Dalam tugasnya sebagai alat pertahanan negara, TNI menghadapi ancaman yang amat kompleks. Netralitas adalah keniscayaan bahkan titik awal TNI yang profesional. Kebijakan tidak lagi bisa "pokoknya", tetapi butuh kajian yang ilmiah. Dilihat dari hal ini, TNI harus cepat berevolusi.
Kunci utamanya bukan senjata dan uang, melainkan sumber daya manusia. Bekal pertahanan semesta yang dulu muncul dalam bentuk berjuang bersama melawan penjajah asing sempat berubah menjadi dwifungsi ABRI yang salah kaprah. Namun, sekarang dibutuhkan evolusi internal TNI dalam memperkuat sumber daya manusianya untuk menjawab tantangan zaman.
"Tantangan tentara saat ini lebih berat dibandingan dengan tentara zaman dulu. Dunia sudah berubah. Nilai dan norma tentara harus bisa menjawab tantangan zaman," kata pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani, akhir pekan lalu.
Senada dengan Jaleswari, mantan Sesmenko Polhukam Letjen (Purn) Hotmangaraja Panjaitan mengatakan, ancaman ke depan sangat kompleks. Tentara hanya salah satu elemen dalam bangunan keamanan nasional. Dibutuhkan evolusi dalam peran militer dan hubungannya dengan masyarakat. "Tentara ke depan harus ilmiah," katanya.
Tantangan itu diajukan pada TNI. Sementara, TNI tidak berada dalam ruang kosong dalam perjalanan bangsa Indonesia yang saat ini sedang carut-marut dalam proses transisi demokrasi. Masyarakat semakin pragmatis. Secara umum, nilai-nilai kejuangan dan voluntarisme tergerus. "TNI ada di ruang itu," kata Jaleswari.
Kebijakan politik
Kegamangan TNI kerap disebabkan kebijakan politik yang tidak jelas. Lewat reformasi sektor keamanan, TNI telah diletakkan sebagai pelaksana. Namun, aturan selanjutnya kerap tidak selalu memberikan arah yang jelas. Salah satu contoh adalah RUU Keamanan Nasional dengan formulasi yang berantakan, mulai dari redaksional sampai pada substansi yang tidak menjawab masalah. Ketidakjelasan ini membuat TNI kerap terlihat salah tingkah bahkan ragu dengan dirinya sendiri.
Lewat percakapan sehari-hari juga masih banyak kasus kenaikan pangkat yang tidak jelas, jabatan yang diada-adakan, titipan pejabat, atau pekerjaan sampingan yang marak. Masyarakat juga masih sering meman-dang anggota TNI arogan, hanya mengandalkan otot, banyak bisnis ilegal, dan penuh intrik.
Dalam HUT Ke-68 TNI ini, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menggarisbawahi pembangunan prajurit TNI yang profesional, militan, dan solid bersama rakyat. Tentunya ini bukan hal yang mudah.
Di sisi lain, pernyataan Moeldoko bahwa TNI akan mengerahkan segenap kekuatan dalam menjaga dan mengamankan investasi di Indonesia juga mengundang diskusi. Misalnya, . kepada siapa TNI berpihak, saat rakyat menghadapi masalah perburuhan atau ada petani yang terancam hak ulayatnya.
Hotmangaraja mengatakan, suasana ilmiah belum mendarah daging di tubuh TNI. Pengambilan keputusan belum melewati kajian yang sungguh-sungguh. Padahal, justru budaya "pokoknya" yang harus mulai dikikis.
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo balikan menyatakan harapannya agar pola pikir dwifungsi harus benar-benar dilenyapkan dari para pengambil kebijakan di tubuh TNI. Sementara, pengamat militer Harry Prihartono mengatakan, Presiden harus membuat kebijakan dalam bidang pertahanan dan militer sebagai acuan pengangkatan panglima dan pejabat TNI lainnya.
Harapan tentu masih ada. Agus mengatakan, cukup optimis melihat perwira-perwira muda. Ia menekankan, pentingnya rasa kebanggaan sebagai TNI itu dibangun.
Sementara, Jaleswari memakai istilah "install ulang". Jiwa korsa, misalnya, jangan dimaknai sempit, tetapi harus diletakkan dalam kerangka kepentingan bangsa. Pada saat yang sama, nilai-nilai kejuangan harus ditanam kembali lewat pendidikan dan pembinaan prajurit.
Perjalanan TNI adalah bagian dari perjalanan bangsa. Di tengah dinamisnya ancaman, serta carut-marut politik, dan hukum yang terus melukai kepercayaan rakyat, TNI harus bisa membuktikan dirinya sebagai salah satu motor pendorong bangsa. (EDNA C PATTISINA), Sumber Koran: Kompas (09 Oktober 2013/Rabu, Hal. 04)
Kunci utamanya bukan senjata dan uang, melainkan sumber daya manusia. Bekal pertahanan semesta yang dulu muncul dalam bentuk berjuang bersama melawan penjajah asing sempat berubah menjadi dwifungsi ABRI yang salah kaprah. Namun, sekarang dibutuhkan evolusi internal TNI dalam memperkuat sumber daya manusianya untuk menjawab tantangan zaman.
"Tantangan tentara saat ini lebih berat dibandingan dengan tentara zaman dulu. Dunia sudah berubah. Nilai dan norma tentara harus bisa menjawab tantangan zaman," kata pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani, akhir pekan lalu.
Senada dengan Jaleswari, mantan Sesmenko Polhukam Letjen (Purn) Hotmangaraja Panjaitan mengatakan, ancaman ke depan sangat kompleks. Tentara hanya salah satu elemen dalam bangunan keamanan nasional. Dibutuhkan evolusi dalam peran militer dan hubungannya dengan masyarakat. "Tentara ke depan harus ilmiah," katanya.
Tantangan itu diajukan pada TNI. Sementara, TNI tidak berada dalam ruang kosong dalam perjalanan bangsa Indonesia yang saat ini sedang carut-marut dalam proses transisi demokrasi. Masyarakat semakin pragmatis. Secara umum, nilai-nilai kejuangan dan voluntarisme tergerus. "TNI ada di ruang itu," kata Jaleswari.
Kebijakan politik
Kegamangan TNI kerap disebabkan kebijakan politik yang tidak jelas. Lewat reformasi sektor keamanan, TNI telah diletakkan sebagai pelaksana. Namun, aturan selanjutnya kerap tidak selalu memberikan arah yang jelas. Salah satu contoh adalah RUU Keamanan Nasional dengan formulasi yang berantakan, mulai dari redaksional sampai pada substansi yang tidak menjawab masalah. Ketidakjelasan ini membuat TNI kerap terlihat salah tingkah bahkan ragu dengan dirinya sendiri.
Lewat percakapan sehari-hari juga masih banyak kasus kenaikan pangkat yang tidak jelas, jabatan yang diada-adakan, titipan pejabat, atau pekerjaan sampingan yang marak. Masyarakat juga masih sering meman-dang anggota TNI arogan, hanya mengandalkan otot, banyak bisnis ilegal, dan penuh intrik.
Dalam HUT Ke-68 TNI ini, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menggarisbawahi pembangunan prajurit TNI yang profesional, militan, dan solid bersama rakyat. Tentunya ini bukan hal yang mudah.
Di sisi lain, pernyataan Moeldoko bahwa TNI akan mengerahkan segenap kekuatan dalam menjaga dan mengamankan investasi di Indonesia juga mengundang diskusi. Misalnya, . kepada siapa TNI berpihak, saat rakyat menghadapi masalah perburuhan atau ada petani yang terancam hak ulayatnya.
Hotmangaraja mengatakan, suasana ilmiah belum mendarah daging di tubuh TNI. Pengambilan keputusan belum melewati kajian yang sungguh-sungguh. Padahal, justru budaya "pokoknya" yang harus mulai dikikis.
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo balikan menyatakan harapannya agar pola pikir dwifungsi harus benar-benar dilenyapkan dari para pengambil kebijakan di tubuh TNI. Sementara, pengamat militer Harry Prihartono mengatakan, Presiden harus membuat kebijakan dalam bidang pertahanan dan militer sebagai acuan pengangkatan panglima dan pejabat TNI lainnya.
Harapan tentu masih ada. Agus mengatakan, cukup optimis melihat perwira-perwira muda. Ia menekankan, pentingnya rasa kebanggaan sebagai TNI itu dibangun.
Sementara, Jaleswari memakai istilah "install ulang". Jiwa korsa, misalnya, jangan dimaknai sempit, tetapi harus diletakkan dalam kerangka kepentingan bangsa. Pada saat yang sama, nilai-nilai kejuangan harus ditanam kembali lewat pendidikan dan pembinaan prajurit.
Perjalanan TNI adalah bagian dari perjalanan bangsa. Di tengah dinamisnya ancaman, serta carut-marut politik, dan hukum yang terus melukai kepercayaan rakyat, TNI harus bisa membuktikan dirinya sebagai salah satu motor pendorong bangsa. (EDNA C PATTISINA), Sumber Koran: Kompas (09 Oktober 2013/Rabu, Hal. 04)