MINGGU dini hari (15/9), sekitar pukul 01.00 WIB. Hening menyelimuti kawasan di kaki Gunung Sinabung. Udara yang dingin membuat warga sekitar enggan keluar kampung. Mereka memilih tidur di rumahnya. Namun, keheningan malam itu terusik oleh lolongan anjing yang bersahutan.
Sekitar pukul 02.51 WIB, angin yang tadinya berhembus semilir, tiba-tiba menjadi kencang. Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh. Rumah-rumah warga bergetar. Suasana menjadi mencekam. Mereka tersentak dari tidurnya. Warga ketakutan. Berhamburan keluar rumah, sambil menatap ke atas puncak Gunung Sinabung yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumah penduduk.
"Lah, enggo ndarat nondong ndai. Nen min, ngo mbue asapna ndarat. Ih nggo gawat kap e, batu ras apina pe nggo ndarat (Sudah keluar nondong itu. Tengoklah asapanya pun banyak keluar. Sudah gawatlah ini, baru dan api sudah keluar dari kepunden gunung)," ujar Nondong (nenek) Pinem Beru Karo, warga Desa Bekerah, dengan logat Karo ketika melihat Gunung Sinabung mengeluarkan api dan batu vulkanik.
Bersama ribuan penduduk lainnya, Nondong Karo lalu menjauh. Sebagian berjalan kaki, sebagian lagi menaiki kerbau yang dipasang gerobak dan tempat duduk pada bagian belakangnya. Ada juga yang menaiki kuda peliharaannya sambil menggendong sedikit makanan dan pakaian hangat. Mereka bergegas ke Kota Berastagi, Kabupaten Karo, untuk mengungsi. Menghindari semburan asap Gunung Sinabung.
Di tengah jalan, truk yang biasa mengangkut sayur-mayur berhenti. Sang pengemudi lalu memberikan tumpangan kepada warga. Jumlah warga yang mengungsi bertambah seiring makin aktifnya letusan Gunung Sinabung. Mereka yang tinggal dalam radius tiga kilometer dari kaki gunung itu berasal dari tiga desa yakni Simacem, Bekerah (Kecamatan Naman Teran) dan Suka Meriah (Kecamatan Payung).
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, "batuk" Gunung Sinabung tak juga berhenti. Abu vulkanik terus menyembur hingga abunya menutupi pepohonan, perkebunan, dan'rumah warga. Debu vulkanik juga terbang dibawa angin dingin hingga ke Kota Brastagi, yang jaraknya mencapai 25 kilometer. Nondong Karo, bersama 500 lebih warga Desa Bekerah, mengungsi di Jambur Sempakata, Berastagi. Ini untuk kali ke¬duanya mereka mengungsi karena peristiwa serupa pernah terjadi pada 2010 lalu. Tahun lalu, Gunung Sinabung juga pernah mengeluarkan debu vulkanik, meski tidak begitu besar. "Ladang kami lagi panen ini anakku, ditinggalah dulu sementara. Dua hari ini kalau sudah aman, pulanglah kami ke desa," kata Nondong Karo, sambil memperbaiki suntil sirih yang dikunyahnya.
Desa Bekerah, Gambir, dan beberapa desa lainnya, kini sepi. Bak desa mati yang ditinggal pergi penghuninya. Perkebunan miliki warga seperti wartel yang siap panen, terong, dan cabai, tertutup debu vulkanik. Kicau burung yang biasa terdengar merdu, tidak ada terdengar. Ternak warga pun dibawa keluar desa guna mengantisipasi jika Gunung Sinabung meletus lebih dahsyat lagi.
Senin pagi (16/9), situasi Gunung Sinabung masih terus mengeluarkan debu vulkanik. Pemerintah Kabupaten Karo, bersama tim SAR gabungan TNI-Polri, BNPB, dan aparatur desa melakukan penyisiran di 11 desa yang dekat dengan Gunung Sinabung. Pintu masuk menuju tiga desa yang paling dekat dengan Gunung Sinabung, sudah ditutup dan warga dilarang melintasi guna menghindari jatuhnya korban jiwa.
Apalagi, PVMBG telah menaikkan status Gunung Sinabung dari Waspada (level II) menjadi Siaga (Level III) terhitung mulai Minggu (15/9) pukul 03.00 WIB. Karena status Siaga (Level III), jumlah pengungsi pun terus bertambah.
Pemerintah Kabupaten Karo bersama Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, tengah menyiapkan lokasi pengungsian lengkap dengan logistik dan selimut hangat buat anak-anak dan orang tua. Tim medis dan obat-obatan juga disiapkan.
Bupati Kabupaten Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti mengatakan, karena kondisi cuaca dingin dan hujan, pihaknya sudah menyiapkan sedikitnya 2.000 kain selimut ke pengungsi. Dia juga memastikan, jumlah bantuan akan terus ditambah. "Kami terus berupaya memberikan yang terbaik untuk rakyat Karo. Yang pa-ling utama adalah menjaga kesehatan dan tempat istirahat nyaman. Pendataan terus dilakukan," ungkapnya di lokasi pengungsian Jambur Sempakata, Berastagi. (M. Heri Surbakti), Sumber Koran: Sinar Harapan (16 September 2013/Senin, Hal. 02)