nasional -
Senin, 7 Oktober 2013 | 07:01 WIB
INILAH.COM,
Jakarta - Pertengahan Maret 2013, Presiden SBY bertempat di kantor kepresidenan
Jakarta, menerima 7 jenderal pensiunan. Mereka adalah Luhut Panjaitan, mantan
Komandan Satuan-81 Kopassus, Subagyo HS, mantan KSAD, Fachrul Rozi eks Wakil
Panglima TNI, Agus Wijoyo, eks Kepala Staf Teritorial, Johny Lumintang eks
Wakil KSAD, Sumardi eks Direktur Latihan Kodiklat TNI AD dan Suadi Marasabessy,
eks Kepala Staf Umum TNI.
Pertemuan
Presiden SBY dengan ketujuh jenderal ini dalam perspektif politik maupun dari
sisi peran TNI pasca-reformasi, cukup menarik perhatian. Sebab sebelumnya
secara terpisah Presiden SBY sudah ditemui Prabowo Subianto eks Panglima
Kostrad dan kini memimpin Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Mengapa Presiden
SBY harus menggelar pertemuan secara terpisah dengan para jenderal yang nota
bene seniornya dan berasal dari satu matra TNI-AD? Atau mengapa para warga
senior TNI justru mengumbar perpecahan mereka kepada publik lewat Istana?
Kalau saja
pertemuan itu tak ada kaitan dengan perebutan posisi RI-1 yang sedang marak
saat ini, pertemuan sekaligus contoh perpecahan para jenderal itu tak akan
menjadi sorotan. Perpecahan itu semakin penting disoroti sebab selama ini, TNI
digadang-gadang sebagai salah satu pilar bangsa yang bisa mencegah
disintegrasi.
Entah bagaimana
persisnya detil isu yang dibicarakan SBY dengan Prabowo. Berbeda dengan 7
jenderal, baik Prabowo maupun SBY, sama-sama tidak ingin menjelaskan isi
pembicaraan mereka. Akibatnya pertemuan SBY dan Prabowo semakin menyisakan
berbagai spekulasi.
Munculnya
spekulasi itu bukan karena alasan itu saja. Melainkan terbawa oleh fakta,
dimana dalam beberapa isu, Presiden SBY dan Prabowo terkesan berseberangan atau
bermusuhan. Tapi ada satu kejadian, SBY diwartakan pernah menawarkan jabatan
menteri kepada salah satu kader Prabowo dari Partai Gerindra.
Belakangan
disebut-sebut partai mereka berdua, Demokrat dan Gerindra sedang mempersiapkan
sebuah sinergi di dalam menghadapi Pemilu Presiden 2014. Akibatnya muncul
spekulasi bahwa para warga senior TNI, sebetulnya hanya punya satu kepentingan.
Agenda mereka mencegah kepemimpinan nasional pasca-Presiden SBY, jatuh ke
tangan politisi sipil.
Untuk
kepentingan tersebut, menjelang Pemilu mereka perlu mengadakan konsolidasi. Pra
Pemilu, mereka boleh tidak sepaham atau bersaing satu sama lain, tetapi dalam
soal kedudukan Presiden RI periode 2014-2019, mereka wajib sepaham dan
bersepakat.
Itu pula
sebabnya sekalipun ketujuh jenderal dikabarkan menyampaikan ketidak setujuan
mereka atas rencana koalisi antara SBY dan Prabowo melalui partai Partai
Demokrat dan Partai Gerindra atau lebih spesifik lagi, ketujuh jenderal
menentang rencana Prabowo untuk menjadi RI-1, tetapi ketidak setujuan itu belum
final, tidak harga mati atau masih ada catatannya.
Prabowo pada
akhirnya akan didukung bila korps TNI tidak punya calon sama sekali. Sebagai
persiapan dan antisipasi Presiden SBY mulai fokus mempersiapkan Jenderal
Pramono Edhie yang ketika itu masih berstatus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)
dan kebetulan masih ada pertalian keluarga.
Seperti
biasanya, kebenaran dan keakurasian kabar politik sejenis ini, sulit untuk bisa
langsung mendapatkan konfirmasi. Namun, sekalipun tidak bisa dikonfirmasi, dua
pertemuan itu sudah cukup memberi gambaran bahwa perpecahan di antara korps TNI
memang riil.
Hanya saja
menghadapi pertarungan memperebutkan kursi RI-1, warga TNI baik yang senior
maupun yang junior, memiliki agenda bersama yaitu kepemimpinan nasional di era
pasca-kepresidenan SBY, tidak boleh berpindah ke tokoh sipil.
Tegasnya
Presiden RI periode 2014-2019, bahkan bila perlu untuk periode-periode
seterusnya, harus tetap diusahakan berada di tangan warga TNI. Hak menjadi
Presiden RI lebih dimiliki oleh TNI.
Kegigihan warga
TNI untuk ingin tetap mempertahankan jabatan Presiden RI berada di kalangan
militer, bukanlah hal yang salah. Sama dengan aspirasi yang tumbuh di
masyarakat agar ke depan dan seterusnya Indonesia patut dipimpin oleh presiden
yang berasal dari sipil.
Pengalaman
Indonesia sejak 2004, dipimpin Presiden SBY sebagai warga senior TNI yang sarat
dengan berbagai gelar dan penghargaan, bagi warga sipil menjadi pengalaman
sangat berharga. Pemimpin nasional yang berbaju TNI bukanlah sebuah jaminan.
Bahkan jika kepemimpinan jenderal SBY dikaji melalui teori kepemimpinan modern,
kelemahannya bisa menjadi pintu masuk untuk mendukung betapa pentingnya
kesempatan warga sipil menjadi Prsiden perlu disetujui.
Kepemimpinan
Jenderal SBY justru mempertontonkan kelemahan TNI. Ancaman terhadap keamanan
nasional meletup dimana-mana. Sementara Menko Polhukam yang juga berasal dari
TNI, terkesan tidak mampu mengatasinya.
Kalau prestasi
Jenderal Soeharto yang dijadikan rujukan, bahwa di tangan seorang jenderal TNI,
Indonesia bisa bangkit dari berbagai keterpurukan, juga tidak tepat. Apalagi
membandingkan dua presiden yang berbeda latar belakang, Soeharto dan Soekarno
(sipil). Perbandingan itu tidak proporsional.
Prestasi
jenderal Soeharto, tidak lepas dari situasi dalam negeri dan keadaan politik
regional yang cukup mendukung. Soeharto juga tidak bekerja sendirian. Untuk
bidang ekonomi dan berbagai perencanaan, Soeharto mempercayakan sektor ini
kepada para teknokrat.
Para teknokrat
Indonesia sangat terbantu, sebab di awal-awal tahun Orde Baru memulai
pembangunan (1968), hanya Indonesia negara yang menarik untuk dijadikan pusat
investasi oleh negara-negara kapitalis. Investasi asing yang masuk ke Indonesia
dengan cepat memperlihatkan perbedaan Soekarno dan Soeharto. Perbedaan itu
menjadi bukti kuat bahwa Soeharto seorang jenderal yang pro rakyat.
Rezim Soeharto
yang mendeklarasikan sebagai pemerintahan yang anti-komunis, serta merta
mendapat pinjaman dana tak terbatas dari negara-negara Barat yang nota bene
blok anti-komunis. Amerika Serikat sampai dengan negara-negara industri di
Eropa Barat, plus Australia dan Selandia Baru, mengucurkan bantuan dan
investasinya ke Indonesia.
Negara-negara
demokratis di atas yang tidak mengenal negara militer, bersikap akomodatif
terhadap rezim militer Soeharto. Demi kepentingan negara-negara anti-komunis,
negara-negara itu, menutup mata terhadap semua pelanggaran di bidang hak azasi
manusia yang dilakukan oknum TNI atau rezim Soeharto.
Jadi ada unsur
permisif dari dunia internasional yang menolong pemerintahan militer Indonesia.
Sehingga kelemahan-kelemahan rezim Soeharto tertutupi. Untuk menutupinya,
pemerintahan Soeharto membungkam semua kekuatan pers dan demokrasi.
Itu sebabnya,
sekalipun SBY seorang jenderal senior dan bahkan dari segi pendidikan jauh
lebih unggul dibanding Soeharto, tetapi akibat oleh kondisi lingkungan yang
berbeda, walaupun SBY juga seorang jenderal, boleh dikatakan tidak bisa
mencapai apalagi melampaui prestasi yang dibuat Soeharto.
Situasi global,
regional dan lokal atau dalam negeri, pasca-kepemimpinan Presiden SBY,
dipastikan juga bakal berubah. Perubahan ini tidak bisa dihadapi dengan konsep
bahwa hanya TNI yang mampu mengatasinya.
Keahlian dan
fungsi TNI harus dikembalikan. Yaitu menjadi garda Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan sebagai unsur pemersatu melalui doktrin sapta marganya.
Tokoh TNI tidak perlu berobsesi menjadi tokoh nomor satu di Indonesia.
TNI yang diberi
berbagai fasilitas oleh negara, patut membuktikan profesionalitas dengan cara
menekuni pekerjaan yang menjadi tugas utamanya. Masyarakat sipil yang secara
nyata merupakan komunitas terbesar, perlu diyakinkan bahwa tidak perlu
memunculkan dikotomi mayoritas versus minoritas dengan TNI.
Sebaiknya,
semboyan perjuangan dalam menegakkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka,
TNI dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dijadikan sebagai sebuah
dikotomi.
Jadikanlah
jargon itu sebagai perekat untuk memunculkan sebuah masyarakat Indonesia baru
dimana satu sama lain saling menghargai dan membutuhkan. [mdr]