Senin, 09 September 2013

Kisah Ajudan SBY Menapak Karier di TNI



Minggu, 08 September 2013, 01:18 WIB          

REPUBLIKA.CO.ID,Pengaderan melalui jabatan ajudan presiden telah dipersiapkan selama lima tahun. Mereka akan memimpin TNI/Polri menjelang pergantian kepemimpinan nasional 2014. Siapa saja mereka?

September menjadi bulan yang penting bagi sang jenderal. Bukan saja karena merupakan bulan kelahirannya, melainkan juga sebagai bulan mempersiapan diri menuju era lengser keprabon. Antara lain, pada 2013 ini, pria kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949, itu mempersiapkan acara khusus untuk mencari calon pemimpin bangsa melalui ‘audisi’ yang diberi judul: konvensi calon presiden Partai Demokrat.

Pada 20 Oktober 2014, era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berakhir. Karena dalam konstitusi telah dibatasi masa jabatan, hanya boleh hingga dua periode. Ia telah dua kali menjadi presiden, melalui pemilihan presiden secara langsung pada periode 2004-2009 dan 2009-2014.

Ya, seperti September 2003, benar-benar menjadi titik konsentrasi Jenderal Purnawirawan Yudhoyono. Saat itu sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, ia mulai mempersiapkan diri menjadi calon presiden. Diawali dengan ‘diam-diam’ menjadi bidan kelahiran Partai Demokrat, dua tahun sebelumnya. 

Partai Demokrat didirikan atas inisiatif SBY yang terilhami oleh kekalahannya pada pemilihan calon wakil presiden dalam Sidang MPR 2001. Ia kalah dari Hamzah Haz karena tidak memiliki partai. Hamzah dari PPP akhirnya yang menjadi wakil presiden, mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri dari PDIP yang menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid dari PKB ‘yang dilengserkan’ oleh MPR yang dipimpin Amien Rais dari PAN.

Kelihaian SBY dalam berpolitik untuk menjadi presiden, benar-benar mengganggu Presiden Megawati. Putri proklamator Bung Karno itu merasa bahwa tindakan menterinya menjadi rivaliltas yang tidak pas sebab masih berada dalam kabinet. Sang suami presiden, Taufiq Kiemas, pun berang dengan gerakan ‘intelijen’ SBY sehingga mengeluarkan kalimat yang menyerang pada Maret 2004. “Jenderal bintang empat seperti anak kecil.”

Maksud Taufiq supaya SBY meminta izin sebagai etika politik kepada Presiden Megawati jika memiliki keinginan menjadi presiden periode 2004-2009. Pernyataan Taufiq itu malah menjadi blunder bagi kubu Megawati dan SBY diuntungkan karena dianggap ‘dizalimi’. Akhirnya, Yudhoyono memang mundur sebagai Menko Polkam. Di situ, ia mendapatkan simpati publik yang tecermin dari dukungan melalui survei yang perlahan-lahan mengungguli popularitas Presiden Megawati.

Bahkan akhirnya, melalui bendera Partai Demokrat, ia betul-betul menjadi presiden pilihan rakyat mengungguli nama-nama yang tak kalah populer, seperti Megawati dari PDIP, Amien Rais dari PAN, Wiranto dari Golkar, dan Hamzah Haz dari PPP. Saat itu, SBY didampingi wakil presiden Jusuf Kalla dari Golkar.

Kini, seperti cerita tahun-tahun persiapan menjadi presiden, ia pun mempersiapkan diri menjelang lengser menjadi presiden. Salah satunya, selain mempersiapkan kader melalui Partai Demokrat, ia juga berkonsentrasi mempersiapkan kader di lembaga almamaternya, ABRI, yang kini menjadi TNI dan Polri.

Caranya, sejak 2004, saat menjadi presiden, Yudhoyono mempersiapkan ajudan yang mendampinginya selama satu periode kepresidenan. Selama lima tahun, 2004-2009, Kolonel (Infanteri) Muhammad Munir, Kolonel Laut (Pelaut) Didit Herdiawan, Kolonel (Penerbang) Bagus Puruhito, dan Komisaris Besar (Polisi) Putut Eko Bayu Seno, menjadi ajudan Presiden SBY. Mereka disiapkan untuk memimpin lembaga TNI/Polri 10 tahun ke depan, yakni 2014. Kini, mereka dalam posisi jabatan persiapan. (Reporter : Selamat Ginting & Redaktur : M Irwan Ariefyanto)