Selasa, 1
Oktober 2013 01:02:00
Subuh 1 Oktober
1965, udara dingin masih membuat sebagian warga Jakarta enggan meninggalkan
tempat tidur mereka. Namun Mayor Subardi dan Mayor Sudarto sudah melaju dengan
mobil Fiat menuju Cijantung, Jakarta Timur.
Mayor Subardi
adalah ajudan Jenderal Yani. Dia baru menerima kabar buruk soal penembakan
Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah jenderal lain. Kedua perwira menengah itu
bingung dengan peristiwa yang terjadi dini hari tadi. Kenapa Jenderal Yani
ditembak? Siapa pelakunya? Dimana para jenderal yang katanya dijemput
Tjakrabirawa semalam?
Mayor Subardi
melapor pada Pangdam V Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma. Setelah itu menuju ke
Cijantung, markas Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Di sama mereka
menghadap Kepala Staf RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo pun masih
menggunakan piama, baru bangun tidur.
"Lapor,
perintah Pak Umar, RPKAD diperintahkan menutup jalan keluar Jakarta," kata
Mayor Supardi.
Kolonel Sarwo
Edhie, kawan lama Yani. Mereka sama-sama mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air
di zaman Jepang. Sarwo juga pernah menjadi komandan kompi di bawah batalyon
Yani di Jawa Tengah. Hubungan mereka cukup dekat.
Sarwo segera
sadar ada yang tidak beres. Tapi dia baru sadar pasukan RPKAD ada di Monas. Mengikuti
persiapan HUT ABRI ke-20 yang akan jatuh 5 Okober 1965. Pasukan RPKAD pergi
tanpa peluru, karena hanya akan berlatih upacara.
Maka Sarwo
segera memerintahkan Mayor CI Santosa, Komandan Batalyon 1 RPKAD menjemput
pasukan yang ada di Monas. Mayor Santosa juga diperintahkan membawa peluru
tajam untuk dibagikan pada pasukan.
Persiapan
penumpasan G30S tak melulu tegang dan seram. Banyak cerita unik di dalamnya.
Termasuk saat RPKAD kebingungan soal seragam.
Saat itu,
personel RPKAD tak banyak berada di Jakarta. Sebagian dikirim ke Kalimantan
dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Ada juga yang sedang berada di Irian.
Sebagian pasukan sudah dipersiapkan untuk menjadi sukarelawan Dwikora.
Kompi Tanjung
misalnya, pasukan RPKAD dari Kertasura Jawa Tengah ini direncanakan akan
diterjunkan di Kuching, Malaysia. Karena namanya pasukan sukarela, seluruh
atribut pasukan ABRI pun ditanggalkan. Tak ada identitas sama sekali, apalagi
baret merah RPKAD yang merupakan kebanggaan satuan ini. Semua ditinggalkan di markas.
"Kami semua
memakai pakaian hijau-hijau. Lengkap dengan topi rimba dan logo Tentara
Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Tak ada satu pun atribut ABRI yang boleh
dipakai. Surat-surat, baret, identitas, semua ditinggalkan di rumah," kata
Adi, seorang pensiunan RPKAD bercerita soal persiapan terjun ke Kalimantan.
Maka pagi 1
Oktober itu Letnan Satu Feisal Tanjung menerima briefing. Penerjunan mereka ke
Kuching dibatalkan. Pasukan dikembalikan ke kesatuan dan diberi tugas baru
mengejar penculik para jenderal.
Namanya tentara,
tugas baru sama sekali tak masalah. Yang jadi masalah justru pakaian seragam.
Kompi Tanjung tak membawa atribut RPKAD seperti pakaian tempur loreng darah
mengalir dan baret merah. Masak pasukan RPKAD harus berjalan di Jakarta dengan
pakaian Tentara Nasional Kalimantan Utara? Apa tidak aneh?
Maka Markas
Komando RPKAD membagikan jaket loreng darah mengalir pagi itu untuk Kompi
Tanjung. Masalahnya tak ada celana loreng. Terpaksa Kompi Tanjung menggunakan
jaket loreng darah mengalir khas RPKAD dengan celana hijau.
Agar sama,
Kolonel Sarwo Edhie memerintahkan semua personel RPKAD menggunakan perpaduan
pakaian yang tak lazim ini.
Kolonel Sarwo
tampak puas mengamati hasil kreasinya. "Bagus, mudah dikenali dari
kejauhan," kata Sarwo.
Sarwo tak sadar,
perpaduan jaket loreng dan celana hijau ini kemudian sempat jadi tren di
kalangan TNI. Pasukan Kostrad dan kavaleri kemudian bergaya serupa di kemudian
hari.
"Baju itu
sebenarnya baju darurat, tapi terus digunakan selama operasi penumpasan G30S.
Maka banyak anggota RPKAD yang menamakannya seragam menumpas G30S," kata
seorang anggota RPKAD.
Setelah masalah
pakaian dan seragam beres, Sarwo Edhie dan pasukannya bergerak ke Markas
Kostrad untuk melapor pada Mayjen Soeharto. Sesuai kebiasaan waktu itu, jika
Jenderal Yani berhalangan hadir, maka diwakili oleh Mayjen Soeharto.
Pagi di
Cijantung itu menjadi awal pukulan balik RPKAD untuk kekuatan G30S.
Reporter :
Ramadhian Fadillah