Belum sepekan peristiwa penembakan Aipda (Anumerta) Sukardi di depan gedung KPK pada Selasa (10/9), kewaspadaan yang dititahkan pimpinan Polri kembali jebol dengan kasus penembakan Briptu Ruslan Kusuma di Cimanggis, Depok, Jumat (13/9). Rentetan aksi penembak misterius (petrus) terhadap anggota Bhayangkara tersebut menimbulkan keprihatinan terhadap institusi Polri sebagai pengemban kamtibmas.
Dengan berbekal teori kemungkinan, spekulasi pun berseliweran di ruang publik tentang siapa dan mengapa petrus menjadikan Polri sebagai target sasaran. Pada fase awal, sebagian besar hasil spekulasi tentang aktor di balik prahara Bhayangkara belakangan ini terarah kepada kelompok teroris.
Polri melalui Densus 88 difatwakan oleh inspirator teroris sebagai musuh yang harus dihancurkan lantaran sejumlah anggotanya gugur atau dipenjarakan. Namun, prasangka ini mulai tertimbun dengan munculnya hipotesis baru, yang lebih mengerucut pada motif balas dendam akibat perebutan lahan bisnis antara Polri dan TNI, Polri dan entitas lain, atau sesama anggota Polri sendiri.
Tidak dapat disangkal jika proses keterpisahan TNI-Polri sebagai buah reformasi telah menimbulkan rangkaian efek destruktif. Sebab, konsekuensi dari proses itu memosisikan TNI harus kem¬bali ke barak untuk peduli pada tupoksi pertahanan negara.
Tak hanya itu, berbagai aktivitas bisnis yang pernah dikelola TNI juga harus dilepas dan diserahkan kepada kalangan sipil demi memenuhi tuntutan publik yang mengharamkan TNI terlibat dalam kegiatan bisnis apa pun. Akibatnya, ruang-ruang kosong yang ditinggalkan TNI tersebut dijamah oleh berbagai kalangan, termasuk Polri sendiri.
Sebutlah tugas pengamanan sentra-sentra usaha atau pengawalan mobilitas kepentingan bisnis yang dulu dapat diperankan oleh anggota TNI dengan fee yang cukup menggiurkan, kini lahan tersebut hampir dimonopoli oleh oknum Bhayangkara.
Tak hanya itu, dengan kewenangan Polri sebagai penegak hukum, sejumlah oknum personel Bhayangkara dari semua tingkatan dikabarkan mempunyai rekening "gendut". Sebagian kekayaan itu diperoleh murni dari aktivitas bisnis, seperti Iptu Labora Sitorus dengan rekening mencapai Rp 1 triliun lebih, sebagian lagi dicaplok dari hasil korupsi dan gratifikasi, seperti Irjen Djoko Susilo dan Komjen Suyitno Landung.
Namun, yang sangat tragis jika rangkaian kemewahan yang dinikmati tersebut diperoleh melalui penyalahgunaan jabatan berupa pemerasan, pungli, hingga praktik jual beli perkara yang ditanganinya. Semua ini merupakan potret buram yang dicitrakan pasukan Bhayangkara pascareformasi sebagai pemicu dan pemacu perasaan iri hingga dendam dan pihak lain, termasuk oknum TNI.
Ironisnya, serangkaian 'musibah' tersebut tak sedikit pun menginspirasi petinggi Polri untuk menjadikannya sebagai momentum introspeksi dengan mempermantap proses pembenahan secara menyeluruh demi mewujudkan profesionalisme Polri. Presiden pun sebagai atasan Kapolri, beserta segenap elite penyelenggara negara lainnya, justru memprovokasi Polri dengan berbagai ide yang berbau konfrontatif.
Mulai gagasan pembekalan rompi yang menyerap anggaran sangat besar dari uang rakyat, hingga dibolehkannya anggota Polri membawa senjata api dengan dalih pembelaan diri. Hal ini rawan disalahgunakan untuk berbagai tindakan kriminal dan kekerasan. Namun, ide yang paling konyol adalah imbauan kepada TNI agar turun tangan membantu menghadapi aksi teror yang menimpa Polri.
Semua itu terkesan memelihara, bahkan mensponsori keberlanjutan konflik tanpa sedikit pun melihat endapan borok Polri yang justru menjadi main trigger meningkatnya resistensi terhadap Polri. Tengoklah strategi penanganan kamtibmas dan penegakan hukum, baik dalam kasus terorisme maupun konflik sosial antara masyarakat versus kaum kapitalis, Polri cenderung memihak kaum pemodal dengan tindakan represif terhadap masyarakat.
Namun, borok Polri yang sangat menyengat dan menyakiti perasaan keadilan rakyat adalah fenomena indisipliner, pelanggaran kode etik, bahkan tindak kriminal oleh sejumlah oknum ang-gotanya. Sudah bukan rahasia lagi jika beberapa tempat-tempat maksiat maupun sindikat perdagangan narkoba, justru dibekingi, bahkan dilakukan oleh oknum polisi yang tega menjual barang sitaan. Belum lagi tindakan amoral dan kriminal, seperti pungli, pemerasan, selingkuh, sampai sogok-menyogok.
Sayangnya, skandal seperti ini jarang diekspose dan diselesaikan secara transparan, jujur, dan adil. Kalaupun kasus ini dilaporkan kepada atasan, yang terjadi justru sikap acuh tak acuh dan kepura-puraan dalam menerima pengaduan.
Hadirnya lembaga propam atau yang serupa dengan itu sebagai mekanisme internal Poin yang berwenang untuk melakukan pro-justicia terhadap anggotanya yang bermasalah, sulit dipercaya mampu menegakkan hukum dan keadilan demi mencegah pertumpahan darah (Essen und Blut) dalam interaksi kepolisian dengan publik. Sebabnya ialah pihak yang melakukan investigasi terhadap kasus yang melibatkan terperiksa adalah tim dari internal Polri sendiri.
Meski secara yuridis mekanisme itu sah, kualitas dan objektivitas dari output investigasi tim dimaksud, merupakan hal yang tidak logis (ad absurdum) da¬lam mewujudkan keadilan. Ibarat pepa¬tah, seganas-ganasnya harimau tidak ada yang memakan anaknya. Dan, hanya orang gila yang mau membakar rumah¬nya sendiri.
Jika ditelaah secara sosiopsikologis, perilaku oknum polisi yang cenderung beringas dan arogan, sebagian besar merupakan hasil akulturasi dari pola rekrutmen dan pembinaan. Pola rekrutmen anggota Polri dari periode ke periode, secara kasat mata, memang dititikberatkan pada aspek kesehatan fisik. Sedangkan, dimensi moral dan potensi akhlakul karimah hanya pelengkap.
Adapun aspek pengembangan kecerdasan emosi dan spiritual justru menjadi materi yang dianaktirikan dalam kurikulum pembinaan personel. Kita berharap berbagai prahara yang menimpa anggota korps Bhayangkara itu menjadi momentum bagi pimpinan Polri untuk memperbaiki diri. Sumber Koran: Republika (18 September 2013/Rabu, Hal. 06)