Senin, 02 September 2013

DR TERAWAN AGUS PUTRANTO, SP RAD (K): Menyembuhkan dengan Cuci Otak



SEORANG pria setengah baya terbaring di meja operasi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Pada bagian terbuka di pangkal pahanya, alat kateter kemudian dimasukkan dan didorong hingga ke otak.

"Anda boleh menyebutnya 'cuci otak', brain spa atau se­perti Dahlan Iskan bilang, yakni pembersihan gorong-gorong otak," ujar Terawan Agus Putranto kepada Media Indonesia, Senin (26/8), di ru­ang operasi itu.

Terawan adalah dokter yang memimpin teknik 'cuci otak' (brain wash) itu atau dalam bahasa medis adalah teknik digital substraction angiography (DSA). Dengan teknik yang dikembangkannya sejak 2004 itu dokter spesialis radiologi in­tervensi ini telah menyembuh­kan ribuan penderita stroke, ringan ataupun berat.

Pasiennya datang dari dalam dan luar negeri, dari orang biasa hingga pejabat negara. Dari banyak testimoni pasien, salah satu keunggulan teknik dari dokter berpangkat briga­dir jenderal itu adalah pena­nganan yang terlihat seder­hana dan cepat.

Seperti yang dituturkan Dahlan Iskan kepada Liputan6. com, ia hanya diberi bius lokal sehingga tetap sadar selama operasi. Menteri BUMN itu menghitung proses 'cuci otak' di otak kanannya hanya ber­langsung delapan menit.

Pada 13 Agustus lalu, Terawan yang masuk Tim Dok­ter Kepresidenan sejak 2009 dianugerahi Bintang Mahaputera Nararya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika tidak melayani konsultasi atau operasi, Terawan sibuk terbang ke berbagai negara, terutama China, tentang teknik yang bahkan belum dikem­bangkan di negara lain ini.

Tumpuan yang sering terabaikan

Terawan yang lahir di Yog­yakarta, 49 tahun lalu, ber­cita-cita menjadi dokter sejak kecil. Namun, jalan hidup membawanya bukan sebagai dokter biasa.

Lulus dari Fakultas Kedok­teran Universitas Gadjah Mada, Terawan terjun sebagai dokter militer. Di Angkatan Darat, Terawan bertugas di berbagai daerah, termasuk Bali dan wi­layah yang kini menjadi Timor Leste.

Minatnya ke bidang radi­ologi justru datang setelah melihat bahwa bidang ini masih belum berkembang di Indonesia. Radiologi merupa­kan spesialisasi kedokteran yang terkait dengan penerapan teknologi pencitraan untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit. Terawan kemudian mengambil spesialisasi bidang radiologi di Fakultas Kedok­teran Universitas Airlangga, Surabaya. Terawan juga memiliki mi­nat tinggi pada penanganan dan pengobatan otak. Alasan­nya tidak jauh beda dengan ke­tertarikannya pada radiologi.

"Otak adalah benda kecil yang jadi tumpuan hidup kita, namun sering diabaikan," tukasnya.

Terawan menuturkan bahwa jika otak mengalami kerusak­an, berbagai fungsinya yakni sebagai pengatur motorik, sensorik, daya ingat, emosi, sampai kecerdasan pun akan terganggu. "Jika yang mati jiwanya, tinggal dikubur sele­sai sudah. Tapi kalau otaknya yang mati, hidupnya juga mati. Dia akan terpisah dengan banyak hal, putus hubungan kerja, retaknya rumah tangga, sampai kehilangan kontak de­ngan kehidupan sosialnya," tuturnya.

Bagaimana fungsi otak bisa terus optimal, pertanyaan ini­lah yang mengantar Terawan mengembangkan metode 'cuci otak'.

Sejak 2007, Terawan juga mengembangkan Cerebrovascular Center di RSPAD Gatot Soebroto. Pada Maret lalu, pusat penanggulangan keru­sakan otak itu diresmikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

Terawan menuturkan bahwa melalui pusat penanggulangan itu institusinya juga mendidik masyarakat seperti dokter, dosen, dan mahasiswa kedok­teran dari berbagai daerah. "Tujuannya agar ilmu ini tidak eksklusif," ujarnya.

Kontroversi

Tidak hanya pujian, metode 'cuci otak' yang dikembangkan Terawan juga dipertanyakan. Beberapa pihak memperta­nyakan metode yang diang­gap belum ilmiah dan menilai bahwa metode itu tidak dilaku­kan ahlinya. Ada pula pihak dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia yang mempertanyakan keabsahan metode 'cuci otak'.

Terkait berbagai pertanyaan tersebut Terawan pun me­mahami karena menyadari bahwa metode itu masih asing bagi banyak orang. "Saya su­dah keliling dunia dan ternya­ta memang belum ada yang mengembangkannya. Saya belajar ke banyak tempat un­tuk menganalisis seperti apa perkembangan ilmu radiologi intervensi," tutur Terawan.

Di sisi lain Terawan juga tidak ingin terjebak dalam perdebatan mengenai metode­nya. "Untuk apa saya menang­gapi orang yang tidak tahu ilmunya? Ini memang bidang saya, radiologi intervensi. Kata siapa dalam operasi saya sendiri? Saya ajak dokter syaraf sampai ahli anastesi," katanya santai.

Bagi Terawan hasil yang didapat para pasiennya sudah menjadi jawaban bagi kera­guan berbagai pihak. Meski begitu, ia juga tampak tidak ingin jumawa dengan meng­klaim keberhasilan.

"Kalau berhasil atau tidak itu standarnya beda-beda. Yang stroke sudah bisa menggerak­kan tangan bagi dokter luar biasa, tapi kan pasien maunya bisa nonjok," ujar Terawan sambil tertawa. (M-4 & Khalidah Nizma Fritz), Sumber Koran: Media Indonesia (02 September 2013/Senin, Hal. 14)