SEORANG pria setengah baya
terbaring di meja operasi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Pada bagian terbuka di
pangkal pahanya, alat kateter kemudian dimasukkan dan didorong hingga ke otak.
"Anda boleh menyebutnya 'cuci
otak', brain spa atau seperti Dahlan
Iskan bilang, yakni pembersihan gorong-gorong otak," ujar Terawan Agus
Putranto kepada Media Indonesia, Senin (26/8), di ruang operasi itu.
Terawan adalah dokter yang
memimpin teknik 'cuci otak' (brain wash)
itu atau dalam bahasa medis adalah teknik digital substraction angiography (DSA). Dengan teknik yang dikembangkannya
sejak 2004 itu dokter spesialis radiologi intervensi ini telah menyembuhkan
ribuan penderita stroke, ringan ataupun berat.
Pasiennya datang dari dalam dan
luar negeri, dari orang biasa hingga pejabat negara. Dari banyak testimoni
pasien, salah satu keunggulan teknik dari dokter berpangkat brigadir jenderal
itu adalah penanganan yang terlihat sederhana dan cepat.
Seperti yang dituturkan Dahlan
Iskan kepada Liputan6. com, ia hanya diberi bius lokal sehingga tetap sadar
selama operasi. Menteri BUMN itu menghitung proses 'cuci otak' di otak kanannya
hanya berlangsung delapan menit.
Pada 13 Agustus lalu, Terawan yang
masuk Tim Dokter Kepresidenan sejak 2009 dianugerahi Bintang Mahaputera Nararya
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika tidak melayani konsultasi atau
operasi, Terawan sibuk terbang ke berbagai negara, terutama China, tentang
teknik yang bahkan belum dikembangkan di negara lain ini.
Tumpuan yang sering terabaikan
Terawan yang lahir di Yogyakarta,
49 tahun lalu, bercita-cita menjadi dokter sejak kecil. Namun, jalan hidup
membawanya bukan sebagai dokter biasa.
Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada, Terawan terjun sebagai dokter militer. Di Angkatan Darat, Terawan
bertugas di berbagai daerah, termasuk Bali dan wilayah yang kini menjadi Timor
Leste.
Minatnya ke bidang radiologi
justru datang setelah melihat bahwa bidang ini masih belum berkembang di
Indonesia. Radiologi merupakan spesialisasi kedokteran yang terkait dengan
penerapan teknologi pencitraan untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit.
Terawan kemudian mengambil spesialisasi bidang radiologi di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya. Terawan juga memiliki minat tinggi pada
penanganan dan pengobatan otak. Alasannya tidak jauh beda dengan ketertarikannya
pada radiologi.
"Otak adalah benda kecil yang
jadi tumpuan hidup kita, namun sering diabaikan," tukasnya.
Terawan menuturkan bahwa jika otak
mengalami kerusakan, berbagai fungsinya yakni sebagai pengatur motorik,
sensorik, daya ingat, emosi, sampai kecerdasan pun akan terganggu. "Jika
yang mati jiwanya, tinggal dikubur selesai sudah. Tapi kalau otaknya yang
mati, hidupnya juga mati. Dia akan terpisah dengan banyak hal, putus hubungan kerja,
retaknya rumah tangga, sampai kehilangan kontak dengan kehidupan
sosialnya," tuturnya.
Bagaimana fungsi otak bisa terus
optimal, pertanyaan inilah yang mengantar Terawan mengembangkan metode 'cuci
otak'.
Sejak 2007, Terawan juga
mengembangkan Cerebrovascular Center
di RSPAD Gatot Soebroto. Pada Maret lalu, pusat penanggulangan kerusakan otak
itu diresmikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Terawan menuturkan bahwa melalui
pusat penanggulangan itu institusinya juga mendidik masyarakat seperti dokter,
dosen, dan mahasiswa kedokteran dari berbagai daerah. "Tujuannya agar
ilmu ini tidak eksklusif," ujarnya.
Kontroversi
Tidak hanya pujian, metode 'cuci
otak' yang dikembangkan Terawan juga dipertanyakan. Beberapa pihak mempertanyakan
metode yang dianggap belum ilmiah dan menilai bahwa metode itu tidak dilakukan
ahlinya. Ada pula pihak dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia yang
mempertanyakan keabsahan metode 'cuci otak'.
Terkait berbagai pertanyaan
tersebut Terawan pun memahami karena menyadari bahwa metode itu masih asing
bagi banyak orang. "Saya sudah keliling dunia dan ternyata memang belum
ada yang mengembangkannya. Saya belajar ke banyak tempat untuk menganalisis
seperti apa perkembangan ilmu radiologi intervensi," tutur Terawan.
Di sisi lain Terawan juga tidak
ingin terjebak dalam perdebatan mengenai metodenya. "Untuk apa saya
menanggapi orang yang tidak tahu ilmunya? Ini memang bidang saya, radiologi
intervensi. Kata siapa dalam operasi saya sendiri? Saya ajak dokter syaraf
sampai ahli anastesi," katanya santai.
Bagi Terawan hasil yang didapat
para pasiennya sudah menjadi jawaban bagi keraguan berbagai pihak. Meski
begitu, ia juga tampak tidak ingin jumawa dengan mengklaim keberhasilan.
"Kalau berhasil atau tidak
itu standarnya beda-beda. Yang stroke sudah bisa menggerakkan tangan bagi
dokter luar biasa, tapi kan pasien maunya bisa nonjok," ujar Terawan
sambil tertawa. (M-4 & Khalidah
Nizma Fritz), Sumber Koran: Media Indonesia (02 September 2013/Senin, Hal. 14)