Rabu, 18 September 2013 | 20:51 WIB
MEDAN, KOMPAS.com - Didakwa menganiaya dua pelajar, Praka Meirizal Zebua yang berdinas di Komando Daerah Meliter I Bukit Barisan dituntut 18 bulan penjara dan membayar uang restitusi kepada korban sebesar Rp 25 juta. Tuntutan itu disampaikan Oditur dalam sidang di Pengadilan Meliter 0102 di Jalan Ngumban Surbakti Medan, Rabu (18/9/2013) petang.
Sidang yang diketuai Hakim Ketua James dan Oditur Militer Dhini Aryanti ini, menuntut terdakwa dengan Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak jo Pasal 55 subsider Pasal 351 ayat 1 jo Pasal 55. Terkait tuntutan tersebut, terdakwa dan penasihat hukumnya menyatakan tidak akan melakukan pembelaan (pledoi).
Suhardi, selaku Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (Sikap) Sumatera Utara yang mendampingi korban merasa keberatan dengan tuntutan tersebut. Alasannya, terdakwa melakukan penganiayaan secara bersama-sama.
"Seharusnya terdakwa dikenakan Pasal 170 tentang pengeroyokan. Dan dua pasal yang dikenakan terhadap terdakwa itu sebenarnya ancaman hukumannya lumayan berat, tapi Oditur menuntut sangat ringan, sehingga tidak memberikan rasa adil kepada korban," katanya.
Menurutnya, kalau tuntutan saja sudah sangat rendah, bagaimana lagi dengan vonis. Dia menilai, pengadilan militer saat ini sedang menjadi sorotan masyarakat karena terindikasi sangat melindungi korps.
"Kasus ini juga begitu, mulai dari dakwaan terkesan sangat menyudutkan korban. Persidangan sebelumnya, keterangan saksi dikonfrontir. Lucu, apa KUHAP-nya beda? Indikasi melindungi korps terlihat sekali. Oditur yang harusnya membela hak korban malah menyudutkan saksi korban layaknya terdakwa. Korban dipaksa mengingat dan mengaku hal-hal kecil yang sudah dia lupa," kata Hadi.
"Kita akan tetap mengawal kasus ini hingga tuntas dan melihat kemungkinan terburuk apalagi yang akan diterima korban ketika pelaku yang menganiayanya dihukum ringan," tegas Hadi.
Sementara itu, Oditur Militer, Dhini Aryanti saat ditanya soal konfrontir keterangan saksi ini mengatakan itu hal biasa. "Tidak masalah, ini hal biasa. Tidak melanggar dan KUHAP-nya tetap sama. Ini dilakukan karena terdakwa membantah keterangan saksi," ucapnya.
Untuk diketahui, dari dakwaan dan keterangan dua saksi korban berinisial EP dan IS, pelajar kelas III SMA di Kota Medan diketahui, pada 17 September 2012 malam, Bambang Murdiansyah mendatangi mereka bersama empat temannya dan langsung menganiaya mereka. Keduanya sempat berteriak meminta tolong kepada orang yang menyaksikan, namun tak ada yang berani menolong.
Kemudian, kedua korban yang sudah babak belur dibawa ke "Kampungan Kodam" di Kecamatan Sunggal, Medan. Korban dibawa ke rumah terdakwa menggunakan sepeda motor milik EP. "Ini orang yang tadi sore itu, bang. Orang ini yang mau menjebak saya," kata Bambang saat itu.
Terdakwa langsung memukuli lagi kedua korban diikuti para pelaku lainnya. "Berapa persen kau dikasih polisi, udah ngaku aja,"kata terdakwa sambil menodongkan pistol jenis FN ke kepala korban.
Korban sambil menangis membantah dirinya sebagai "kibus" (informan) polisi. Telepon seluler dan dompet EP diperiksa terdakwa dan ditemukan kartu relawan antinarkoba yang didapat korban waktu SMP dulu. "Kan, betul kau kibus. Ini kartu apa, betul-betul relawan kau," kata terdakwa, lalu kembali memukuli.
Tak sampai di situ, korban juga disetrum dan disundut rokok di punggungnya. Setelah itu, mulut kedua korban disumpal tisu; tangan diborgol dan digiring ke mobil boks. Di dalam mobil, seluruh tubuh korban dilakban hingga tidak bisa bergerak dan melihat lagi. Kemudian dicampakkan dari jembatan yang dibawahnya mengalir sungai.
"Saat itu sudah tengah malam. Dalam posisi tidur, saya dilempar ke dalam air. Dada saya menghantam batu dan kami hanyut. Tapi tangan saya sudah bisa bergerak, rupanya borgol sudah terlepas sebelah. Kawan saya memang sudah di pinggir, tapi tangan dan matanya masih dilakban. Saya yang menolong dia. Setelah itu kami cari pertolongan, begitu mendengar ada suara orang, kami langsung meminta tolong dan di tolong pemilik kolam pancing," kata saksi waktu itu. (Editor : Farid Assifa)