Penulis: Aditya Panji
Kamis, 24 Oktober
2013 | 10.51 WIB
BALI, KOMPAS.com - Kementerian
Pertahanan menjelaskan telah membeli program mata-mata intelijen FinFisher atau
juga dikenal dengan nama FinSpy seharga 5,6 juta dollar AS. Sejumlah kalangan
mengkhawatirkan program tersebut bakal disalahgunakan karena tak ada batasan
instansi pemerintah mana saja yang berhak memakainya.
FinFisher
adalah program pemantau jarak jauh yang dikembangkan oleh Gamma International
asal Inggris. Produk ini dipasarkan dan dijual eksklusif untuk penegak hukum
dan badan intelijen suatu negara.
Kepala
Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan, Brigadir Jenderal TNI Sisriadi
mengatakan, program itu akan digunakan oleh Badan Intelijen Strategis (Bais)
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sisriadi
mengklaim, bahwa program yang dibelinya bukanlah alat sadap, melainkan alat
anti-sadap. Pengadaan peralatan intelijen itu digunakan agar proses pertukaran
informasi antara Bais TNI dan kantor-kantor Atase Pertahanan RI di seluruh
dunia dapat berlangsung dengan aman.
Seperti
dilaporkan wartawan Kompas.com Aditya Panji, pakar hukum siber Megi Margiyono
dari Indonesia Online Advocacy, mengatakan, FinFisher ini adalah program
mata-mata (spyware) yang telah memenuhi standar militer. Ia berpendapat,
pemerintah harus memberi batasan untuk aktivitas apa saja program itu
digunakan.
“Ini
seperti membeli senjata, tapi tidak jelas mau digunakan untuk apa. Harus ada
standar operating procedure soal siapa saja yang boleh menggunakan itu? Lalu
siapa target yang akan dimata-matai?” tegas Megi, Rabu (23/10/2013),
Ia
berkisah, di negara Uni Emirat Arab, program ini disalahgunakan oleh
pemerintahnya sendiri. Alih-alih menjaga keamanan, justru FinFisher digunakan
untuk memata-matai aktivis, jurnalis, dan blogger yang kritis terhadap
pemerintah.
Menurutnya,
perlu ada perwakilan dari DPR, pakar hukum siber, dan aktivis hak asasi
manusia, yang melakukan audit terhadap teknologi mata-mata FinFisher di
Indonesia. “Jika tak ada audit, potensi penyalahgunaannya besar. Di Malaysia,
program ini digunakan untuk memantau Pemilu,” jelas Megi.
Sebelumnya,
lembaga riset The Citizen Lab di Universitas Toronto, Kanada, menemukan
keberadaan FinFisher di Indonesia pada Maret 2013. Program itu terdeteksi pada
alamat protokol internet (IP Address) pelanggan Telkom, Biznet, dan Matrixnet
Global.
Pihak
Telkom dan Biznet membantah adanya aksi mata-mata di jaringannya.
“Meskipun
Telkom dan Biznet membantah, tapi jelas saat kita melakukan testing, ternyata
FinFisher ada di sana. Pertanyaan tentang apakah FinFisher masih aktif atau
digunakan untuk apa, silakan tanyakan kepada penyedia jasa internet yang
bersangkutan,” kata Research Manager The Citizen Lab, Masashi Crete-Nishitata.
Saat
menghadiri Internet Governance Forum 2013 di Nusa Dua, Bali, Masashi mengatakan
bahwa pihaknya sedang menyiapkan dokumen latar belakang tentang FinFisher di
Indonesia.
The
Citizen Lab mencatat, program FinFisher terdeteksi di 25 negara. Selain
Indonesia, ia juga ada di Australia, Bahrain, Banglades, Brunei, Kanada, Ceko, Estonia,
Ethiopia, Jerman, India, Jepang, Latvia, Malaysia, Meksiko, Mongolia, Belanda,
Qatar, Serbia, Singapura, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Inggris, Amerika
Serikat, dan Vietnam. (Editor: Reza
Wahyudi)