Tuntutan TNI untuk profesional adalah keniscayaan.Tantangan
kepemimpinan TNI saat ini adalah membangun TNI yang profesional, yaitu ahli di
bidangnya, disiplin, bertanggung jawab, dan berjiwa korsa yang tepat.Tentu
saja semua itu tidak mudah.
Semangat seperti itu terlihat saat Kepala Staf TNI
Angkatan Darat Jenderal Budiman bercakap-cakap dengan para Bintara Pembina
Desa (Babinsa) dan perwira dari Bandung dan sekitarnya, pertengahan Oktober lalu.
Di depan mereka, Budiman memulai dengan kebijakan politik, yaitu UUD 1945 dan
UU No 34/2004 tentang TNI.
Budiman lalu memaparkan mengenai cetak biru TNI AD
sekitar 20 tahun lagi.Ada satu kebiasaan di TNI AD dari atas sampai ke bawah
yang mengubah kebijakan begitu pimpinan berganti.Akibatnya, setiap pimpinan
membuat kebijakan sendiri.Hasilnya, TNI AD yang warna-warni. "Ke depan,
organisasi TNI AD harus berdasarkan sistem, bukan orang, dan transparan,"
ujarnya.
Dalam percakapan dengan beberapa perwira menengah
yang menjadi komandan satuan di TNI AD, pernyataan Budiman diharapkan bisa
dilaksanakan.Sebab, masih banyak masalah, misalnya dalam mobilitas vertikal.Walau
secara formal ada parameter yang jelas untuk naik pangkat atau jabatan, jargon
"siapa kenal siapa" atau "siapa dibawa siapa" masih
terlalu dominan."Anak-anak jenderal atau purnawirawan jenderal punya
jalur setan.Tahu-tahu sudah di atas saja," kata seorang tentara berpangkat
mayor.
Namun, tentara yang berhadapan langsung dengan
masyarakat justru tentara berpangkat rendah. Peristiwa menarik terjadi dalam
pertemuan dengan para Babinsa sehingga KSAD pun membatalkan agenda lain demi
bisa mendengar keluh kesah anggotanya yang rata-rata berpangkat sersan itu.
Budiman mengajukan sejumlah pertanyaan, seperti
"Berapa jumlah warga di desa kamu?", "Berapa jumlah perempuan dan
laki-laki?", "Berapa banyak keluarga siswa Seskoad yang mengontrak?"Tentara
yang ditanya tak ada yang bisa menjawab secara benar. Sampai-sampai Budiman
menyuruh mereka push up di ruangan.
Dalam dialog terlihat juga bahwa pemahaman Babinsa
mengenai pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) belum cukup jelas.
Hal itu terlihat dari belum jelasnya para bintara itu tentang pembagian tugas
Polri dan TNI di lapangan.Ketidakjelasan menimbulkan kegamangan.Seorang
prajurit bertanya, bagaimana jika ada masyarakat yang meminta tolong soal
keamanan."Harus dibantu.Kalau kamtibmas ajak ke polisi, kalau
pemerintahan ajak ke kepala desa," kata Budiman.
Fenomena tentara profesional tak lepas dari
konteks masyarakatnya.Berpuluh-puluh tahun masyarakat Indonesia, terutama di
desa, berharap pada tentara, mulai dari mengawinkan anak sampai pada kambing
hilang.Berpuluh-puluh tahun juga Babinsa menjadi alat politik Orde Baru.Hal
ini harus diubah.Apalagi, saat ini terjadi perang generasi keempat yang kabur
dan melibatkan politik serta aktor-aktor non negara bahkan nonmiliter.
Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan,
profesionalisme seharusnya didahului kebijakan politik. Dalam militer berlaku
adagium "politik tentara adalah politik negara", yang artinya TNI
tidak bisa mengambil tindakan terlalu jauh.Yang jadi masalah adalah kalau
pemerintahnya tidak kunjung peduli."Bayangkan, sampai sekarang UU TNI No
34/2004 itu belum ada turunan PP-nya," kata Ikrar.
Dengan turunan regulasi itu, TNI bisa membuat panduan
yang lebih praktis.Untuk Babinsa, misalnya, perlu diberi pengetahuan mengenai
komunikasi dan bagaimana relasi dengan aparat lain, yang bisa dicantumkan
dalam buku saku mereka.Demikian juga kebutuhan data yang harus dikuasai,
seperti data demografis."Babinsa itu tugasnya cukup berat dan rinci.Dia
misalnya harus tahu, satu keluarga itu biasanya beli beras berapa banyak.Kalau
ternyata bulan ini lebih, itu kenapa? Ada kondangan atau ada aktivitas lain
apa?" kata Ikrar.
Sebagai satuan paling rendah yang berhadapan dengan
masyarakat, Babinsa adalah ujung tombak sistem pertahanan.Jalan menuju
profesionalisme TNI ibarat jalan pedang samurai.Berat, sulit, dan butuh banyak
pengorbanan. Namun, pada akhirnya manis rasanya, untuk TNI dan terutama rakyat.(EDNA C PATTISINA), Sumber Koran: Kompas
(24 Oktober 2013/Kamis, Hal. 05)