Kamis, 24 Oktober
2013 06:04
Merdeka.com - Bicara isu kudeta
Prabowo Subianto seperti yang dilontarkan BJ Habibie dalam beberapa kesempatan,
termasuk dalam bukunya Detik-detik yang menentukan, tidak bisa lepas dari sosok
Wiranto. Ketika Prabowo menjabat Pangkostrad dengan pangkat Letjen, Wiranto
adalah atasannya Panglima ABRI (Pangab) berpangkat jenderal.
Dalam
kesaksiannya, pada 22 Mei 1998, Habibie menerima Wiranto di ruang kerja
presiden di Istana Merdeka. Saat itu Wiranto melaporkan bahwa pasukan Kostrad
dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta dan ada konsentrasi pasukan di
kediaman Habibie di Kuningan, begitu pula di Istana Merdeka. Jenderal Wiranto
lantas meminta petunjuk dari Habibie.
Mendengar
laporan tersebut, Habibie berkesimpulan Pangkostrad bergerak sendiri tanpa
sepengetahuan Pangab. Pergerakan itu pula yang menimbulkan beberapa pertanyaan
dalam diri Habibie: "Apakah ada skenario tersendiri mengenai laporan yang
baru saja disampaikan oleh Pangab?"
Saat
itu pula, Habibie menegaskan kepada Pangab agar mengganti Pangkostrad sebelum
matahari tenggelam. Kepada penggantinya, diharapkan pasukan di bawah komando
Pangkostrad kembali ke kesatuan masing-masing. Sejarah mencatat, saat itu
Pangkostrad baru yang dipilih adalah Letjen TNI Johny Lumintang sebelum 17 jam
kemudian digantikan Letjen TNI Djamari Chaniago.
Figur
Wiranto menjadi penting mengingat sosoknya yang ketika itu disebut memiliki
rivalitas dengan Prabowo. Muncul berbagai spekulasi bahwa momen itu adalah
kesempatan bagi Wiranto menyingkirkan Prabowo. Lantas seperti apa kesaksian
Wiranto soal peristiwa tersebut? Dia memaparkannya dalam bukunya "Bersaksi
di Tengah Badai."
Wiranto
mengakui mendapat laporan secara lengkap tentang aktivitas Pangkostrad Letjen
TNI Prabowo pada saat-saat kritis. "Bahkan, saya telah mendapat informasi
mengenai pertemuannya dengan Wakil presiden BJ Habibie dan pertemuannya dengan
Amien Rais serta Gus Dur maupun dengan tokoh-tokoh lainnya. Bagi orang awam,
barangkali hal itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh," tulis Wiranto.
"Namun,
di dalam kehidupan militer, kegiatan semacam itu jelas tidak dapat dibenarkan,
karena menyalahi aturan. Seharusnya Pangkostrad berorientasi pada wilayah,
tugas, dan tanggung jawabnya sebagai Pangkostrad yang menggerakkan pasukan atas
perintah Panglima ABRI. Bukan ke sana kemari ngurusin masalah politik dan
kenegaraan. Walaupun hal itu dilakukan, harus sepengetahuan pimpinan, bukan
atas kehendak sendiri dan sama sekali tidak melaporkan kepada atasan."
Wiranto
juga menceritakan, satu hal yang benar-benar tidak masuk di akal adalah pada
malam hari tanggal 16 Mei 1998, sekitar 22.30 WIB. "Saya mendapat
informasi bahwa Pangkostrad menghadap presiden di kediaman, untuk melaporkan
bahwa Menhamkan/Pangab telah berkhianat terhadap presiden yang berarti telah
berkhianat terhadap pemerintah yang sah. Hal ini benar-benar sudah keterlaluan
dan merupakan suatu pemanfaatan dari suatu situasi yang tengah kacau dan tidak
menentu dengan suatu arah yang jelas, yaitu penyingkiran. Oleh karena itu, pada
pagi hari tanggal 17 Mei 1998, di Jalan Cendana No 6, disaksikan oleh Kasad
Jenderal TNI Soebagio HS dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin saya
memberikan teguran keras kepada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto atas
apa yang dilakukannya yang saya anggap di luar kepatutan. Terutama mengenai apa
yang telah diperbuatnya pada saat menghadap presiden.
Begitulah
Wiranto bercerita tentang Prabowo pada momen penting pergantian kekuasaan 1998.
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari cerita itu adalah aroma rivalitas
keduanya.
Wiranto
sendiri tidak pernah terus terang isu rivalitasnya dengan Prabowo. "Kalau
kita dekati dari sisi pangkat dan jabatan, saya sudah menyandang pangkat dan
jabatan puncak dalam organisasi ABRI, kemudian menganggap bawahan saya menjadi
pesaing, lalu bersaing untuk apa lagi?" begitu alasan Wiranto.
Dalam
pertarungan Konvensi Presiden Partai Golkar 2003, ketika itu Wiranto
mengalahkan Prabowo. Wiranto sempat bertemu dan menyalami Prabowo. Keduanya
tertawa lepas.
Namun,
kesan damai itu hanya "sesaat". Kini, keduanya kembali terlibat dalam
rivalitas secara politik. Prabowo mengendalikan partainya Gerindra, sementara
Wiranto menjadi nakhoda Hanura. Pertarungan jenderal cemerlang yang pernah
dilahirkan TNI itupun masih akan terus berlanjut. [ian]
Kesaksian Wiranto
soal aksi Prabowo pada 1998