komandan Brigif Kodam Jaya, berpangkat kolonel. Tugasnya mengamankan ibu kota Jakarta.
Ketika bertugas di Cadangan Umum, Bungkus direkrut masuk Banteng Raiders I yang dipimpin Letkol (Infanteri) Untung. Tak lama ia direkrut menjadi bagian dari pasukan Resimen Cakrabirawa, bersama sekitar 100 personel Banteng Raiders. Dengan demikian, mereka terbentuk dalam satu kompi dengan komandan kompinya Letnan Satu (Infanteri) Dul Arief.
Sersan Mayor Bungkus adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30 Sep¬tember 1965. Ia mendapat tugas menjem¬put Mayor Jenderal MT Haryono, Deputi III (Perencanaan dan Pembinaan) Men¬teri/Panglima Angkatan Darat.
"Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00, dalam briefing Lettu Dul Arief men¬gatakan ada sekelompok jenderal yang akan 'mengkup' Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat, merurut saya," kata Bungkus dalam wawancara dengan Tempo tahun 1999.
Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah Hari ABRI 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya diperintahkan kembali ke kawasan Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, kata Bungkus, para komandan pasukan ber¬kumpul lagi. "Lalu, pasukan Cakra dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya, yakni tujuh jenderal. Saya kebagian Jenderal MT Haryono," ujar Bungkus.
Ia kemudian berhasil menembak mati Mayor Jenderal MT Haryono di rumahnya. Setelah sampai di Lubang Buaya, mayat¬nya diserahkan kepada Lettu Dul Arief.
Pengakuan Sersan Mayor Bungkus ini menarik minat Ben Anderson. Sebelumnya pada 1966, ia bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel menulis "Cornell Paper". Pa¬da saat itu, Ben mengira bahwa inti, ser¬dadu yang bergerak di lapangan menculik para jenderal adalah orang-orang Jawa.
Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu dengan Bungkus. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik berdarah Madura. Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.
Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Bungkus, adalah Dul Arief yang memimpin pasukan yang diberi sandi Pasopati. Dul Arief adalah serdadu berda¬rah Madura. Menurut Ben, Dul Arief adalah orang yang sangat dekat dengan Letkol (Infanteri) Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak di Benteng Raiders memerangi Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.
Perihal apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, diakui Letnan Ko¬lonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan, ternyata jawabannya men¬gagetkan: "Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo," kata Heru kepada Tempo.
Dalam paper Ben, anggota Cakra lain yang berdarah Madura adalah Pembantu Letnan Dua (Pelda) Djahurup. Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, menurut Letkol (Polisi Militer/Purnawi¬rawan) Suhardi, adalah orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, tapi kemudian diadangnya.
Setelah peristiwa 30 September dan 1 Oktober 1965, Lettu Dul Arief dan Pelda Djahurup hilang. Hanya Kopral Hardiono, anak buah Dul Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal tersebut. (Selamat Ginting), Sumber Koran: Republika (23 September 2013/Senin, Hal. 28)