Kamis, 10 Oktober 2013

Museum MBO Munduk Malang, Tabanan Cikal Bakal Lahirnya TNI di Bali

10 Oktober 2013 | BP

Tak banyak yang tahu bagaimana cikal bakal kemunculan TNI di Bali. Lahirnya prajurit pembela negara ini ternyata dimulai dari Tabanan. Sejarah ini dibuktikan dengan bangunan museum Markas Besar Oemoem (MBO) Sunda Ketjil di Banjar Munduk Malang Desa Dalang, Selemadeg Timur (Seltim), Tabanan. Hingga kini, museum peninggalan pahlawan nasional Gusti Ngurah Rai itu masih utuh. Bagaimana liku-likunya?

MENCARI museum dan monumen MBO Munduk Malang tak terlalu sulit. Lokasinya di perbatasan Desa Gadungan dan Desa Dalang, Seltim. Sayang, jalan menuju lokasi masih rusak parah. Berdasarkan sejarah, MBO Munduk Malang digagas oleh Gusti Ngurah Rai bersama para pejuang dari Jawa, sekitar September 1945. Kala itu, Gusti Ngurah dengan pasukan Ciung Wanara masuk Bali dengan mendarat di Gilimanuk. Turut serta, beberapa pasukan dari Jawa, seperti Rai Mersa, Arya Mataram dan Bonjoran. Awalnya, mereka ingin membuat resimen di pesisir selatan Tabanan, tepatnya di Wanasara. Apesnya, rencana itu keburu tercium Belanda. Mereka akhirnya memilih Munduk Malang sebagai lokasi pendirian markas. Namanya, MBO DPRI Soenda Ketjil. Markas ini mampu menyatukan seluruh tentara dan pejuang di Bali dalam satu komando, mulai Negara, Tabanan hingga Buleleng. Sebelumnya, para tentara pejuang itu mengusir Belanda secara sporadis. ''Dari sinilah, cikal bakal perjuangan TNI di Bali. Tapi, tak banyak yang tahu,'' kata saksi sejarah pendirian MBO Munduk Malang, Dewa Ketut Antara Mahayana, Rabu (9/10) kemarin. Saat MBO berdiri, pria lanjut usia ini baru berusia sekitar 7 tahun. Bahkan, salah satu kakaknya, almarhumah Ibu Desak Raka Nadha, ikut bergabung dalam MBO itu sebagai petugas palang merah. Tokoh perempuan Bali ini selanjutnya berhasil merintis media perjuangan Bali Post bersama suaminya, almarhum. K. Nadha.

Kenapa Munduk Malang dipilih sebagai markas? Menurut Dewa Ketut Antara Mahayana, lokasi Munduk Malang sangat strategis, jauh dari pantauan Belanda. Lahan yang digunakan milik tokoh pejuang kala itu. Yakni, tokoh asal Lumajang, Kerambitan, Dewa Gede Rai, teman seperjuangan Dr. Soetomo tahun 1908. Lalu, diwariskan ke putranya, Dewa Nyoman Jahen. ''Kami adalah keluarga dari para pejuang itu,'' katanya. Kala itu, Dewa Nyoman Jahen tercatat sebagai juru penerangan MBO. Dia gugur ditembak Belanda setelah tertangkap di Buruan, Penebel. Lalu, dieksekusi di tangsi Belanda di Antosari, Pupuan.

Setelah MBO berdiri, Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya membentuk laskar rakyat. Mereka bertugas membantu perjuangan pasukan tentara. Di markas ini, komando perjuangan melawan Belanda dipusatkan. Dari MBO, Gusti Ngurah Rai menyatukan komando perjuangan. Pasukannya sempat menghindari pantauan Belanda dengan long march dari MBO menuju lereng Besakih, Karangasem. Namun, akhirnya kembali lagi ke daerah Bengkelanyar, Penebel. Di tempat ini, Gusti Ngurah Rai mendirikan markas sekaligus balai perawatan pejuang yang terluka. Hingga, Gusti Ngurah Rai turun gunung ke Marga dan gugur dalam Puputan Margarana.

Dewa Ketut Antara Mahayana menambahkan, di awal pendirian MBO Munduk Malang, perangkat kursi dan lainnya untuk bersidang Gusti Ngurah Rai diambil dari rumahnya. Bahkan, sisa kursi itu masih utuh sampai sekarang. Terakhir, bangunan MBO runtuh dibakar Belanda. Lalu,sekitar tahun 1970-an, pihaknya bersama Pemuda Panca Marga membangun bekas markas itu menjadi museum. Lahan milik keluarganya juga diserahkan ke pemerintah. ''Dulu, lahan itu mau dibeli oleh pemerintah. Tapi, kami tak menjualnya karena bernilai sejarah. Selanjutnya, kami serahkan ke negara,'' kenangnya. Pria yang juga pemangku ini kecewa jika museum MBO kondisinya tak terawat. Sebab, museum mungil itu menjadi titik awal perjuangan tentara di Bali yang kini menjadi Kodam IX/Udayana. Yang disayangkan, sejarah tersebut juga tak banyak diketahui publik. Bahkan, akses jalan masuk ke lokasi dibiarkan rusak. (udi)