Kamis, 24 Oktober
2013 | 16:28 WIB
HONGKONG, KOMPAS.com — Sebuah lembaga
pengamat HAM yang bermarkas di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC),
menyatakan, militer Indonesia menggunakan helikopter-helikopter bantuan
Australia dan pesawat tempur dari Amerika Serikat (AS) untuk membantai warga Papua
pada dekade1970-an.
Dalam
laporan AHRC disebutkan, sejumlah petinggi militer Indonesia bertanggung jawab
atas pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan lebih dari 4.000 orang penduduk
Papua pada akhir 1970-an.
Termasuk
dalam daftar mereka yang bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM
adalah mantan Presiden Soeharto.
Laporan
ini berjudul "The Neglected
Genocide-Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands,
1977-1978" (Pembantaian yang
Terabaikan-Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah,
1977-1978).
Laporan
tersebut mencatat kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa
operasi militer di sekitar daerah Wamena dalam rangka menyikapi usaha mencapai
kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.
ARHC
mengadakan kunjungan lapangan, mewawancara sejumlah saksi, dan memeriksa
catatan sejarah. Badan ini telah mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan
dibunuh militer Indonesia dan menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat
penyiksaan, penyakit, dan kelaparan berbuntut kekerasan tersebut bisa jadi
lebih dari 10.000 orang.
Laporan
ini menyatakan warga Papua di daerah pedalaman tengah menjadi korban pengeboman
dan penembakan dari udara, yang terkadang dilakukan militer menggunakan pesawat
yang dipasok Australia dan Amerika Serikat.
Dalam
salah satu gambaran kejadian, penduduk desa di daerah Bolakme diberi tahu akan
mendapat bantuan dari Australia yang dijatuhkan dari atas, tetapi justru
kemudian dibom menggunakan pesawat dari Amerika.
Laporan
ini juga mengandung gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan
hidup-hidup para pendukung gerakan kemerdekaan. Sejumlah laporan menyebut warga
Papua dipaksa melakukan kegiatan seks depan umum, dan terjadi pemotongan
payudara serta anak-anak tewas dipenggal.
Basil
Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan pada ABC bahwa
tindakan-tindakan semacam itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida.
Sebanyak
10 orang komandan dan petugas senior militer Indonesia disebut sebagai yang
bertanggung jawab karena memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang
dilakukan berbagai batalyon.
Menurut
Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut, beberapa di
antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. Laporan ini
menyerukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar
masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran
HAM di Papua. (Sumber : ABC Australia
& Editor : Ervan Hardoko)