KEMAJUAN industri tekstil dan garmen Indonesia tak sebatas di dunia fashion saja. Bahkan, Indonesia, dalam
hal ini PT Sritex di Sukoharjo, dipercaya membuat seragam militer bagi 30
negara di dunia. Mulai dari Indonesia, Jerman, NATO hingga Kosovo pakaian
militernya dibuat oleh PT Sritex. Tak hanya seragam militer, bahkan seragam tempur,
jaket, cover all, rompi, tenda,
sepatu, dan lain-lain.
"Sritex adalah perusahaan tekstil terpadu,
produknya mulai dari benang sampai dengan pakaian jadi.Untuk fashion paling banyak ekspor ke Amerika
Serikat, Eropa, Jepang, dan Amerika Latin. Untuk pakaian militer sudah 30
negara yang pesan, Indonesia yang pertama, Jerman dan NATO yang kedua, serta
yang ke-30 adalah negara Kosovo," ungkap Manajer Dyeing & Finishing PT Sritex, Rinekso Agung Wibowo.
Untuk proses pengerjaan, dilakukan secara parsial
atau per komponen. Artinya, satu tenaga kerja hanya bertugas membuat satu
proses pengerjaan. Misalnya, satu tenaga kerja mengerjakan pola saja, memasang
kancing baju saja, dan seterusnya. Memproduksi seragam harus lebih detail dan
disesuaikan dengan desain yang diminta masing-masing negara. Dengan demikian,
satu kali proses perlu ada guality
control.
'Team
research and development yang mengembangkan desain sesuai dengan keinginan
dan persyaratan pelanggan.Kelebihan pakaian Sritex adalah sesuai dengan
persyaratan pelanggan sehingga mencapai tingkat kepuasan pelanggan.Spesifikasi
untuk militer meliputi antiinfra merah, antiapi,antiair, antiinsect,
antipeluru, antiradiasi, menyerap keringat, dan antibakteri," tutur Agung
menjelaskan.
Secara umum, lanjut dia, proses produksi pakaian
militer hampir sama dengan produksi tekstil dan garmen, mulai dari pembuatan benang, kain grey, kain greyfor print,
lalu printing danfinishing menjadi garmen.
"Pada dasarnya, pakaian militer masing-masing
negara mempunyai tingkat kesulitan tersendiri.Namun, sejauh ini dengan semboyan
'Pasti Bisa', kita pun bisa melakukannya.Resin atau zat kimia yang digunakan
disesuaikan dengan spesifikasinya, misalnya, untuk antiair, kita gunakan fluorocarbon," ungkap Agung.
Enam desain pakaian militer buatan PT Sritex telah
dipatenkan di Dirjen HAKI.Satu di antara enam desain yang dipatenkan itu adalah
pakaian militer Indonesia. Negara-negara yang kebutuhan tekstil baik benang,
kain, maupun pakaian militernya dipasok oleh PT Sritex antara lain Indonesia,
Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Turki, Australia, Singapura, Uni Emirat
Arab, Arab Saudi, Kuwait, Brunei Darussalam, Malaysia, Selandia Baru, Tunisia,
Timor Leste, Papua New Guinea, dan anggota NATO. Hebatnya, pakaian militer
buatan Indonesia ini menjadi standar NATO.
Tekstil
tahan api
Menurut dosen Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil
Bandung, Nyimas Susyami Hitariyat atau yang akrab disapa Emi, untuk kain dari
serat alam atau sintetik, tidak ada yang memenuhi syarat sebagai kain tahan api
sehingga perlu dilakukan penyempurnaan pada kain berupa fire resisstant atau fire
retardant. "Namun, sekarang ada pengembangan serat seperti Kevlar,
Aramid, atau Nomex yang memang dibuat tahan api," tuturnya.
Serat aramid adalah kelas dari serat sintetik yang
kuat dan tahan panas.Nama aramid merupakan singkatan dari poliamida
aromatik.Mereka adalah serat yang rantai molekulnya sangat berorientasi
sepanjang sumbu serat sehingga kekuatan ikatan kimia dapat dimanfaatkan.Aramid
umumnya disusun oleh reaksi antara gugus amina dan sekelompok halida asam
karboksilat. Poliamida aromatik pertama kali diperkenalkan dalam aplikasi
komersial pada awal 1960-an, dengan serat aramid meta diproduksi oleh DuPont
Nomex.
"Selain itu, agar kain bisa tahan api, bisa
juga menggunakan THPC, amonium polifosfat, diamonium fosfat, metilol dimetil
fosfonopropionmida atau pyrovatex. Kalau untuk tekstil antiinfra merah itu
sifatnya kamuflase dengan memanfaatkan teknologi warna, kebanyakan zat warna
bejana." ungkap Emi.
Sementara itu, Agung mengatakan, dalam penyamaran
pasukan, sering digunakan pakaian dengan teknologi kamuflase yang dengan kasat
mata atau pencahayaan normal tidak akan terlihat musuh dan hanya bisa dilihat
menggunakan infra merah. "Oleh sebab itu, dikembangkan teknologi
antiinfra merah dengan cara mencari reflektansi cahaya dalam panjang gelombang
tertentu yang tidak bisa terdeteksi oleh infra merah," ungkapnya menjelaskan.
(Feby Syarifah), Sumber Koran: Pikiran
Rakyat (24 Oktober 2013/Kamis, Hal. 20)